BAB
I
PENDAHULUAN
Studi Islam terjadi sejak Islam datang dimuka
bumi, di awali dengan pendekatan yang
sederhana dan kemudian mengalami
perkembangan dan kemajuan dalam pendekatan. Studi
Islam (Dirasah Islamiyah). Hal ini di karenakan
adanya peningkatan jumlah pemeluk Agama Islam dan perkembangan Ilmu ke Islaman, dengan tujuan terakhir adalah mengamalkan
dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam yang terkandung
dalam Al-Quran dan Hadits serta
Sunnah Nabi Muhammad SAW,
sebagai pembawa wahyu Ilahi. Perkembangan tersebut memerlukan suatu kajian dan metode dalam mendalami
Islam. Perkembangan studi keislaman (Islamic Studies) telah memberikan
sumbangan teramat penting dalam rangka membumikan
nilai-nilai pluralisme. Jika sebelumnya kita mengenal berbagai
pendekatan studi agama yang
bersifat monolitik-eksklusif, kini beragam
pendekatan ditawarkan sebagai
bahan sharing bagi penghayatan pengalaman keagamaan yang lebih pluralis-inklusif.
Islam berkemajuan menyemaikan benih-benih
kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan
keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia, Islam menjunjung
tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi.
Islam menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan,
antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk
pengrusakan dimuka bumi, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan
manusia, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan
kehidupan. Islam secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan
suku, bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia dimuka bumi” (Di kutip dari Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad
Kedua, Produk Muktamar ke-46 (2010). Dari perkembangan Islam tersebut diatas,
dan ragam budaya masyarakat
khususnya umat Islam, memerlukan suatu pendekatan yang cukup mewakili dari nilai
nilai yang terkandung di dalam Al-Quran, sehingga dapat di mengerti maksud dan
tujuan pesan Ilahi.
Demikian juga dengan pemikiran ke Islaman yang berkembang pada
masa sekarang ini telah dilakukan melalui berbagai perspektif dan metodologi.
Dimana setiap perspektif dan metode yang digunakan mempunyai ciri tersendiri
disamping kelebihan dan kekurangan yang melekat pada perspektif dan metode tersebut
tentunya. Mukti Ali menyatakan bahwa dalam mempelajari dan memahami Islam
terdapat tiga cara yang jelas yakni naqli (tradisional), aqli (rasional), dan
kasyfi (mistis). Hal senada diungkapkan suparlan suhartono (2007:14), dalam
kajian epistemologi barat dikenal tiga aliran pemikiran yakni empirisme,
rasionalisme, dan intuitisme. Sementara itu dalam pemikiran filsafat hindu
dinyatakan bahwa kebenaran dapat dari tiga macam yakni teks suci, akal, dan
pengalaman pribadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran
besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada
tiga model sistem berfikir Islam, yang masing-masing mempunyai pandangan yang
sama sekali berbeda tentang pengetahuan. Ketiga pendekatan tersebut telah ada
dalam pemikiran Rasulullah SAW dan terus dipergunakan oleh para ulama Islam
setelah beliau wafat hingga saat ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan Naqli
Naqli menurut bahasa adalah dari (نقل
الشيء) yakni mengambil sesuatu
dari satu tempat ke tempat lain, dan (نَقَلَة الحديث) yakni mereka yang menuliskan
hadist-hadist dan menyalinkannya dan menyandarkannya kepada sumber-sumbernya.
Dikatakan pada dalil-dalil dari Al-qur'an dan hadist: dalil naqli. Oleh
karena itu naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil
atau di ambil dari Kitab Allah yang Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau
dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita oleh naqalah al-hadist dan
perawi-perawi[1].
Diantara landasan utama ditetapkannya al-Qur'an dan sunnah sebagai dalil naqli
oleh para ulama adalah sebuah hadist Rasulullah saw:
تركت فيكم
أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله وسنة نبيه[2]
Artinya: "Telah aku tinggalkan dua perkara,
yang apabila kalian berpegang kepada keduanya maka kalian tidak akan tersesat:
Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya".
