REFKY FIELNADA

REFKY FIELNANDA

MAHASISWA EKONOMI ISLAM

Selasa, 21 Februari 2017

Ijarah Sebagai Model Pembiayaan Dalam Islam



Pendahuluan
Salah satu unsur yang terpenting dalam perkembangan suatu lembaga keuangan adalah bagai mana cara mendapatkan keuntungan yang optimal. Dengan berkembangnya bank syari’ah, dalam setiap kegiatan yang di lakukan tujuan utamanya yaitu ingin mendapatkan keuntungan, karena hal ini dilakukan dalam upaya meningkatkan pendapatan bagi bank syari’ah. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh bank syari’ah untuk memperoleh pendapatan yaitu melalui  kegiatan mengalokas kan dananya baik dalam bentuk memberikan pembiayaan kepada nasabah atau penggunaaan dalam menambah aset bank syari’ah.
Sampai saat ini, mayoritas produk pembiayaan syariah masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli). Pembiayaan murabahah sebenarnya memiliki persamaan dengan pembiayaan ijarah, keduanya termasuk dalam kategori  natural certainty contracts dan pada dasar nya adalah kontrak jual  beli. Perbedaan keduanya hanyalah objek transaksi yang diperjualbelikan tersebut, dalam pembiayaan murabahah, yang menjadi objek transaksi adalah barang, misalnya rumah, mobil dan sebagainya. Sedangkan dalam pembiayaan ijarah, objek transaksi nya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Jika dengan pembiayaan murabahah, bank syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat di layani. Dengan skim ijarah, bank syariah dapat melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.
Pembiayaan ijarah sebenarnya dapat dikatakan lebih menarik dibandingkan jenis pembiayaan lainnya seperti mudharabah dan musyarakah, karena pembiayaan ijarah mempunyai keistimewaan bahwa untuk memulai kegiatan usaha, pengusaha tidak perlu memiliki barang modal terlebih dahulu, melainkan dapat melakukan penyewaan kepada bank syari’ah.
Kefleksibelan pembiayaan ijarah pada bank syari’ahbsebenarnya sangat memberi kemudahan bagi para nasabah. Nasabah yang memerlukan suatu barang atau jasa untuk memenuhi  kebutuhannya baik kebutuhan konsumtif atau bisnis, disini nasabah terdapat dua pilihan dalam akad ijarah, yakni nasabahbdapat  menggunakan jasa atau manfaat dari  barang dan jasa tertentu tanpat harus memiliki barang tersebut secara permanen. Kedua adalah nasabah dapat memiliki kesempatan untuk memikili barang atau jasa yang diinginkan atau dikenal  dengan istilah ijarah muntahi ya bittamlik (IMBT).
Jika kita lihat lebih jauh lagi bahwa konsep ijarah ini tidak hanya berada pada sektor perbankan saja tetapi merambah pada instrumen-instumen yang lain seperti  sukuk ijarah pada pasar modal, bahkan sukuk ijarah merupakan sukuk yang paling diminati pada saat ini karena sukuk ijarah memiliki struktur yang lebih simpel dibanding sukuk mudharabah. Terkait pentingnya pembiayaan dengan menggunakan akad ijarah dalam bisnis perbankan dan pasar  modal, maka perlu sekiranya untuk mengetahui  tentang mekanisme terkait hal  tersebut. Mekanisme tersebut harus sesuai dengan prinsip kehati-hatian, guna untuk meningkatkan keefesienan kinerja perbankan dan pasar modal. Pembahasan makalah ini  dikhususkan kepada konsep ijarah sehingga nantinya diharapkan dapat menjadi informasi baru dalam memahami  konsep ijarah.

Konsep Aplikasi Produk Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bittamlik
Model Transaksi Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui  pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri  (Antonio, 2001: hal. 117). Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang maka disebut sewa-menyewa. Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah. Sedangkan akad ju’alah adalah akad ijarah yang pembayarannya didasarkan atas kinerja objek yang disewa. Pada ijarah, tidak terjadi  perpindahan kepemilikan obyek ijarah. Obyek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan (Veithzal, 2008: hal. 53).
Tansaksi  ijarah dilandasi adanya pemindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jualbeli, namun perbedaannya terletak pada obyek transasksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah obyek transaksinya adalahjasa. Mekanisme operasional  ijarah dapat digambarkan sebagai berikut (Muhammad, 2011: hal. 99):


 



Oval: Bank

                                                                                (3) sewa beli
  (2) beli objek Sewa                                                                     (1) pesan objeksewa
Penjelasan
1.    Transaksi ijarah ditandai dengan adanya pemindahan manfaat.  Jadi dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun perbedaan terletak pada objek transaksinya adalah barang maka, pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
2.    Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah.  Karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan al-ijarah muntahiyah bit-tamlik ( sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
3.    Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian antara bank dengan nasabah.

