REFKY FIELNADA

REFKY FIELNANDA

MAHASISWA EKONOMI ISLAM

Kamis, 22 Januari 2015

Studi Qur'an Tentang Riba



BAB I
PENDAHULUAN
Menyimak kebangkrutan sejumlah ikon lembaga keuangan Amerika Serikat baru-baru ini untuk sebagian kalangan dengan tegas akan menolak jika dianggap itu dianggap sebagai kegagalan ekonomi sistim kapitalis ala Amerika. Terlepas dari hal itu, faktanya kejatuhan bank investasi sekelas Lehman Brothers, diikuti oleh akuisisi AIG, dan Washington Mutual oleh JP Morgan, akuisisi Wachovia Bank hingga bail out Fannie Mae dan Freddie Mac telah menimbulkan kekacauan ekonomi di sejumlah negara. Tidak kurang dari rencana bail out senilai USD 700 milyar oleh pemerintah Amerika hingga kerugian milyaran dolar lainnya yang dialami oleh sejumlah investor bursa dunia, dianggap sebagai siklus normal dari berjalannya sebuah sistem mekanisme pasar yang dianut kaum kapitalis. Salah satu Dogma sakti dari mekanisme pasar adalah Mekanisme Pasar memiliki kemampuan untuk mengoreksi dirinya sendiri.
Terlepas dari anggapan diatas, magnitude dari kerugian tersebut menurut sejumlah pengamat disebut sama hebat atau bahkan lebih hebat dibandingkan pemicu great depression di tahun 1930-an. Kebangkrutan Lehman Brothers dianggap merupakan puncak dari sebuah gunung es dari bubble economy yang terjadi di AS. Entah berapa banyak karyawan yang di PHK karena ditutupnya sejumlah lembaga keuangan tersebut. Buat Negara seperti Indonesia yang tidak terkait denganbubble ekonomi di Amerika terpaksa harus menelan pil pahit karena ancaman ekspor yang turun, tingkat bunga yang naik untuk menghindari capital flight, dan dampak turunan dari ketatnya likiditas, maka timbul pertanyaan mendasar begitu butakah sang pasar karena dalam melakukan koreksi ia tidak membedakan mana yang benar dan mana yang salah hingga begitu banyak orang yang tidak tahu menahu turut dihukum. Celakanya apabila koreksi pasar ini diikuti oleh upaya untuk me-reset alokasi sumberdaya yang sudah keburu miss-alocate tersebut dengan jalan peperangan sebagaimana yang terjadi pada masa PD I dan PD II sebagai pintu keluar dari sebuah krisis dunia, dan juga bukannya tidak mungkin invasi negara Barat pimpinan AS atas Iran bisa jadi merupakan gerbangnya. Tidak salah kiranya jika Dr. Javed Jamil melontarkan statemen Now that the economic fundamentalism almost everywhere in the world is practiced as market economics, markets are the ultimate judges of what is good or bad for society. If something suits the markets, even the human weaknesses can be commercialized to the hilt; if something threatens the market, it cannot be allowed even if it protects society from medical and social hazards. Morality and healthiness have no standing in the face of profitability. Kembali ke masa awal decade 1980-an kita masih ingat bagaimana sistem ekonomi komunis telah jatuh seiring dengan runtuhnya hegemoni Uni Soviet atas kawasan Rusia, runtuhnya tembok Berlin dan krisis pangan yang bekelanjutan di Perestroika ala Gorbachev. Fenomena ini seakan meligetimasi keunggulan system ekonomi pasar atau kapitalis. Upaya menyeimbangkan antara dua kutub pasar komando ala komunis dengan kapitalis murni setidaknya telah dirintis oleh para ekonom post Keynesian, tetapi kenyataannya dengan pola pendekatan keduanya dan diantara keduanya belum menciptakan jawaban yang memuaskan. Pertanyaan mendasar bagaimana jika memang pencarian dimaksud bukan bersumber dari pendekatan kedua pendekatan kutub ekonomi dimaksud?.