Namun ketika naqli
dihubungkan dengan ilmu tafsir maka disebut tafsir bi al-manqul atau bi
al-ma'tsur, yaitu penafsiran al-Qur'an yang disandarkan kepada
riwayat-riwayat yang sahih secara tertib, atau dengan cara menafsirkan
al-Qur'an dengan al-Qur'an atau menafsirkannya dengan as-Sunnah atau
menafsirkannya dengan riwayat-riwayat yang di terima dari para sahabat atau
para tabi'in[3],
seperti penafsirannya At-Thabari dan Ibnu Katsir.
Al-qur'an (القرآن)
adalah kitab suci umat Islam yang secara bahasa merupakan masdar (kata
benda) dari kata kerja (قرأ - قراءة – قرآناً), yang berwazan [4]فُعْلان.
Allah swt berfirman:
إنَّ
عَلَيْنَا جَمْعَهُ وقَرُآنَهُ. فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ[5]
Artinya: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu".
Adapun secara istilah
adalah kalam Allah, yang diturunkan kepada Muhammad saw, yang membaca setiap hurufnya adalah ibadah[6]. Atau secara lengkapnya adalah kalam Allah yang bermukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril dalam bahasa Arab, diriwayatkan secara mutawatir dan membaca setiap
hurufnya adalah ibadah, bermula dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah
an-Naas[7].
Oleh karena itu
al-Quran merupakan Kitab Suci umat Islam yang keotentikannya tidak diragukan
lagi; baik dari segi asal-usulnya, turunnya, riwayatnya, ayat-ayatnya, dst.
sehingga umat Islam menjadikanya sebagai sumber utama dalam mempelajari,
memahami, dan menjalankan ajaran (syariat) Islam juga dalam mengambil
dalil-dalil mengenai perkara-perkara atau permasalahan-permasalahan yang ada
kaitannya dengan keimanan dan amal ibadah mereka.
Sedangkan sunnah (السنة)
secara bahasa bermakna (السيرة الحسنة أو القبيحة): jalan hidup yang baik atau jelek, juga
bermakna (الطريقة): jalan.
Adapun secara istilah
sunnah memiliki beberapa definisi, diantaranya:
1. Sunnah menurut muhadditsun (ahli hadits) adalah apa yang disandarkan
kepada Rasulullah saw dari segi perkataan atau perbuatan atau pengakuan atau sifat akhlak (peribadi) dari permulaan diutusnya
sampai wafatnya[8].
2. Sunnah menurut ulama usul adalah perkataan-perkataan Rasulullah saw dan
perbuatan-perbuatannya serta pengakuan-pengakuannya yang diriwayatkan kepada
kita dengan periwayatan yang sahih[9].
Sunnah
Rasul saw adalah sumber rujukan umat Islam kedua setelah al-Qur'an, dimana
kedudukannya dalam Islam adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan kerana
terdapat penegasan yang banyak di dalam al Quran tentang sunnah tersebut,
bahkan di dalam beberapa tempat sunnah disebutkan bersamaan dengan al Kitab
ataupun al Quran, dan disebutkan juga ketaatan terhadap Rasulullah saw setelah
ketaataan kepada Allah swt. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan di dalam
firman-Nya seperti:“Dan taatilah Allah dan RasulNya, jika kamu adalah
orang-orang yang beriman”[10].
Dan firman-Nya:“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain bagi urusan
mereka”[11].
Juga firman-Nya:“Apa yang diberikan Rasul kepada kamu, maka ambillah ia, dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”[12].
Dengan
penegasan al Quran di atas, jelaslah bahawa sunnah tidak dapat dipisahkan
penggunaannya di dalam segala hal yang berkaitan dengan Islam. Sehingga fungsi
sunnah di dalam Islam, diantaranya
1. Penguat
dan penyokong hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran seperti dalam perkara
pensyariatan shalat, puasa dan haji.
