Pendahuluan
Salah satu unsur yang terpenting dalam perkembangan suatu lembaga
keuangan adalah bagai mana cara mendapatkan keuntungan yang optimal. Dengan
berkembangnya bank syari’ah, dalam setiap kegiatan yang di lakukan tujuan
utamanya yaitu ingin mendapatkan keuntungan, karena hal ini dilakukan dalam
upaya meningkatkan pendapatan bagi bank syari’ah. Salah satu kegiatan yang
dilakukan oleh bank syari’ah untuk memperoleh pendapatan yaitu melalui kegiatan mengalokas kan dananya baik dalam
bentuk memberikan pembiayaan kepada nasabah atau penggunaaan dalam menambah
aset bank syari’ah.
Sampai saat ini, mayoritas produk pembiayaan syariah masih
terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli). Pembiayaan murabahah
sebenarnya memiliki persamaan dengan pembiayaan ijarah, keduanya
termasuk dalam kategori natural
certainty contracts dan pada dasar nya adalah kontrak jual beli. Perbedaan keduanya hanyalah objek transaksi
yang diperjualbelikan tersebut, dalam pembiayaan murabahah, yang menjadi
objek transaksi adalah barang, misalnya rumah, mobil dan sebagainya. Sedangkan
dalam pembiayaan ijarah, objek transaksi nya adalah jasa, baik manfaat
atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Jika dengan pembiayaan murabahah,
bank syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang,
sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat di layani. Dengan skim ijarah,
bank syariah dapat melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.
Pembiayaan ijarah sebenarnya dapat dikatakan lebih menarik
dibandingkan jenis pembiayaan lainnya seperti mudharabah dan musyarakah,
karena pembiayaan ijarah mempunyai keistimewaan bahwa untuk memulai
kegiatan usaha, pengusaha tidak perlu memiliki barang modal terlebih dahulu,
melainkan dapat melakukan penyewaan kepada bank syari’ah.
Kefleksibelan pembiayaan ijarah pada bank
syari’ahbsebenarnya sangat memberi kemudahan bagi para nasabah. Nasabah yang
memerlukan suatu barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan konsumtif atau
bisnis, disini nasabah terdapat dua pilihan dalam akad ijarah, yakni
nasabahbdapat menggunakan jasa atau
manfaat dari barang dan jasa tertentu
tanpat harus memiliki barang tersebut secara permanen. Kedua adalah nasabah
dapat memiliki kesempatan untuk memikili barang atau jasa yang diinginkan atau
dikenal dengan istilah ijarah muntahi
ya bittamlik (IMBT).
Jika kita lihat lebih jauh lagi bahwa konsep ijarah ini
tidak hanya berada pada sektor perbankan saja tetapi merambah pada instrumen-instumen
yang lain seperti sukuk ijarah
pada pasar modal, bahkan sukuk ijarah merupakan sukuk yang paling
diminati pada saat ini karena sukuk ijarah memiliki struktur yang
lebih simpel dibanding sukuk mudharabah. Terkait pentingnya pembiayaan
dengan menggunakan akad ijarah dalam bisnis perbankan dan pasar modal, maka perlu sekiranya untuk
mengetahui tentang mekanisme terkait
hal tersebut. Mekanisme tersebut harus
sesuai dengan prinsip kehati-hatian, guna untuk meningkatkan keefesienan kinerja
perbankan dan pasar modal. Pembahasan makalah ini dikhususkan kepada konsep ijarah
sehingga nantinya diharapkan dapat menjadi informasi baru dalam memahami konsep ijarah.
Konsep Aplikasi Produk Ijarah dan Ijarah Muntahiya
Bittamlik
Model Transaksi Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas
barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barang itu sendiri (Antonio, 2001: hal. 117). Bila
digunakan untuk mendapatkan manfaat barang maka disebut sewa-menyewa. Sedangkan
jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah.
Sedangkan akad ju’alah adalah akad ijarah yang pembayarannya
didasarkan atas kinerja objek yang disewa. Pada ijarah, tidak
terjadi perpindahan kepemilikan obyek ijarah.
Obyek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan (Veithzal, 2008: hal. 53).
Tansaksi ijarah dilandasi adanya pemindahan
manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jualbeli,
namun perbedaannya terletak pada obyek transasksinya. Bila
pada jual beli obyek transaksinya adalah barang, maka
pada ijarah obyek transaksinya adalahjasa. Mekanisme operasional ijarah dapat digambarkan sebagai
berikut (Muhammad, 2011: hal. 99):
(3) sewa beli
(2) beli objek Sewa
(1) pesan objeksewa
Penjelasan
1. Transaksi ijarah ditandai dengan adanya
pemindahan manfaat. Jadi dasarnya
prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun perbedaan
terletak pada objek transaksinya adalah barang maka, pada ijarah objek
transaksinya adalah jasa.
2. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja
menjual barang yang disewakan kepada nasabah.
Karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan al-ijarah muntahiyah
bit-tamlik ( sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
3. Harga sewa dan harga jual disepakati
pada awal perjanjian antara bank dengan nasabah.
Model
Transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik
Praktisi
Keuangan menuliskan bahwa yang dimaksud dengan Ijarah
Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrakjual
beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang ditangan penyewa. Sifat kepemilikan
ini ah yang membedakannya dengan ijarah biasa. IMBT memiliki banyak bentuk,
tergantung apa yang di sepakati kedua belah pihak yang berkontrak (Antonio, 2001: hal. 118).
Misalnya al-ijarah dan janji menjual, nilai
sewa yang mereka tentukan, harga barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan
dipindahkan: Dalam ijarah muntah ya bittamlik,
pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah
satu dari dua cara berikut ini:
a. Pihak yang menyewakan berjanji akan
menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
b. Pihak yang menyewakan berjanji akan
menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
Pilihan
untuk menjual barang diakhir masa sewa (alternatif 1) biasanya diambil bila
kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan
relative kecil, akumulasi nilai sewa yang
sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang
tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Karena itu, untuk mengurangi
kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memili
ki barang tersebut, ia harus membeli barang itu diakhir periode.
Pilihan
untuk menghibahkan barang diakhir periode masa sewa (alternative 2) biasanya diambil bila
kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena
sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi
sewa diakhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutupi
harga barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian,
bank dapat menghibahkan barang tersebut
diakhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.
Pada
IMBT dengan sumber pembiayaan dari Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan secara bulanan. Hal ini disebabkan karena pihak bank harus
mempunyai cash in setiap bulan untuk
memberikan bagi hasil kepada nasabah yang dilakukan secara bulanan juga. Jadi pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri.
Sering
sekali barang yang disewakan kepada nasabah akanmerepotkan bank dalam hal
pemeliharaannya. Oleh karena itu, bank dapat memberikan opsi kepada nasabah untuk
menjadi pemilik atas barang setelah masa sewa
telah berakhir (Gemala Dewi, 2006: hal. 159).
Pada akhir masa sewa, bank syariah dapat saja
menjual barang yang disewakannya kepada nasabah.
Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Mekanisme operasional ijarah muntahiya bittamlik
dapat digambarkan sebagai berikut (Karim, 2004:
hal. 147):
(3) sewa beli
(2) beli objek Sewa
(1) pesan objeksewa
Prospek, Kendala, dan Strategi Penyaluran Dana Ijarah
dan IMBT
Berdasarkan
data yang dikeluarkan Bank Indonesia menunjukkan bahwa produk pembiayaan yang
disalurkan oleh bank syari’ah masih tinggi peminatnya dikalangan masyarakat,
ini terbukti dari tujuh tahun terakhir jumlah angka pembiayaan terus meningkat.
Produk pembiayaan yang sangat diminati adalah murabahah yakni mencapai
seki tar 56,365 miliyar pada
2011, dan yang kedua adalah produk pembiayaan musyarakah yakni mencapai
sekitar 18,960 miliyar pada 2011.
Sedangkan pembiayaan ijarah masih menempati posisi
di bawah mudharabah dan qard, yakni sebesar 3,839 miliyar dan berada peringkat ketiga dari
bawah setelah produk salam dan istishna (Indonesia, Juni 2012:
hal. 18).
Kendala
yang dialami sebagian kalangan bank
syariah yakni rumitnya mekanisme IMBT, oleh karena itu, kebanyakan dari bank
syariah lebih memilih menggunakan akad murabahah.
Walaupun kebanyakan bank syariah tidak memilih menjadikan akad ini
sebagai yang utama, tetap saja ada bank yang
menggunakan akad ini, contohnya Bank Muamalat Indonesia.
Prospek
bagi bank yang menggunakan akad IMBT seperti Bank Muamalat Indonesia, bisa dikarenakan bank tersebut melihat keunggulan dari IMBT yang dapat merubah biaya sewa, sedang dalam murabahah yang mudah prosesnya, akan tetapi tidak
dapat berubah harga jualnya di tengah terjadinya fluktuasi harga. Nasabah ingin memiliki rumah, misalnya. Nasabah
membayar cicilan bulanan, besarnya dapat berubah dari waktu kewaktu sesuai
kesepakatan. Pembayaran cicilan dari
nasabah ini , sebagian diakui sebagai
pendapatan dan sebagian lagi diakumulasi
untuk pada akhirnya digunakan sebagai pelunasan kewajiban
nasabah.
