REFKY FIELNADA

REFKY FIELNANDA

MAHASISWA EKONOMI ISLAM

Kamis, 28 November 2013

SOSIOLOGI HUKUM




SOSIOLOGI HUKUM
KEAROGANAN PIHAK YANG BERWAJIB



DOSEN PEMBIMBING :
Dedy syaputra. S.H






DISUSUN OLEH :

REFKY FIELNANDA
M. IRSYADUL FIKRI
M. IKBAL
RIYANTO
MUHAJIR

FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI ISLAM
IAIN SULTHAN THAHA SYAIFUDDIN JAMBI
2010

Uang Dan Lembaga Keuangan


A.    Uang
1.      Sejarah Uang
Uang yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Manusia berburu jika ia lapar, membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan untuk konsumsi sendiri; singkatnya, apa yang diperolehnya itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya. Perkembangan selanjutnya mengahadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya. Akibatnya muncullah sistem'barter'yaitu barang yang ditukar dengan barang. Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem ini. Di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya serta kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted) benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi tersebut masih terlihat sampai sekarang: orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.
Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama. Kemudian muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan) uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam. Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul suatu anggapan kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas. Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang kertas Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat/perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya. Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar.
Secara umum, uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran barang dengan barang, juga untuk menghindarkan perdagangan dengan cara barter. Secara lebih rinci, fungsi uang dibedakan menjadi dua: fungsi asli dan fungsi turunan.
2.      Fungsi Uang
Fungsi asli uang ada tiga, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai.
Ø  Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat mempermudah pertukaran. Orang yang akan melakukan pertukaran tidak perlu menukarkan dengan barang, tetapi cukup menggunakan uang sebagai alat tukar. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.
Ø  Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account) karena uang dapat digunakan untuk menunjukan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan, menunjukkan besarnya kekayaan, dan menghitung besar kecilnya pinjaman. Uang juga dipakai untuk menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk harga). Sebagai alat satuan hitung, uang berperan untuk memperlancar pertukaran.
Ø  Selain itu, uang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai (valuta) karena dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa sekarang ke masa mendatang. Ketika seorang penjual saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan jasa yang dijualnya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk digunakan membeli barang dan jasa di masa mendatang.
Ø  Selain ketiga hal di atas, uang juga memiliki fungsi lain yang disebut sebagai fungsi turunan. Fungsi turunan itu antara lain uang sebagai alat pembayaran, sebagai alat pembayaran utang, sebagai alat penimbun atau pemindah kekayaan (modal), dan alat untuk meningkatkan status sosial.

3.      Syarat-Syarat Uang

Suatu benda dapat dijadikan sebagai "uang" jika benda tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Pertama, benda itu harus diterima secara umum (acceptability). Agar dapat diakui sebagai alat tukar umum suatu benda harus memiliki nilai tinggi atau setidaknya dijamin keberadaannya oleh pemerintah yang berkuasa. Bahan yang dijadikan uang juga harus tahan lama (durability), kualitasnya cenderung sama (uniformity), jumlahnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat serta tidak mudah dipalsukan (scarcity). Uang juga harus mudah dibawa, portable, dan mudah dibagi tanpa mengurangi nilai (divisibility), serta memiliki nilai yang cenderung stabil dari waktu ke waktu (stability of value).

 

 

 

4.      Jenis Uang

Uang yang beredar dalam masyarakat dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu uang kartal (sering pula disebut sebagai common money) dan uang giral. Uang kartal adalah alat bayar yang sah dan wajib digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi jual-beli sehari-hari. Sedangkan yang dimaksud dengan uang giral adalah uang yang dimiliki masyarakat dalam bentuk simpanan (deposito) yang dapat ditarik sesuai kebutuhan. Uang ini hanya beredar di kalangan tertentu saja, sehingga masyarakat mempunyai hak untuk menolak jika ia tidak mau barang atau jasa yang diberikannya dibayar dengan uang ini. Untuk menarik uang giral, orang menggunakan cek.

5.      Jenis Uang Menurut Pembuatannya

Uang menurut bahan pembuatannya terbagi menjadi dua, yaitu uang logam dan uang kertas.

Uang logam adalah uang yang terbuat dari logam; biasanya dari emas atau perak karena kedua logam itu memiliki nilai yang cenderung tinggi dan stabil, bentuknya mudah dikenali, sifatnya yang tidak mudah hancur, tahan lama, dan dapat dibagi menjadi satuan yang lebih kecil tanpa mengurangi nilai.