BAB II
PEMBAHASAN

A.      DASAR HUKUM ISLAM
Riba dalam bahasa Inggris disebut usury, sedangkan bunga disebut interest. Dilarangnya riba oleh agama agama samawi tidak ada yang membantah.Itulah yang ditulis dalam Taurat dan Injil. Secara perlahan tapi pasti pelarangan riba di Eropa dihilangkan, diganti dengan istilah interest (bunga). Setelah perjalanan ratusan tahun, terciptalah citra sampai saat ini bahwa riba tidak sama dengan bunga. Riba dilarang, sedangkan bunga boleh. Namun dalam kenyataannya istilah Riba hanya dipakai untuk memaknai pembebanan hutang atas nilai pokok yang dipinjamkan.[1]
Guru Besar Columbia University Frederic Mishkin (1992) menelaah secara kritis teori pembungaan uang, selanjutnya menjelaskan bahwa ekonom Amerika bernama Irving Fisher (1911) berkesimpulan bahwa permintaan akan uang semata mata ditentukan oleh besarnya pendapatan seseorang, sedangkan tingkat suku bunga tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap permintaan uang. Motif orang memegang uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksinya saja. Jika demikian mengapa perekonomian sekarang penuh riba.
Bunga uang merupakan bagian dari teori riba. Ibnu Qayyim membedakan antara riba terang terangan (al-jaliy) dan riba terselubung (al- khafiy). Menurut Ulama Fiqih menjelaskan riba karena perpanjangan waktu (an- nasi’ah) dan riba dalam pertukaran barang sejenis (al-fadl). Bunga bank termasuk riba nasi’ah. Teori pembungaan uang merupakan bagian dari teori riba yang lebih komprehensif. Praktek pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktek riba nasi’ah pada zaman jahiliyah. Imam Suyuti, Imam Thabari, Imam Baihaqi dan Imam ar-Razi menjelaskan bahwa riba nasi’ah di zaman jahiliyah baru dikenakan pada saat peminjam tidak mampu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Jika peminjam mampu melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba, padahal bank konvensional telah mengenakan bunga sehari setelah uang dipinjamkan.
Logika ekonomi syariah tentang pelarangan bunga bank, adalah uang dalam Islam merupakan alat tukar dan modal dasar, bukan komoditas yang dapat diperjualbelikan, disewakan, apalagi memperoleh nilai tambah hanya karena dipinjamkan. Pertambahan nilai dalam uang, hanya diperkenankan ketika uang itu diinvestasikan dalam bentuk aktivitas perniagaan, perindustrian, pertanian, atau kerajinan sehingga pertambahan yang diperoleh adalah laba dari aktivitas tersebut, bukan bunga melalui pertambahan unsur waktu. Pengharaman riba ala Indonesia suatu hal yang prinsip dan sudah mutlak, karena riba secara jelas dan tegas diharamkan Quran. Bagi orang yang hanya membaca Quran saja, tidak akan dapat mengerti langsung secara pasti apa itu riba.
Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan dalam empat tahap[2]. Unsur pertama yang dilarang al-Qur’an adalah bunga (riba). Islam menganggap bunga sebagai suatu kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan masyarakat baik itu secara ekonomi, sosial, maupun moral. Tetapi kejahatan ini sangat berakar dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Maka hukum mengenai hal itu diperkenalkan secara berangsur-angsur untuk menghindari hal-hal yang tidak mengenakkan dan menyinggung masyarakat[3].
Dalam al-Qur’an, ayat yang pertama kali berbicara tentang riba adalah al-Rum: 39 yang berbunyi[4]:
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ  
Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”[5].

Sebagian masyarakat makkah pada waktu itu telah mempraktekan riba (bunga), dan sebagian telah membayar zakat. Mereka menginginkan agar harta yang mereka miliki dapat menjadi banyak dan bahkan berlipat ganda, dengan mempraktekan riba (bunga). Dalam ayat ini belum terlihat adanya keharaman melakukan riba, namun sekedar menggambarkan bahwa riba yang dalam sangkaan orang menghasilkan penambahan harta dalam pandangan Allah tidak benar. Akan tetapi zakatlah yang mendatangkan pahala yang berlipat ganda. Terhadap riba yang dibicarakan dalam surat al-Rum ini, sebagian mufassir ada yang berpendapat bahwa riba yang dimaksud adalah berupa pemberian sesuatu kepada orang lain yang tidak didasarkan pada keikhlasan tetapi berharap imbalan yang lebih besar.[6]
             Dalam ayat ini Allah mengingatkan bahwa zakatlah yang menghasilkan lipat ganda seperti yang mereka kehendaki, bukan riba (bunga). Al Qur’an menonjolkan kekuasaan Allah dengan cara mengaitkan rizki dengan anugrah-Nya harus mempunyai fungsi sosial. Ayat ini turun sebelum hijrah (Makiyah), belum menyatakan haramnya riba, tetapi sekedar menyatakan bahwa Allah tidak menyukainya[7].
            Ayat kedua yang turun tentang riba adalah surah al-Nisa’ ayat 160-161[8], yang berbunyi:
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rߊ$yd $oYøB§ym öNÍköŽn=tã BM»t7ÍhŠsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZŽÏWx. ÇÊÏÉÈ ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJŠÏ9r& ÇÊÏÊÈ
Artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”[9].