Model Transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik
Praktisi Keuangan menuliskan bahwa yang dimaksud dengan Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrakjual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan penyewa. Sifat kepemilikan ini ah yang membedakannya dengan ijarah biasa. IMBT memiliki banyak bentuk, tergantung apa yang di sepakati  kedua belah pihak yang berkontrak (Antonio, 2001: hal. 118). Misalnya al-ijarah dan janji menjual, nilai sewa yang mereka tentukan, harga barang dalam transaksi jual  dan kapan kepemilikan dipindahkan: Dalam ijarah muntah ya bittamlik, pemindahan hak milik barang terjadi  dengan salah satu dari dua cara berikut ini:
a.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
b.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.

Pilihan untuk menjual barang diakhir masa sewa (alternatif 1) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relative kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Karena itu, untuk mengurangi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memili ki  barang tersebut, ia harus membeli barang itu diakhir periode.
Pilihan untuk menghibahkan barang diakhir periode masa sewa (alternative 2) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa diakhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutupi harga barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut diakhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.
Pada IMBT dengan sumber pembiayaan dari Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan secara bulanan. Hal ini disebabkan karena pihak bank harus mempunyai cash in setiap bulan untuk memberikan bagi  hasil kepada nasabah yang dilakukan secara bulanan juga. Jadi  pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai  transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri.
Sering sekali barang yang disewakan kepada nasabah akanmerepotkan bank dalam hal pemeliharaannya. Oleh karena itu, bank dapat memberikan opsi kepada nasabah untuk menjadi pemilik atas barang setelah masa sewa telah berakhir (Gemala Dewi, 2006: hal. 159). Pada akhir masa sewa, bank syariah dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Mekanisme operasional ijarah muntahiya bittamlik dapat digambarkan sebagai berikut (Karim, 2004: hal. 147):



 






Oval: Bank

                                                                                (3) sewa beli
  (2) beli objek Sewa                                                                     (1) pesan objeksewa