2. Pengurai
dan pentafsir ayat-ayat al-Quran yang umum seperti memperjelaskan mengenai tata
cara perlaksanaan shalat, kaedah jual beli, menunaikan zakat dan haji dan
sebagainya yang mana perkara-perkara tersebut hanya disebutkan secara umum oleh
al-Quran.
3. Menjadi
keterangan tasyri’ yaitu menentukan sesuatu hukum yang tidak disebutkan di
dalam al-Quran seperti dalam hal memakan hewan yang ditangkap oleh hewan pemburu terlatih
seperti anjing yang mana buruan tersebut terdapat kesan dimakan oleh hewan
pemburu terlatih tadi dan kesan tersebut menunjukkan bahwa hewan pemburu tadi
menangkap buruan untuk dirinya sendiri. Di dalam al-Quran hanya dibenarkan
memakan buruan yang ditangkap oleh hewan pemburu terlatih. Maka dalam hal ini,
hadith menerangkan bahawa buruan yang mempunyai kesan dimakan oleh hewan
pemburu adalah haram dimakan.
4. Menasakhkan
hukum yang terdapat di dalam al Quran. sebagian ulama berpandangan bahawa
hadith yang dapat menasakhkan hukum al Quran itu mestilah sekurang-kurangnya
bertaraf Mutawatîr, Masyhûr ataupun Mustafhîdh.
Namun
dalam pengembangan metode pemikiran Islam pendekatan naqli juga dikenal dengan
pendekatan bayani. Pendekatan bayani mengandung empat pengertian, yakni pemisahan,
keterpisahan, jelas dan penjelasan. Kemudian diklarifikasikan menjadi dua
kelompok : al-bayan sebagai metodologi, yang berarti pemisahan dan
penjelasan dan al-bayan sebagai pandangan dunia yang berarti
keterpisahan dan jelas.[14]
Tujuan pendekatan bayani adalah : Memahami atau menganalisis teks guna menemukan
atau mendapatkan makna yang dikandung dalam lafadz. Istinbat hukum-hukum dari al-nusus an-diniyah dan Al-Qur’an
khususnya. Pendekatan ini menggunakan alat bantu (instrument)
beberapa ilmu-ilmu kebahsaan dan uslub-uslubnya serta asbabun nuzul dan istinbat
atau istidlal sebagai metodenya.
B.
Pendekatan Aqli
Kata 'aqli
secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab (عقل): akal yang mempunyai beberapa makna, di
antaranya: (الدية): denda, (الحكمة): kebijakan, dan (حسن التصرف): tindakan yang baik atau tepat[15].
Secara
istilah akal memiliki beberapa definisi diantaranya:
1. Cahaya
nurani, yang dengannya jiwa bisa mengetahui perkara-perkara yang penting dan
fitrah[16].
2. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada
setiap manusia.
3. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan bagian
dari indera dan insting yang ada dalam diri manusia yang memiliki sifat
berubah-rubah, yakni bisa ada dan bisa hilang. Hal ini sebagaimana dijelaskan
oleh Rasulullah saw dalam salah satu sabdanya: "...dan termasuk orang gila
sampai ia kembali berakal"[17].
Dan akal merupakan
indera yang diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya muatan
tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas
pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah swt[18],
sebagaimana dalam firman-Nya: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan"[19].
Oleh karena itu,
syari’at Islam telah memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap
akal manusia, sebagaimana dapat dilihat pada beberapa point berikut ini:
1. Allah mengkhususkan penyampain kalam-Nya hanya kepada orang yang berakal,
karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya[20]. Allah
swt berfirman: "…dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai akal"[21].
2. Syarat utama yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif
(beban kewajiban) dari Allah swt yang berkenaan dengan hukum-hukum syari’at
Islam adalah akal. Oleh karena itu ketika ia kehilangan akalnya dikarenakan
gila misalnya, maka ia tidak tidak menerima taklif itu[22].
Rasulullah saw bersabda: "Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat
(dibebaskan) dari tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil
sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)"[23].