Ayat ini turun dalam konteks waktu itu, orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan dosa besar. Mereka selalu menyalahi aturan yang telah ditentukan oleh allah SWT. Barang-barang yang telah dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang diharamkan oleh Allah mereka lakukan. Sebagian dari barang yang diharamkan oleh Allah yang mereka banyak budayakan adalah riba. Hanya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah secara jujur dari kalangan meraka – diantaranya Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Asad bin Sa’yah dan Asad bin Usaid – saja yang tidak mau melakukan kezaliman. Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat 161 sebagai khabar tentang perbuatan mereka dan sebagai kabar gembira bagi mereka yang beriman untuk mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah SWT. (HR. Ibn Abi Hatim dari Muhammad b. Abdillah b. Yazid al-Muqri dari Yahya b. Uyainah dari Amr b. Ash)[10].
Pembicaraan tentang riba dalam surat ini masih bersifat informasi. Meskipun tidak secara tegas melarang orang islam menjalankan riba, tetapi memberi tahu riba yang dipraktekkan orang yahudi. Sehingga orang yahudi dilarang memanfaatkan barang – barang yang serba bagus, yang tadinya halal untuk mereka. Riba yang mereka praktekkan bukan kesalahan kecil, tetapi kesalahan besar yang meresahkan orang banyak. Pada zaman sekarang konsep ini sama dengan konsep bunga pada bank konvensional, yang ingin mencari keuntungan banyak dengan konsep bunga (tambahan pembayaran karena diundurnya pembayaran). Semakin lama pembayaran maka semakin tinggi bunganya[11]. Ayat ini turun sesudah Hijrah (Madaniyah). Dan ayat ini belum secara jelas ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi secara sindiran telah menunjukan bahwa, kaum muslimin pun jika berbuat demikian akan mendapat kutuk sebagaimana yang didapat orang-orang yahudi.[12]
Ayat ketiga yang turun tentang riba adalah surah Ali Imran ayat 130[13], yang berbunyi:

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan[14].

Dalam tahap ini, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahawa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Ayat ini turun pada tahun ke tiga hijrah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari parktik pembungaan uang pada saat itu.
Pada waktu itu terdapat orang-orang yang melakukan akad jual beli dengan jangka waktu tertentu (kredit). Apabila waktu pembayaran telah tiba, mereka ingkar, tidak mau membayar, sehingga dengan demikian bertambah besarlah bunganya. Dengan menambah bunga berarti mereka bertambah pula jangka waktu untuk membayar. Sehubungan dengan kebiasaan seperti ini Allah menurunkan ayat ini, yang pada intinya memberi peringatan dan larangan atas praktik jual beli yang demikian itu[15]. Menurut Ath – Thabari, ungkapan “janganlah memakan riba” ditujukan setelah kebolehan mengkonsumsinya sebelum Islam. Pada masa Arab mengkonsumsi riba yang berlaku di kalangan mereka terhadap pihak yang berhutang yang tidak mampu mengembalikan hutangnya pada waktu jatuh tempo maka, pihak pihutang akan meminta pembayaran kembali dengan tambahan hutangnya. Hal ini merupakan bentuk riba yang berlipat ganda
Ayat keempat yang turun tentang riba adalah surah al-Baqarah ayat 278-279[16], yang berbunyi:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

Pada tahap akhir ini, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ayat 278 dan 279 diturunkan sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada gubernur Mekah Itab bin Usaid setelah terbukanya Kota Mekah tentang utang-utang yang dilakukan dengan riba sebelum turunya ayat yang mengharamkan riba. Bani Mughirah menghutangkan harta kekayaan kepada Bani Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada Itab bin Usaid: “Kami adalah segolongan yang paling menderita lantaran dihapuskanya riba. Kami ditagih riba oleh orang lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba lagi karena taat kepada peraturan Allah SWT yang menghapus riba”. Bani Amr bin Auf berkata: “Kami minta penyelesaian tagihan riba kami”. Oleh sebab itu Gubernur Mekah Itab bin Usaid mengirim surat kepada Rasulullah SAW yang isinya melaporkan kejadian tersebut. Surat ini dijawab oleh Rasulullah SAW setelah turunya ayat 278 dan 279 ini. Didalam ayat ini ditegaskan tentang perintah untuk meninggalkan riba[17].
Dalam kelompok ayat ini al Qur’an berbicara tentang riba dengan tahapan sebagai berikut[18]:
1.        Ia memulai pembicaraan dengan melukiskan pemakan riba sebagai orang kesetanan yang tidak dapat membedakan antara yang baik dan buruk, sehingga ia menyamakan jual beli dengan riba. Al Qur’an menegaskan bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram. Karena itu diingatkan bahwa orang yang menerima nasihat al Qur’an akan beruntung dan orang yang ingkar diancam neraka.
2.        Al Qur’an menegaskan bahwa riba atau bunga bank itu melumpuhkan sendi – sendi ekonomi, sedangkan shadaqah menyuburkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu riba dimusnahkan sedangkan shadaqah dikembangkan.
3.        Al Qur’an memuji orang yang beriman, beramal shaleh, menegakkan shalat dan membayar zakat.
4.        Penegasan ulang larangan riba karena pelarangan riba pernah dinyatakan dalam surah Ali imran : 130 dan sekaligus mengancam pemakan riba. Serta memuji kreditor yang suka memaafkan debitor karena peminjam mengalami kesulitan ekonomi.