Prospek, Kendala, dan Strategi Penyaluran Dana Ijarah dan IMBT
Berdasarkan data yang dikeluarkan Bank Indonesia menunjukkan bahwa produk pembiayaan yang disalurkan oleh bank syari’ah masih tinggi peminatnya dikalangan masyarakat, ini terbukti dari tujuh tahun terakhir jumlah angka pembiayaan terus meningkat. Produk pembiayaan yang sangat diminati adalah murabahah yakni  mencapai  seki tar  56,365 miliyar pada 2011, dan yang kedua adalah produk pembiayaan musyarakah yakni mencapai sekitar 18,960 miliyar  pada 2011. Sedangkan pembiayaan ijarah masih menempati posisi di bawah mudharabah dan qard, yakni sebesar 3,839 miliyar dan berada peringkat ketiga dari  bawah setelah produk salam dan istishna (Indonesia, Juni 2012: hal. 18).
Kendala yang dialami  sebagian kalangan bank syariah yakni rumitnya mekanisme IMBT, oleh karena itu, kebanyakan dari bank syariah lebih memilih menggunakan akad murabahah. Walaupun kebanyakan bank syariah tidak memilih menjadikan akad ini sebagai yang utama, tetap saja ada bank yang menggunakan akad ini, contohnya Bank Muamalat Indonesia.
Prospek bagi bank yang menggunakan akad IMBT seperti Bank Muamalat Indonesia, bisa dikarenakan bank tersebut melihat keunggulan dari IMBT yang dapat merubah biaya sewa, sedang dalam murabahah yang mudah prosesnya, akan tetapi  tidak dapat berubah harga jualnya di  tengah terjadinya fluktuasi harga. Nasabah ingin memiliki rumah, misalnya. Nasabah membayar cicilan bulanan, besarnya dapat berubah dari waktu kewaktu sesuai kesepakatan. Pembayaran cicilan dari  nasabah ini , sebagian diakui sebagai pendapatan dan sebagian lagi  diakumulasi untuk pada akhirnya digunakan sebagai pelunasan kewajiban nasabah.
Risiko produk ini sebenarnya mirip dengan risiko financial leasing di sistem keuangan konvensional, mirip dengan risiko kredit jangka panjang dengan cicilan pokok pada bank konvensional. Namun sebagai produk syariah dengan paradigma syariah, tentu cara pencatatan produk ini  berbeda dengan yang konvensional .
Cicilan pokok nasabah untuk pelunasan dicatat sebagai biaya penyusutan yang akumulasinya diakhir periode untuk pelunasan. Sifat risiko berubah ketika “biaya penyusutan pembi ayaan IMBT” ini dianggap sama dengan “biaya penyusutan aktiva tetap”. Implikasi pajaknya sangat berbeda karena “biaya penyusutan pembiayaan IMBT” tidak dapat dianggap biaya dalam kacamata pajak sebagai mana “biaya penyusutan akti va tetap”. Substansinya adalah akumulasi cicilan nasabah untuk melunasi kewajibannya (Karim, Manajemen Risiko Bank Syariah).
Selain masalah tingkat kerumitan dalam yang dialami oleh kalangan perbankan, masalah yang sering muncul  dalam IMBT ini adalah Mengenai aturan loan to value (LTV) pada skema bagi hasil, pembiayaan bersama dan sewa dalam syariah. Para praktisi mengamati Ada dua akad yang menjadi kendala dalam penerapan kebijakan uang muka kredit, pertama akad musyarakah mutanaqishah. Kedua, akad ijarah muntahiya bittamlik.
Musyarakah mutanaqishah merupakan turunan akad musyarakah. Definisinya, perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu aset. Kerjasama ini mengurangi  hak kepemilikan salah satu pihak, serta menambah kepemilikan pihak lain. Bentuk kerjasama ini  berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain. Dalam konteks pembiayaan rumah, bank syariah dan nasabah akan bekerjasama dalam pengadaan rumah, lalu terjadi pengambilalihan porsi kepemilikan bank oleh nasabah dengan mengangsur.
Sedangkan dalam skim ijarah muntahiya bittamlik, bank akan meminjamkan dana ke nasabah untuk membeli rumah, lalu rumah menjadi milik bank. Nasabah baru memiliki rumah itu jika masa ijarahnya selesai dan memenuhi seluruh kewajiban. Pengambilalihan bisa berdasarkan akad jual beli atau hibah.
Pada skim murabahah LTV sudah pasti dikenakan, karena skema ini mewajibkan peran serta nasabah. Sebagian kalangan berpendapat kedua skim ini  perlu dikenakan LTV sebagai bentuk penegasan pembagian risiko antara bank dan nasabah. Bila tak dibagi, risiko terbesar ada di bank karena sebagian besar  pendanaan berada di bank, dengan adanya aturan ini bertujuan untuk memagari  bank syariah agar tidak terkena risiko pembiayaan bermasalah (NPF) tinggi. Saat  ini  rata-rata bank syariah menerapkan LTV sekitar 15%-20% (Franedya).
Strategi yang bisa diharapkan bank syariah ialah bank syariah agar tetap memperhatikan dan mempertimbangkan pengajuan pembiayaan nasabah dengan seksama agar nasabah yang menerima pembiayaan benar benar tepat.