3. Allah swt mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan
Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya[24]. Allah
swt berfirman: "Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan
atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala"[25].
4. Banyak disebutkan di dalam al-Qur-an mengenai anjuran-anjuran Allah kepada
manusia agar mempergunakan akalnya untuk berfikir, seperti: tadabbur, tafakkur,
ta-aqqul dan lainnya. Diantaranya seperti kalimat: لعلكم تتفكرون
(mudah-mudahan kamu berfikir), أفلا تعقلون(apakah
kamu tidak berakal) dan أفلا يتدبرون القرآن (apakah mereka tidak
mentadabburi/merenungi isi kandungan al-Qur'an), dan lainnya[26].
5. Islam mencela hal-hal yang dapat membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja
akal, seperti taqlid buta yang hanya menerima pendapat orang lain tanpa
dilandasi oleh dalil[27].
Kata 'Aqli
ketika dihubungkan dengan kajian ilmu-ilmu agama identik dengan dalil-dalil
yang berdasarkan akal fikiran manusia yang sehat dan
obyektif, tidak dipengaruhi oleh keinginan, ambisi atau kebencian dari emosi.
Dan ketika 'Aqli
dihubungkan secara khusus dengan disiplin ilmu tafsir, maka disebut tafsir bi
al-ma'qul atau bi ar-ra'yi, yaitu penafsiran al-Qur'an yang lebih
dititikberatkan kepada kemampuan akal fikiran yang sehat dan obyektif (ijtihad)
daripada disandarkan kepada periwayatan-periwayatan. Dalam hal ini seorang
mufassir akan menggunakan kemampuan akalnya (ijtihadnya) dengan bantuan
ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu
hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain untuk menerangkan maksud ayat dan
mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada,
sehingga tersusunlah bentuk tafsir yang sesuai dengan masa dimana mufassir
tersebut hidup. Beberapa tafsir yang terkenal dalam bentuk ini antara lain:
Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Al-Baidhawi, dll[28].
Namun
dalam pengembangan metode pemikiran Islam pendekatan aqli juga dikenal dengan
pendekatan burhani. Burhan adalah
penjelasan terhadap sesuatu hujjah secara transparan, atau merupakan
hujjah itu sendiri yang mengharuskan adanya tashdiq (pembenaran)
terhadap suatu persoalan karena kebenaran argumentasinya.
Adapun menurut terma logika, burhan adalah analogi yang disusun dari
beberapa premis untuk mendapatkan hasil yang meyakinkan. Pendekatan Burhani
atau rasional argumentative adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada
kekuatan rasio melalui instrument logika dan metode diskursif. Tujuan dari pendekatan ini adalah menetapkan aturan-aturan yang digunakan
untuk diperoleh darinya.
Dalam kita memahami
realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, lebih baik apabila
digunakan pendekatan-pendekatan sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran
Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi
antara anggota masyarakat. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati
masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya
Islam. Dan dalam melakukan hal itu
tentunya harus menggunakan pendekatan kebudayaan, agar pendekatan ini dapat
mendekati ideal masyarakat, strategi ini menghendaki kesinambungan historis,
sehingga dibutuhkan juga pendekatan sejarah. Oleh karena itu dalam pendekatan
burhani, keempat pendekatan sosial, antropologi, kebudayaan, dan sejarah berada
dalam posisi saling berhubungan secara dialektik dan saling membentuk jaringan
keilmuan.[29]
C.
Pendekatan
Kasyfi
Metode Kasyfi ini
dipergunakan oleh para sufi untuk memperoleh pengetahuan secara langsung dari
Allah dengan intuisi sebagai instrumennya dan bukan melalui nalar. Dalam pengembangan metode pemikiran Islam pendekatan kasyfi juga
dikenal dengan pendekatan Irfani. Kata irfan dikalangan
para sufi digunakan untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang tertinggi yang
dihadirkan dalam qalbu dengan cara kasyf dan ilham Pendekatan
Irfani merupakan sebuah pendekatan yang dikembangkan oleh kaum arif untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz
dan ibarah. Pendekatan Irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada
instrument pengalaman batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan iktishafi.