Ayat-ayat Quran tentang pelarangan riba tersebut adalah riba orang- orang Arab yang dalam praktiknya meliputi :
a.         Pertambahan nilai pokok dalam transaksi  utang, atau pertambahan karena unsur waktu.
b.        Apabila tiba masa pembayaran utang, mereka akan menagih sejumlah sesuai utang, jika tidak sanggup bayar maka pembayaran bisa ditunda tahun depan dengan syarat dilipatkan 100 % dan seterusnya akan berlipat-lipat.
c.         Usman bin Affan dan Abbas bin Abdul Mutalib biasa membeli kurma ke petani sebelum waktu panen. Ia akan menyerahkan separoh jumlah kontrak dan separohnya akan dibayar akan dibayar pada musim panen berikutnya, dengan perjanjian dibayar dua kali lipat, ketika saat memetik petani tidak sanggup menyerahkan sejumlah uang sesuai kontrak.

B.       PLATFORM EKONOMI SYARIAH
Di dalam pengembaraan mencari platform ekonomi baru diantara kedua kutub tersebut sejumlah titik terang sudah berani diungkap sebagaimana diutarakan oleh Prof. Hyman P Minsky dalam bukunya yang berjudul Stabilizing an Unstable Economy, hal senada juga diutarakan oleh Dimitri B Papadimitiou , L Randall Wray serta bersinggungan dengan pemikiran Joseph Stiglizt yang juga secara implisit diamini oleh John C Perkins melalui buku best seller-nya The Economic Hit Man. Beberapa pokok titik terang dimaksud adalah adanya fakta-fakta baru diantaranya adalah kondisi siklus up and down dari sebuah ekonomi pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan karena meruapakan fitrah alam terjadi dalam skala komoditi, sektor ekonomi hingga ekonomi secara keseluruhan, dimana manusia diletakkan pada posisi ketidak berdayaan untuk menghindar. Titik terang kedua adalah adanya pilihan ekonomi, namun apa yang dilakukan manusia adalah berperilaku speculative yang didasarkan oleh animal spirit (keserakahan, moral hazard, menguasai asset lebih besar disbanding yang lain, keuntungan sebesar-besarnya dsb). Jika kita analisis lebih dalam setidaknya semangat tersebut direpresentasikan dengan instrument- instrument yang ada dipasar saat ini mulai yang paling dasar adalah pola ekonomi berbasis bunga (interest), dan produk-produk turunannya (derivative), option, insurance hingga yang popular sekarang seperti CDS (Credit Defaults Swap) suatu instrument yang intinya akan memberikan keuntungan pagi pemegangnya apabila underlying transactionnya mengalami kerugian, intinya kesemuanya mengandung adanya unsure garansi dari sesuatu yang secara natural memang non predictable atau dengan bahasa sederhananya unsur speculatif telah melekat (embedded) didalam setiap transaksi. Semangatnya adalah bagaimana risiko dihindari dan jika tidak dapat dihindari dipindahkan ke pihak lain tanpa mengindahkan prinsip keadilan.
Kembali ke fitrah adanya siklus di dalam setiap elemen kehidupan dapat diartikan sebagaimana layaknya pergantian siang dan malam, maka sudah pasti seharusnya semangat yang diambil bukan menghindari malam tetapi bagaimana kita membagi terang dimalam hari dan membagi teduh disiang hari. Maka spirit yang harus dibanguan adalah profit sharing dan loss sharing, atas dasar keadilan. Tidak juga dengan semangat speculatif yang dibungkus oleh adanya upaya untuk menjamin sebuah ketidak pastian sebagaimana layaknya ekonomi bunga yang menciptakan rente ekonomi. Siklus up-down dari kondisi ekonomi sebagaimana sebab alamiah tidak lain merupakan sebuah sunnatullah, maka sudah selayaknya kita mensikapi dengan perangkat yang juga bersumber dari pembuat siklus itu ..Dan Dialah yang mengatur pergantian malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (QS 23 :80). Salah satu ciri dari system ekonomi syariah adalah adanya konsep larangan riba dan bunga sebagaimana tertuang dalam Surat (30) Ar Rum ayat 39, Surat (4) An Nisa ayat 160-161, Surat (3) Ali Imran ayat 130, Surat (2) Al Baqarah ayat 278-279. Inti dari ekonomi syariah diantaranya perbankan bebas bunga, tidak bersifat spekulatif dan pembiayaan kegiatan usaha riil, dengan prinsip utama berupa: penghindaran riba, perolehan keuntungan yang sah menurut syariah dan menyuburkan zakat.