Risiko
produk ini sebenarnya mirip dengan risiko financial leasing di sistem keuangan konvensional, mirip dengan risiko kredit jangka panjang dengan cicilan pokok pada bank konvensional. Namun sebagai produk syariah
dengan paradigma syariah, tentu cara pencatatan produk ini berbeda dengan yang konvensional .
Cicilan
pokok nasabah untuk pelunasan dicatat sebagai biaya penyusutan yang
akumulasinya diakhir periode untuk pelunasan. Sifat risiko berubah ketika
“biaya penyusutan pembi ayaan IMBT” ini dianggap sama dengan “biaya penyusutan
aktiva tetap”. Implikasi pajaknya sangat berbeda karena “biaya penyusutan
pembiayaan IMBT” tidak dapat dianggap biaya dalam kacamata pajak sebagai mana
“biaya penyusutan akti va tetap”. Substansinya adalah akumulasi cicilan nasabah
untuk melunasi kewajibannya (Karim, Manajemen
Risiko Bank Syariah).
Selain
masalah tingkat kerumitan dalam yang dialami oleh kalangan perbankan, masalah
yang sering muncul dalam IMBT ini adalah
Mengenai aturan loan to value (LTV) pada skema bagi hasil, pembiayaan
bersama dan sewa dalam syariah. Para praktisi mengamati Ada dua akad yang
menjadi kendala dalam penerapan kebijakan uang muka kredit, pertama akad musyarakah
mutanaqishah. Kedua, akad ijarah muntahiya bittamlik.
Musyarakah
mutanaqishah
merupakan turunan akad musyarakah. Definisinya, perjanjian antara dua
pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu aset. Kerjasama ini mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak, serta
menambah kepemilikan pihak lain. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu
pihak kepada pihak lain. Dalam konteks pembiayaan rumah, bank syariah dan
nasabah akan bekerjasama dalam pengadaan rumah, lalu terjadi pengambilalihan
porsi kepemilikan bank oleh nasabah dengan mengangsur.
Sedangkan
dalam skim ijarah muntahiya bittamlik, bank akan meminjamkan dana ke
nasabah untuk membeli rumah, lalu rumah menjadi milik bank. Nasabah baru
memiliki rumah itu jika masa ijarahnya selesai dan memenuhi seluruh kewajiban.
Pengambilalihan bisa berdasarkan akad jual beli atau hibah.
Pada
skim murabahah LTV sudah pasti dikenakan, karena skema ini mewajibkan
peran serta nasabah. Sebagian kalangan berpendapat kedua skim ini perlu dikenakan LTV sebagai bentuk penegasan
pembagian risiko antara bank dan nasabah. Bila tak dibagi, risiko terbesar ada
di bank karena sebagian besar pendanaan
berada di bank, dengan adanya aturan ini bertujuan untuk memagari bank syariah agar tidak terkena risiko
pembiayaan bermasalah (NPF) tinggi. Saat
ini rata-rata bank syariah menerapkan
LTV sekitar 15%-20% (Franedya).
Strategi
yang bisa diharapkan bank syariah ialah bank syariah agar tetap memperhatikan
dan mempertimbangkan pengajuan pembiayaan nasabah dengan seksama agar nasabah
yang menerima pembiayaan benar benar tepat.
Ijarah Pada Instrument Sukuk
Sukuk
berasal dari bahasa Arab “sakk” (tunggal) dan jamaknya “sukuk
atau sakaik” yang memiliki arti “memukul atau membentur ”, dan bisa
juga bermakna “percetakan atau menempa” sehingga kalau di katakan “sakkan
nukud” bermakna “percetakan atau penempahan uang”. Istilah sakk
bermula dari tindakan membubuhkan cap tangan oleh seseorang atas suatu
dokumen yang mewakili suatu kontrak pembentukan hak, obligasi, dan uang.
Dalam konsep modern disebutkan sebagai pengamanan pembiayaan yang memberikan
hak atas kekayaan dan tanggungan serta bentuk-bentuk hak milik lainnya (Wahid, 2010: hal. 92).