Uang logam memiliki tiga macam nilai:

1.      Nilai intrinsik, yaitu nilai bahan untuk membuat mata uang, misalnya berapa nilai emas dan perak yang digunakan untuk mata uang.
2.      Nilai nominal, yaitu nilai yang tercantum pada mata uang atau cap harga yang tertera pada mata uang. Misalnya seratus rupiah (Rp. 100,00), atau lima ratus rupiah (Rp. 500,00).
3.      Nilai tukar, nilai tukar adalah kemampuan uang untuk dapat ditukarkan dengan suatu barang (daya beli uang). Misalnya uang Rp. 500,00 hanya dapat ditukarkan dengan sebuah permen, sedangkan Rp. 10.000,00 dapat ditukarkan dengan semangkuk bakso).
Ketika pertama kali digunakan, uang emas dan uang perak dinilai berdasarkan nilai intrinsiknya, yaitu kadar dan berat logam yang terkandung di dalamnya; semakin besar kandungan emas atau perak di dalamnya, semakin tinggi nilainya. Tapi saat ini, uang logam tidak dinilai dari berat emasnya, namun dari nilai nominalnya. Nilai nominal adalah nilai yang tercantum atau tertulis di mata uang tersebut.
Sementara itu, yang dimaksud dengan "uang kertas" adalah uang yang terbuat dari kertas dengan gambar dan cap tertentu dan merupakan alat pembayaran yang sah. Menurut penjelasan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang dimaksud dengan uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan kertas atau bahan lainnya (yang menyerupai kertas).
6.      Jenis Uang Menurut Nilainya
Menurut nilainya, uang dibedakan menjadi uang penuh (full bodied money) dan uang tanda (token money)
Nilai uang dikatakan sebagai uang penuh apabila nilai yang tertera di atas uang tersebut sama nilainya dengan bahan yang digunakan. Dengan kata lain, nilai nominal yang tercantum sama dengan nilai intrinsik yang terkandung dalam uang tersebut. Jika uang itu terbuat dari emas, maka nilai uang itu sama dengan nilai emas yang dikandungnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan uang tanda adalah apabila nilai yang tertera diatas uang lebih tinggi dari nilai bahan yang digunakan untuk membuat uang atau dengan kata lain nilai nominal lebih besar dari nilai intrinsik uang tersebut. Misalnya, untuk membuat uang Rp1.000,00 pemerintah mengeluarkan biaya Rp750,00.

B.     Lembaga Keuangan
1.      Defenisi Lembaga Keuangan
Perusahaan Keuangan merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi utama menyalurkan dana dari yang surplus/ berlebih kepada mereka yang kekurangan dana.
2.      Macam-Macam Lembaga Keuangan Di Indonesia
Lembaga keuangan dalam dunia keuangan bertindak selaku lembaga yang menyediakan jasa keuangan bagi nasabahnya, dimana pada umumnya lembaga ini diatur oleh regulasi keuangan dari pemerintahan. Lembaga keuangan ini menyediakan jasa sebagai perantara antara pemilik modal dan pasar utang yang bertanggungjawab dalam penyaluran dana dari investor kepada perusahaan yang membutuhkan dana tersebut. Kehadiran lembaga keuangan inilah yang memfasilitasi arus peredaran uang dalam perekonomian, dimana uang dari individu investor dikumpulkan dalam bentuk tabungan sehingga risiko dari para investor ini beralih pada lembaga keuangan yang kemudian menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pinjaman utang kepada yang membutuhkan. Ini adalah merupakan tujuan utama dari lembaga penyimpan dana untuk menghasilkan pendapatan. Struktur lembaga keuangan di Indonesia dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Lembaga keuangan depository adalah lembaga keuangan yang menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan
2.      Lembaga keuangan non depository adalah lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat namun tidak berbentuk lembaga perbankan
.








              





DAFTAR PUSTAKA
Ø  Husnan, Suad dan Enny Pudjiastuti, (2004), Dasar-dasar Manajemen Keuangan, Ed. 4, UPP AMP YKPN, Yogyakarta