C.      PROBLEMATIKA UTAMA
Persoalannya sekarang banyak yang menyebutkan bahwa ekonomi syari’ah pun belum mampu membuktikan keunggulannya dibandingkan sistim ekonomi yang ada ditunjukkan oleh banyaknya jumlah warga miskin yang meningkat khususnya di Negara-negara yang notabene mayoritas muslim. Sebelum menanggapi pernyataan tersebut sebaiknya perlu disadari bahwa ekonomi adalah kegiatan muamalah bukan kegiatan orang perorang atau kegiatan interaksi personal dengan khaliqNya sebagaimana ibadah puasa, shalat, haji dan sebagainya. Artinya keberhasilannya sangat tergantung dari tindakan ummat, atau tepatnya sebagai gerakan ummat dan bukan tindakan orang perorang. Jika kita sepakat bahwa ekonomi adalah kegaiatan masyarakat maka setidaknya terdapat 3 hal yang menyebabkan ekonomi Islam belum mampu bekerja secara optimal dalam mengatasi masalah ekonomi yang timbul saat ini, yaitu:
1.        Aspek besaran (volume), perlu dilihat kembali berapa besar magnitude ekonomi yang berbasiskan syariah dengan ekonomi konvensional. Jika kita lihat konteks tersebut di Indonesia, dewasa ini kontribusi perbankan syariah baru mencapai 2% dari total pasar perbankan. Bahkan untuk kawasan Timur Tengahpun peran perbankan syariah belum mencapai setengah dari kegiatan perbankan dikawasan tersebut. Oleh karenanya secara umum kiprah ekonomi syariah kurang dari 20% dari perekonomian dunia.
2.        Dukungan pemerintah, meskipun telah diakui bahwa ekonomi syariah memiliki sejumlah keunggulan dibanding ekonomi kapitalis ataupun komunis, tetapi komitmen pemerintah khususnya di Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim pun masih setengah-setengah. Hal in antara lain dicerminkan oleh ketentuan pajak yang justru merugikan transaksi syariah ataupun pembatasan-pembatasan lainnya. Hambatan politis maupun tekanan-tekanan pihak eksternal sering menjadi penyebab masalah diatas.
3.        Aspek Implementasi yang belum seutuhnya (kaffah). Esensi dari Ekonomi Islam oleh sejumlah kalangan orientalis sering di-dikotomikan dengan kegiatan ekonomi konvensional non bunga, hal itulah yang menyebabkan praktek ekonomi syariah sekarang merupakan modifikasi minimal dari ekonomi yang ada saat ini.

D.      PENERAPAN EKONOMI ISLAM
Ekonomi tanpa bunga hanya merupakan bagian kecil dari ekonomi Islam. Pada dasarnya ekonom Islam dibangun pada filosofi dasar yang jauh lebih besar dari itu antara lain supremasi kedamaian dan kemaslahatan baik untuk tingkat individu, keluarga dan system secara keseluruhan. Kedamaian dan kemaslahatan disini bermakna luas meliputi kesehatan, ketentraman, kesejahteraan dsb. Oleh karenanya kegiatan ekonomi yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat harus dihentikan. Filosofi lain adalah ekonomi harus dipandang sebagai sebuah sistem, jadi ia tidak terlepas dari aturan dasar mengenai aspek hak dan kewajiban, tanggung jawab dan sebagainya. Maka makna benar salah tidak lagi didasarkan atas kepentingan pasar atau ekonomi itu sendiri tetapi atas framework syariat. Filosi berikutnya menyangkut aspek kegiatan ekonomi, adalah seluruh kegiatan muamalah. Jika ekonomi kapitalis hanya mendasarkan kegiatan ekonomi atas dasar penambahan nilai sejauh dapat dibuktikan adanya transaksi maka definisi kegiatan ekonomi dalam Islam lebih luas. Seperti aktivitas ibu rumah tangga dalam ekonomi kapitalis tidak pernah dicatat didalam GDP karena tidak ada transaksi disitu, dalam ekonomi Islam menjadi sebaliknya. Filosofi berikut terkait dengan aspek universalitas, yakni semangat untuk mengayomi semua penduduk dunia tidak peduli atas keyakinannya, sebagai bagian dari fitrah Islam rahmatan lil alamin.
Oleh karenanya kita perlu juga untuk berbesar hati mengingat sejumlah pelaku ekonomi telah melirik sistim ekonomi syariah sebagai jawaban permasalahan ekonomi kedepan. Setidaknya saat ini pertumbuhan asset perbankan syariah dunia mencapai kisaran 30% pa dengan jumlah asset sekitar USD 600 milyar. Jumlah full fledged bank syariah meningkat dari 276 di tahun 2005 menjadi 470 di tahun 2007. Pemerintahan sejumlah negara pun juga turut melirik kegiatan ekonomi syariah ini. Pemerintah Jepang saat ini tengah mempersiapkan penerbitan bond berbasis Syariah, Pemerintah Inggris secara agresif merevisi undang-undangnya agar sejalan dengan prinsip syariah dan telah memproklamirkan sebagai gerbang keuangan syariah untuk wilayah Eropa, demikianjuga sejumlah bank berskala global seperti HSBC, Deutsche, Chase dan Standard Chartered telah memiliki unit syariah dan terus mengembangkan bisnis ini kesejumlah Negara yang menjadi pusat keuangan dunia. Mudah-mudah ini menjadi sebuah harapan baru dari penyelesaian krisis global saat ini.