Ijarah Pada Instrument Sukuk
Sukuk berasal dari bahasa Arab “sakk” (tunggal) dan jamaknya “sukuk atau sakaik” yang memiliki arti “memukul atau membentur ”, dan bisa juga bermakna “percetakan atau menempa” sehingga kalau di katakan “sakkan nukud” bermakna “percetakan atau penempahan uang”. Istilah sakk bermula dari tindakan membubuhkan cap tangan oleh seseorang atas suatu dokumen yang mewakili suatu kontrak pembentukan hak, obligasi, dan uang. Dalam konsep modern disebutkan sebagai pengamanan pembiayaan yang memberikan hak atas kekayaan dan tanggungan serta bentuk-bentuk hak milik lainnya (Wahid, 2010: hal. 92).
Sukuk ijarah (obligasi ijarah) adalah obligasi syari’ah yang menggunakan akad ijarah. Ijarah adalah perikatan sewa menyewa yang memberikan hak kepada muaajir (yang menyewakan) menerima upah dari mustajir (penyewa) atas manfaat yang diperolehnya. Artinya pihak yang menyewakan memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan obyek yang disewakankan, namun dengan kewajiban penyewa harus memberikan imbalan sesuai dengan hasil  kesepakatan (Gemala Dewi d.: hal. 158).
Dalam akad ijarah, pada prinsipnya terjadi pemindahan manfaat yang bersifat sementara, namun tidak disertai adanya pemindahan kepemilikan. Berdasarkan fatwa No.41/DSN-MUI/III/2004, ketentuan obligasi syari’ah ijarah sebagai  berikut:
a)    Akad yang digunakan dalam obligasi syari’ah ijarah adalah ijarah dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI No.9/DSN-MUI/IV/ 2000 tentang pembiayaan ijarah, terutama mengenai  rukun dan syarat akad.
b)   Sesuai yang menjadi obyek ijarah harus berupa manfaat yang diperbolehkan.
c)    Jenis usaha yang dilakukan emiten tidak boleh bertentangan dengan syari’ah dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI No.20/DSNMUI/IX/2000 tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk reksadana syari’ah dan No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang pasar modal dan pedoman umum penerapan prinsip syari’ah dibidang pasar modal .
d)   Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI baik asset yang telah ada maupun asset yang akan diadakan untuk disewakan.
e)    Pemegang OSI sebagai pemilik asset (a’yan) atau manfaat (manafi’) dalam menyewakan (ijarah) asset atau manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain dilakukan melalui emiten sebagai wakil .
f)    Emiten yang bertindak sebagai wakil dari pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.
g)   Dalam hal emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan (iwadh ma’lum) sebagai mana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
h)   Pengawasan aspek syari’ah dilakukan oleh DSN atau tim ahli syari’ah yang ditunjuk oleh DSN-MUI, sejak proses emisi  obligasi syari’ah ijar ah dimulai .
i)     Kepemilikan obligasi syari’ah ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.

Secara teknis, obligasi syari’ah ijarah dapat dilakukan dengan dua cara:
a)    Emiten dapat bertindak sebagai wakil investor yang berkedudukan sebagai penyewa (musta’jir), sedangkan property owner (pemilik properti) sebagai pihak yang menyewakan (mu’ji r).
b)   Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali obyek sewa kepada emiten.

Penerbitan sukuk diterbitkan dengan suatu underlying asset (jaminan aset) dengan prinsip syari’ah yang jelas. Penerbitan sukuk memerlukan sejumlah aset tertentu yang akan menjadi  obyek perjanjian (underlying asset). Aset yang menjadi obyek perjanjian harus memiliki nilai  ekonomis, dapat berupa aset berwujud atau tidak berwujud, termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun. Fungsi underlying asset tersebut adalah untuk menghindari riba dan sebagai prasyarat untuk dapat diperdagangkan di pasar sekunder serta untuk menentukan jenis struktur sukuk.
Berkaitan dengan emiten yang menerbitkan sukuk, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah core busi ness yang halal, memiliki investment grade yang baik dilihat dari fundamental usaha dan keuangan yang kuat serta citra yang baik bagi publik (Hayes, 1998: hal. 85).



KESIMPULAN

Implementasi akad ijarah (sewa-menyewa) dalam lembaga perbankan syari’ah yang terbagi  menjadi ijarah murni dan ijarah muntahiya bittamlik (IMBT). Dalam kenyataannya akad ijarah ini jarang digunakan oleh bank syari’ah, padahal dalam rangka diversifikasi produk penyaluran dana dari bank syari’ah kepada nasabah, akad ini  perlu untuk diterapkan. Pada prinsipnya akad ini banyak memberikan keuntungan baik pada bank syari’ah ataupun nasabah. Keuntungan yang diperoleh nasabah ialah dalam meningkatkan investasi, nasabah membutuhkan barang modal dengan nilai ekonomis yang besar, maka akan lebih mudah menggunakan sistem i jarah atau ijarah muntahiya bittamlik. Sedangkan bagi bank syari’ah, sistem ini mempercepat perputaran uang dan memajukan sistem investasi  yang dinamis.

Istishna dan Salam Sebagai Model Pembiayaan Dalam Islam



Pendahuluan
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna’.
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang. tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan istishna’dan salam. Jual beli dengan istishna’ dan salam  ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan keamanannya juga jelas. Maka jual beli istishna’ dan salam wajar jika masih banyak diminati.
Istishna’
Definisi Istishna’
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’  termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’  atas dasar istishan (Antonio, 2001, hal. 114).
Tujuan istishna’ umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunan proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiyaan investasi (Ismail, 2011, hal. 149-150 ). Dan skema istishna dapat digambarkan melalui gambar berikut:





Contoh kasus
Seuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepakbola sebesar Rp 20juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum biasanya Rp 4.000,00, sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada bank dengan harga Rp 38.000,00. Berapa keuntungan yang didapatkan bank?
Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp 38.000,00 X Rp 2.000,00) atau 5% dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar.