Sukuk
ijarah (obligasi ijarah) adalah obligasi syari’ah yang menggunakan
akad ijarah. Ijarah adalah perikatan sewa menyewa yang memberikan
hak kepada muaajir (yang menyewakan) menerima upah dari mustajir
(penyewa) atas manfaat yang diperolehnya. Artinya pihak yang menyewakan memberikan
hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan obyek yang disewakankan, namun dengan
kewajiban penyewa harus memberikan imbalan sesuai dengan hasil kesepakatan
(Gemala Dewi d.: hal. 158).
Dalam
akad ijarah, pada prinsipnya terjadi pemindahan manfaat yang bersifat
sementara, namun tidak disertai adanya pemindahan kepemilikan. Berdasarkan
fatwa No.41/DSN-MUI/III/2004, ketentuan obligasi syari’ah ijarah
sebagai berikut:
a) Akad yang digunakan dalam obligasi
syari’ah ijarah adalah ijarah dengan memperhatikan substansi
fatwa DSN-MUI No.9/DSN-MUI/IV/ 2000 tentang pembiayaan ijarah, terutama
mengenai rukun dan syarat akad.
b) Sesuai yang menjadi obyek ijarah
harus berupa manfaat yang diperbolehkan.
c) Jenis usaha yang dilakukan emiten tidak
boleh bertentangan dengan syari’ah dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI
No.20/DSNMUI/IX/2000 tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk reksadana syari’ah
dan No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang pasar modal dan pedoman umum penerapan prinsip
syari’ah dibidang pasar modal .
d) Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit
obligasi dapat mengeluarkan OSI baik asset yang telah ada maupun asset yang
akan diadakan untuk disewakan.
e) Pemegang OSI sebagai pemilik asset (a’yan)
atau manfaat (manafi’) dalam menyewakan (ijarah) asset atau
manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain dilakukan melalui emiten sebagai
wakil .
f) Emiten yang bertindak sebagai wakil dari
pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak
lain.
g) Dalam hal emiten bertindak sebagai penyewa
untuk dirinya sendiri, maka emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu
yang disepakati sebagai imbalan (iwadh ma’lum) sebagai mana jika
penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
h) Pengawasan aspek syari’ah dilakukan oleh
DSN atau tim ahli syari’ah yang ditunjuk oleh DSN-MUI, sejak proses emisi obligasi syari’ah ijar ah dimulai .
i) Kepemilikan obligasi syari’ah ijarah
dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.
Secara teknis, obligasi syari’ah ijarah
dapat dilakukan dengan dua cara:
a)
Emiten dapat bertindak sebagai wakil investor yang
berkedudukan sebagai penyewa (musta’jir), sedangkan property owner
(pemilik properti) sebagai pihak yang menyewakan (mu’ji r).
b)
Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor
menyewakan kembali obyek sewa kepada emiten.
Penerbitan sukuk diterbitkan dengan suatu underlying
asset (jaminan aset) dengan prinsip syari’ah yang jelas. Penerbitan sukuk
memerlukan sejumlah
aset tertentu yang akan menjadi obyek
perjanjian (underlying asset). Aset yang menjadi obyek perjanjian harus memiliki
nilai ekonomis, dapat berupa aset berwujud atau tidak berwujud, termasuk proyek
yang akan atau sedang dibangun. Fungsi underlying
asset tersebut adalah untuk menghindari
riba dan sebagai prasyarat untuk dapat diperdagangkan di pasar sekunder serta
untuk menentukan jenis struktur sukuk.
Berkaitan dengan emiten yang menerbitkan
sukuk, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah core
busi ness yang halal, memiliki investment grade yang baik dilihat
dari fundamental usaha dan keuangan yang kuat serta citra yang baik bagi publik (Hayes, 1998: hal. 85).
KESIMPULAN
Implementasi akad ijarah (sewa-menyewa) dalam
lembaga perbankan syari’ah yang terbagi
menjadi ijarah murni dan ijarah muntahiya bittamlik
(IMBT). Dalam kenyataannya akad ijarah ini jarang digunakan oleh bank syari’ah,
padahal dalam rangka diversifikasi produk penyaluran dana dari bank syari’ah
kepada nasabah, akad ini perlu untuk
diterapkan. Pada prinsipnya akad ini banyak memberikan keuntungan baik pada
bank syari’ah ataupun nasabah. Keuntungan yang diperoleh nasabah ialah dalam
meningkatkan investasi, nasabah membutuhkan barang modal dengan nilai ekonomis
yang besar, maka akan lebih mudah menggunakan sistem i jarah atau ijarah
muntahiya bittamlik. Sedangkan bagi bank syari’ah, sistem ini mempercepat
perputaran uang dan memajukan sistem investasi
yang dinamis.