E.        ANALISA KRITIS
            Pertanyaan seputar persolan bunga bank apakah sama dengan riba, masih sering kali mencuat dan menyisakan banyak persoalan yang belum tuntas terjawab. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh rumusan riba nasi’ah oleh para fuqaha yang disimpulkan oleh Wahbah Zuhali dengan, “mengakhirkan pembayaran hutang dengan tambahan dari hutang pokok”.[19]
Dalam sejarah peradaban manusia, tidak selamanya tambahan atas jumlah pinjaman itu mendatangkan kesengsaraan. Ada juga yang mendatangkan keuntungan baik kepada penerima maupun pemberi pinjaman. Tetapi Karena rumusan di atas sudah demikian mapan dalam ilmu Fiqh, maka semua kegiatan ekonomi yang mengandung formula “tambahan atas jumlah pinjaman”, baik berakibat menyengsarakan atau menguntungkan, tetap dimasukan dalam riba yang diharamkan itu[20]. Begitu jelas mapanya rumusan riba nasi’ah, sehingga para fuqaha tidak lagi menganggap ada persoalan, “apa sebab riba mendatangkan kesengsaraan” atau bagaimana kondisi pihak peminjam dan pemberi pinjaman ketika terjadi perjanjian yang menuju riba?. Perhatian mereka tertuju pada pencarian illat, barang-banarng apa yang boleh atau tidak boleh dijualbelikan dengan tenggang waktu.
Pada masa sekarang, adanya upaya peninjauan ulang tentang riba dalam al-Qur’an disebabkan oleh kontak orang Islam dengan kegiatan perbankan. Bank adalah bagian dari peradaban Barat. Maka, yang dimaksud dengan kontak itu adalah sesudah diterimanya peradaban Barat oleh para tokoh pembaharu dalam Islam, yaitu sesudah abad ke-18[21]. Karenanya, kontroversi tentang hukum bunga bank muncul sesudah kurun waktu tersebut, tidak sebelumnya. Dalam catatan sejarah, berdirinya lembaga perbankan di berbagai negara Islam adalah sesudah abad ke- 20.[22]
Sebagai finacial intermediary, bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan danaketika ia memberi pinjaman. Dalam kegiatan ini, muncul apa yang disebut bunga. Menurut Sri Edi Swasono, bahwa bunga adalah harga uang dalam transaksi jual beli tersebut[23]. Dengan demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakai jasa, merupakan ongkos adminstrasi dan ongkos sewa[24].
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang ihwal hukum bunga bank, di sini akan dipaparkan analisis yang berpijak dari kerangka penalaran bayani dan ta’lili untuk menelusuri karakteristik riba dalam al-Qur’an.
1.        Penalaran bayani
Dalam surah Ali Imran: 30, riba diberi sifat “lipat ganda”. Tidak demikian yang tersurat di dalam surah al-Baqarah: 278. dalam ayat ini disebutkan bahwa setiap pengembalian melebihi jumlah pokok modal disebut riba. Ada kesan paradoks antar dua ayat dari dua surat di atas. Sehingga ada ulama yang mengatakan, riba yang terlarang adalah yang mempunyai unsur lipat ganda[25]. Ada pula yang tidak membatasi riba berlipat ganda, seperti pendapat fuqaha pada umumnya.
Akhir surat al-Baqarah : 278, ditegaskan “….. kamu tidak berbuat zalim, tidak pula menjadi korbanya”. Jika ini yang dijadikan tolak ukur riba, maka jalan tengah dapat ditemukan. Yaitu betapa pun kecilnya tambahan itu, apabila menimbulkan kesengsaraan (zulm) termasuk riba. Hanya saja, karena di masa Rasul riba selalu mengambil ad’af mudha’afah, tidak dalam bentuk lain, maka sifat ini disebut dalam al-Qur’an. Dengan demikian , ad’af mudh’afah relevan dengan ketidakadilan[26].
Perlu dijadikan pertimbangan, bahwa di masa Rasul tidak ada inflasi, karena mata uang yang berlaku adalah uang mas dan perak (dinar dan dirham). Karenaya, pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman menggambarkan keadilan. Dalam suatu kurun waktu di mana inflasi melanda mata uang tertentu, maka pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman tidak menggambarkan keadilan, sebaliknya, menimbulkan kerugian sepihak. Kalau statemen la tazlamun wa la tuzlamun (al-Baqarah: 278) dijadikan kunci dalam memahami riba dalam al-qur’an, maka pengembalian hutang sebesar pinjaman berikut bunga yang proporsional dengan besarnya inflasi akan menjamin keadilan dari pada tambahan. Kalau demikian, maka pemahaman lebih adil tentang pokok modal masa sekarang untuk kasus Indonesia, adalah modal dihitung berdasarkan kurs, bukan berdasarkan nilai nominal. Dengan cara demikian maka pihak pemberi pinjaman maupun yang meminjamn tidak dirugikan.
2.        Penalaran ta’lili
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, bahwa riba didefinisikan sebagai “tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang..” Jadi tekananya pada “tambahan” sebagai ciri pokok riba.
Riba juga dapat didefinisikan dengan tambahan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak peminjam”. Di sini tekanannya ada pada “kesengsaraan/zulm” bukan ‘tambahan’. Tambahan sebagai ‘an-nau’/ ‘species’, sedangkan kesengsaran sebagai al-jins/ genus/ ‘illat. Sama halnya dengan ungkapan “khamar” adalah minuman yang memabukan”, maka khamr adalah sesuatu yang didefinisikan, minuman sebagai an-nau’/ sepecies, dan memabukan sebagai al-jins/ genus/ ‘illat.[27]
Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa esensi riba adalah “tambahan”, dan ada pula yang mengatakan esensinya adalah “zulm’. Namun, jika kembali kepada pangkal persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ‘illat larangan riba seharusnya ‘zulm’ bukan “tambahan”.[28]