Salam
Secara bahasa, salam (­­سلم) adalah  al-i'tha'(الإعطاء)dan at-taslif (التسليف).  Keduanya  bermakna  pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyathbermakna : dia telah menyerahkan baju kepada penjahit (Lisanul Arab Madah Gharar, hal. 271).
Sedangkan  secara  istilah  syariah,  akad  salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا).  Jual-beli  barang yang disebutkan  sifatnya  dalam  tanggungan  dengan  imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai (Zuhaili, 2008, hal. 26).
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian (Ascarya, 2011, hal. 90).
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada  masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang dari harga barang (Al-Muqtadir, 2006, hal. 21). Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia (Khan, 1995, hal. 32).
Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.

Landasan Hukum
Al-Quran
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalahtidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam (al-Jaziry, 2004, hal. 244)
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-Salam, hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut (Antonio M. S., 2006, hal. 131)
Al-Hadist
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu." (al-Andalusy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 2004, hal. 162)
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِك)  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ 
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari). (al-Andalusy, 2004, hal. 162)
            Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada Ibnu Abi Aufa. Lantas saya tanyakan kepadabya perihal iti.Jawabnya.‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga.(Bukhari). (dkk, 2012. hal. 357)
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salam diperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.

Skema Salam
Skema jual beli salam yang dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah adalah seperti pada Gambar berikut  (Fahmi)







Banyak orang yang menyamakan bai’ as salam dengan ijon Padahal, terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Dalamijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik.Demikian juga penetapan harga beli, sangat tergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah. Sedangkan transaksi bai 'as salam mengharuskan adanya 2 hal :
Pertama pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. "Barangsiapa melakukan transaksi salaf (salam), maka hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula."
Kedua adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama dalam penyepakati harga. Allah berfirman: "Kecuali denganjalanperniagaanyang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian." (Q.S. An Nisa: 29).
Untuk memastikan adanya harga yang “fair” ini pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan pembinaan.
Contoh Ijon: Pembeli membeli beras yang saat itu masih belum dipanen sebanyak satu hektar, dan diantar pada saat panen. Contoh Bai’ as Salam: Pembeli membeli padi sebanyak satu ton padi dari petani yang diantar pada waktu panen.
Pada contoh ijon terdapat spekulasi yang akan merugikan salah satu pihak. Jika pembeli memperkirakan hasil panen sebanyak lima ton dan membayar seharga itu, sedangkan kenyataannya menghasilkan tujuh ton, maka petani merugi. Ia tidak bisa menikmati duaton kelebihannya. Tetapi sebaliknya, jika hasilnya hanya tiga ton maka pembeli yang merugi karena telah membayar seharga lima ton.
Pada contoh bai' as salam, petani hanya menjual sebagian dari produknya. Kalau terjadi gagal panen, ia hanya wajib menyediakan padi sebanyak yang dapat dipenuhinya.
Bai’ as salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak bemiat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka dilakukan akadbai’as salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai salam paralel.
Bai ’ as salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut.Hal itu berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayamya pada waktu pengikatan kontrak.Bank kemudian mencari pembeli kedua.Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.







SUBJEK
SALAM
ISTISHNA
ATURAN DAN KETERANGAN
Pokok Kontrak
Muslam Fiihi
Mashnu’
Barang di tangguhkan dengan spesifikasi.
Harga
Di bayar saat kontrak
Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari
Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’.
Sifat Kontrak
Mengikat secara asli (thabi’i)
Mengikat secara ikutan (taba’i)
Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
Kontrak Pararel
Salam Pararel
Istishna’ Pararel
Baik salam pararel maupun istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah.

Contoh Kasus
Seorang petani memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank sebesar Rp 5.000.000,00. Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan beras dijual dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi. Bagaimana perhitungannya?
Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton. Setelah melalui negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp 2.400,00 per kg yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga bank mendapat keungtungan 20%.

KESIMPULAN

Dari penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, kami dapat menarik kesimpulan:
1.        Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda,  pembayaran modal lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek transaksi, Sighat ‘ijab qabul, dan alat tukar.
2.        Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna’  mengikuti bai’ as-salam.  Hanya saja pada bai’ al-istishna’  pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.
3.        Perbedaan salam dan istishna’ adalah cara penyelesaian pembayaran salam dilakukan diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishna’ tidak secara kontan bisa dilakukan di awal, tengah atau akhir.
 

Blogger news

Blogroll

About