Minggu, 24 November 2013

Perbedaan Pemilu Orba dan Pemilu Reformasi

Dalam menyambut Pemilu 2014 ruang-ruang publik dibanyak tempat sudah mulai dipenuhi spanduk, bendera, dan berbagai bentuk promosi para caleg. Semenjak reformasi bergulir telah berulangkali kita menyelenggarakan Pemilu mulai dari daerah tingkat dua hingga pusat secara langsung. Oleh karena itu sejumlah gambar, foto, lambang partai dan bermacam bentuk alat propaganda dalam Pemliu menghiasi ruang-ruang publik kita secara tidak beraturan. Mekanisme pengawasan seolah tidak sanggup mengjhadapi serbuan yang demikian gencar dan bertubi-tubi pemasangan beragam alat kampanye tersebut.
Dengan banyaknya bermunculan alat-alat kampanye itu di ruang-ruang publik pemandangan kota, daerah dan desa menjadi tidak indah untuk dilihat karena jalan-jalan, tiang-tiang listrik, rumah, toko, perkantoran bahkan hingga pohon-pohon dimanfaatkan sebagai media promosi para caleg dan calon pemimpin. Akhirnya, terkesan ruang publik kita menjadi semrawut, jorok, dan acak-acakan sehingga penataan ruang publik ini amburadul dikepung dan disesaki oleh ribuan bahkan mungkin jutaan alat kampanye yang tersebar luas dimana-mana. Kebersihan, keindahan dan kerapihan ruang publik terganggu hampir setiap saat karena sejak reformasi sangat sering dilakukan Pemilu langsung, akibatnya ruang publik menjadi korban pemasangan alat-alat kampanye tersebut.  
Situasi ini berbeda pada masa orde baru dimana Pemilu hanya diadakan lima tahu  sekali yang diikuti oleh 3 partai (PDI, PPP dan Golkar). Pihak penguasa yang dipimpin Soeharto tidak menyebut Golkar sebagai Parpol tetapi kenyataannya mereka bergerak sebagai Parpol juga sama dengan PDI dan PPP. Baru setelah reformasi Golkar baru menyebut dirinya secara terang-terangan sebagai partai sehingga menjadi partai Golkar.
Pada masa orde baru PDI dan PPP merupakan fusi dari sejumlah partai yang demikian banyak seperti partai-partai yang ada pada masa awal-awal reformasi. Namun dengan tangan besinya Soeharto berhasil memfusikan banyaknya partai tersebut bergabuing kedalan dua partai yakni Partai Demikirasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sehingga kontestan peserta Pemilu pada era orde baru hanya diiikuti 3 partai yakni PDI, PPP dan (partai) Golkar. Saat itu tidak ada Pemilu langsung untuk memilih kepala daerah karena  para kepala daerah bukan dipilih tetapi ditunjuk dari pusat (Presiden). Sedangkan Presiden dipilih oleh MPR bukan diplih langsung oleh rakyat seperti sekarang ini.

Satu hal yang jelas bahwa pada era orde baru itu kita tidak sering melihat umbul-umbul, foto, gambar, bendera partai yang menghiasi jalan-jalan seperti sekarang ini karena hajatan Pemilu hanya dilakukan dalam lima tahun  sekali. Sehingga kebersihan dan ketertiban kota/daerah tetap terjaga. Setelah selesai Pemlilu lima tahun sekali itu tidak ada lagi gegap gempita dan riuh rendah kampanye sedangkan posisi kepala daerah nantinya ditentukan dari pusat sebagai kepanjangan pemerintah pusat, tidak melalui Pemilu langsung. Oleh karena itu instruksi dari pusat berjalanb cukup efektif dalam satu komando perintah, sehingga bersifat sentralistik.
Tentu saja sifat sentralistik ini ada baik dan ada buruknya. Para analis, pengamat dan pemangku kepentingan politik sebaiknya mulai meninjau ulang kembali azas manfaat dan mudharat dari kedua sistem pemilu (Orba dan Reformasi) tersebut, karena kita melihat dan merasakan sendiri berbagai dampak negatif dari Pemilu langsung untuk pemilihan daerah dan banyaknya partai yang terlibat dalam Pemilu di negeri ini. Biaya sosial dan ekonomi yang ditimbulkan dari sistem banyak partai dan banyak Pemilu luar biasa, sehingga enersi, perhatian dan waktu tersita dengan urusan-urusan pesta demokrasi tersebut.
Dalam pasal 4 Pancasila disebutkan "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan" ternyata jika pada masa Orba kegiatan permusyawaratan dilakukan oleh MPR dalam memilik pemimpin (Presiden) nya. Sedangkan pada masa reformasi dipilih langsung oleh rakyat. Pancasaila yang dianggap sebagai adsar negara ditafsir berbeda oleh wakil rakyat dan MPR yang mengamandemen sistem pemilihan Presiden di Indonesia.
Sementara itu kata perwakilan pada saat Orba dimaknai sebagai perwakilan golongan, utusan dan tokoh-tokoh masyarakat sementara pada masa Reformasi diwakilkan oleh Dewan Perwakilan daerah (DPD) yang akalu dinegara Barat disebut sebagai senator. Inilah tafsir yang berbeda satu sama lain dalam proses rentang waktu satu dua dekade ini dalam percatiran politik di Tanah AIr. Kini kita yang merasakan dampak dari berubahnya sistem Pemilu yang dilakukan di negeri ini.  
 

Blogger news

Blogroll

About