BAB III
KESIMPULAN

Jika Indonesia masih berkiblat ke Barat yang memiliki sistem ekonomi yang rapuh, maka yakinlah Indonesia pasti akan terancam krisis terus-menerus sepanjang sejarah. Konkritnya, pemerintah jangan setengah hati menerapkan bank-bank syariah, asuransi syariah, surat berharga syariah negara, pasar modal syariah, leasing, pegadaian syariah dan lembaga keuangan mikro syariah yang pro kepada sektor riil dan kemaslahatan ekonomi rakyat. Dengan krisis ini sesungguhnya Allah hendak mengingatkan betapa sistem ribawi itu ternyata merusak dan menghancurkan perekonomian umat manusia. Inilah makna firman Allah Luyuziiqahum ba’dhal lazi ’amiluu la’allahum yarj’iuun. (QS.30 : 41) Maksudnya, krisis itu Kami timpakan kepada mereka (akibat ulah tangan mereka), supaya mereka kembali kepada sistem yang benar, sebuah sistem ilahiyah yang berasal dari Tuhan Allah.















DAFTAR PUSTAKA

Saeed, Abdullah, Bank Islam Dan Bunga, terj. Cet 1. Pustaka Pelajar: Jakarta 2003.
Ahmed Rifaat Abdel Karim, dan Simon Archer, Islamic Finance, The Regulatory Challenge. John Willy and Sons, 2007.
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Wasith (Al-Fatihah-Al-Taubah), alih bahasa Muhtadi, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2012.
----------------------------- Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid IV, Bairut: Dar al-Fikr, 1985.
Humudah, Mahmud dan Musthafa Sulaiman, Adhwa A’la Al-Mu’amalat al-Maliah Fi al-Islam, Uman: Mu’assasah al-Waraq, 1999.
Jamil, Javed, “Islamic Economics” – Islam less, Economics More. International Centre for Applied Islamic, 2008.
Kasir, Ibn, Tafsir al-Qur’an al-‘azim, Jilid III, Qahirah : Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1952.
Maududi, Abul A’la, The Meaning of The Qur’an, Jilid II.
Minsky P Hyman, Stablizing an Unstable Economy. New York: Mc Graw Hill, 2008.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Perkins, John, Confessions of an Economic Hit Man, San Fransisco: Berrett-Koehler Publisher Inc, 2004.
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-manar, Jilid III, Bairut: Dar al-Ma’arif, tt.
Sahil, Azharuddi, Indeks Al-quran, Bandung: Mizan Pustaka, 2007.
Stiglitz, E Joseph, Dekade Keserakahan : Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. Marjin Kiri, Jakarta, 2005.
Sukardja, Ahmad, “Riba, Bunga bank, dan Keridit perumahan”, dalam Chuzaimah T. Yanggo & HA. Hafiz Anshary AZ (Ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku ke-3, Jakarta: Pustaka Firdaus & LSIK, 1995.
Swasono, Sri Edi, Bank dan Suku Bunga, dalam Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988.
Zein, Fuad, Aplikasi Ushul Fiqh dalam kajian keuangan Kontemporer, dalam Aunurafiq (ed), Mazhab Jogja: Menggagas Pradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Fak. Syariah IAIN & ar-Ruzz Press, 2002.
Zuhri, Muhammad, Riba Dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.



[1] Abdullah saeed, Bank Islam Dan Bunga, terj Cet 1,  (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 27.
[2] Mahmud Humudah dan Musthafa Sulaiman, Adhwa A’la Al-Mu’amalat al-Maliah Fi al-Islam, (Uman: Mu’assasah al-Waraq, 1999), hal. 39.
[3] Abul A’la Maududi, The Meaning of The Qur’an, Jilid II, hal. 62.
[4] Muhammad Zuhri, Riba Dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 59.
[5] Al-Rum (30): 39.
[6]Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘azim, Jilid III, (Qahirah : Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah,1952)
[7] Ahmad Sukardja, “Riba, Bunga bank, dan Keridit perumahan”, dalam Chuzaimah T. Yanggo & HA. Hafiz Anshary AZ (Ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku ke-3, (Jakarat: Pustaka Firdaus & LSIK, 1995), hal. 35.
[8] Muhammad Zuhri, Riba Dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan....., hal. 61.
[9] Al-Nisa (4): 160-161.
[10] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Wasith (Al-Fatihah-Al-Taubah), alih bahasa Muhtadi, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2012), hal. 363.
[11] Mahmud Humudah dan Musthafa Sulaiman, Adhwa A’la Al-Mu’amalat al-Maliah Fi al-Islam, (Uman: Mu’assasah al-Waraq, 1999), hal. 40.
[12] Ahmad Sukardja, “Riba, Bunga bank, dan Keridit perumahan”......, hlm. 36.
[13] Mahmud Humudah dan Musthafa Sulaiman, Adhwa A’la Al-Mu’amalat al-Maliah Fi al-Islam....., hal. 40.
[14] Ali Imran (3): 130. Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya Haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
[15] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Wasith (Al-Fatihah-Al-Taubah), alih bahasa Muhtadi, dkk,....., hal. 214.
[16] Mahmud Humudah dan Musthafa Sulaiman, Adhwa A’la Al-Mu’amalat al-Maliah Fi al-Islam,......, hal. 41.
[17] Ibid., hal. 41-42.
[18]Muhammad Zuhri, Riba Dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan....., hal. 67-69.
[19] Wahbah az-Zuhali, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid IV, (Bairut: Dar al-Fikr, 1985), hal. 672. lihat pula Fuad Zein, Aplikasi Ushul Fiqh dalam kajian keuangan Kontemporer, dalam Aunurafiq (ed), Mazhab Jogja: Menggagas Pradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Fak. Syariah IAIN & ar-Ruzz Press, 2002), hal. 173. Menurut Fuad Zen bahwa Rumusan riba nasi’ah itu telah dapat menggambarkan bentuk formal praktik riba Jahiliyah secara tepat. Kerugian sepihak dan kezaliman sebagai ‘hakikat” riba pada waktu itu ditimbulkan oleh bentuk formal kegiatan ekonomi seperti tercantum dalam rumusan tersebut. Tampaknya kegiatan ekonomi yang formulanya seperti itu, sejak dahulu sampai masa fuqaha tetap mendatangkan kezaliman dan kerugian sepihak. Karena begitu melekatnya asosiasi antara tambahan atas jumlah pinjaman dengan penyengsaraan, maka penyengsaraan tidak perlu disebut lagi dalam rumusan.
[20] Fuad Zein, Aplikasi Ushul Fiqh dalam kajian keuangan Kontemporer”....., hal. 173.

[21] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 29.
[22] Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur;an dan Perbankan: Sebuah Tilikan antisipatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 141.
[23] Sri Edi Swasono, Bank dan Suku Bunga: Dalam Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988), hal. 128.
[24] Fuad Zein, Aplikasi Ushul Fiqh….., hal.174. Dalam lalu lintas perekonomian, suku bunga bank tidak konstan. Menurut Bank Indonesia, tingkat suku bunga dipengaruhi oleh berbagai factor; (a) likuiditas masyarakat; (b) ekspektasi inflasi; (c) besarnya suku bunga di luar negeri; (d) ekspektasi perubahan nilai tukar dan premi atas resiko. Jadi, betapapun rendahnya suku bunga tidak akan terlepas dari pertimbangan berbagai factor tersebut. Dalam system pengelolaan semacam ini, simpan pinjam tanpa bunga tampaknya tidak menumbuhkan perekonomian yang sehat, karena dari sector inflasi saja, daya beli uang berbeda karena perbedaan waktu, belum lagi perhitungan sector lain.
[25] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-manar, Jilid III, (Bairut: Dar al-Ma’arif, tt), hal. 93.

[26] Muhammad Zuhri, Riba dalam al-qur’an dan Perbankan......, hal. 124.
[27] Fuad Zein, Aplikasi Ushul Fiqh…..., hal.174.
[28] Apabila menarik pelajaran sejarah dari masyarakat barat, terlihat jelas bahwa “interest’ dan “usury” yang dikenal saat ini pada hakekatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang., umumnya dalam prosentase. Istilah “usury’ muncul karena belum mapanya pasar keuangan pada zaman itu sehinga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang diangap wajar. Namun setelah mapanya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Lihat Perry Warjiyo, “Muslim dan Sumber-sumber Penghasilan”, Kumpulan makalah Pembangunan Ekonomi dan Pendidikan Menurut Islam, Pengajian Keluarga Muslim Indonesia, IOWA State University, Amerika serikat, 1991, hal. 62.

 

Blogger news

Blogroll

About