Melalui pendekatan ini
(penerapan analisis esoteric-intuitif) makna hakikat atau makna terdalam
dibalik teks dan konteks dapat diketahui. Dalam paradigma bayani lebih melihat
teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan, sementara dalam paradigma irfani
melihat teks sebagai sebuah symbol dan isyarat yang menuntut pembacaan dan
penggalian makna. Pendekatan Irfani memiliki dua tugas penting, yaitu: Membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat teks
keagamaan. Membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat yang terkandung dalam
bentuk-bentuk seni tradisi atau budaya lokal.
D. Contoh Penggunaan Pendekatan Naqli, Aqli, dan Kasyfi
Penggunaan dalam bidang tafsir,
yang ada kaitannya dengan penafsiran ayat pertama dari surat Al-Insyiqaaq
(terbelah), yaitu berbunyi: إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ (Apabila langit terbelah). Al-Alusi menafsirkan ayat ini
dengan ayat lain dan dengan menyandarkan kepada periwayatan-periwayatan, sebagaimana ia sebutkan di
dalam tafsirnya, yaitu:
"(إذا السماء انشقت): "Apabila langit terbelah" yakni (بالغمام): berawan (berkabut putih), seperti yang di riwayatkan Ibnu
Abas, yang diikuti oleh Al-Farra da Az-Zujaj di dalam "Al-Bahr" dan
ia menguatkannya dengan firman Allah: (ويوم تشقّقُ السماء بالغمام): "Dan (ingatlah)
hari (ketika) langit pecah belah mengeluarkan kabut putih" maka
al-Qur'an sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain, dan dikatakan bahwa
langit itu terbelah karena kedahsyatan hari kiamat, sebagaiman firman Allah: (وانشقت السماء فهي يومئذ واهية): "Dan terbelahlah
langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah". dan Ibnu Hatim
telah meriwayatkan dari Ali karramallahu wajhah bahwasanya langit
terlepas dari galaksi, dan didalam atsar (riwayat sahabat) disebutkan
bahwa hal itu (langit terbelah itu) menunjukan terbukanya pintu langit..." [30]. Muhammad Abduh menafsirkan ayat
ini dengan argumen akal yang didasarkan pada pengetahuan dan penelitian ilmiah. Maka ia memandang bahwa insyiqaaq
as-samaa maknanya bisa berupa satu kejadian besar dari sekian
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan tata surya, seperti kejadian
lewatnya sebuah bintang dekat dengan bintang lainnya yang menimbulkan gaya
tarik menarik dan menyebabkan terjadinya benturan antara keduanya. Karena benturan tersebut, maka tata surya mengalami goncangan yang kuat.
Sehingga munculah di langit awan dan kabut yang datang dari berbagai arah. Maka
langitpun terbelah oleh awan dan kabut tersebut. Hal ini kemudian mengakibatkan
rusaknya peredaran tata surya[31].
Dalam penggunaan pendekatan kasyfi seperti dicontohkan dalam memahami
sifat-sifat Tuhan tidak didekati secara mistik, ritual, dan formalnya belaka,
tetapi lebih ditangkap dimensi semmangatnya yang dapat berimplikasi pada
perubahan sikap melalui proses internalisasi secara intent, yang oleh
al-Ghazali disebutkan dengan istilah al-takhalluq bi akhlaq Allah ‘ala
thaqah al-basyariyah, yaitu budi pekerti dengan budi pekerti Tuhan,
sejalalan dengan kesanggupan manusia. Sebagai contoh jika kita mengetahui bahwa
Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Pencipta, maka seharusnya kita berupaya untuk
mengembangkan penelitian dalam arti seluas-luasnya untuk memperoleh ilmu dan
agar dapat menciptakan karya dalam berbagai bidang yang bernmanfaat bagi
manusia[32].
Jika kita melihat kepada metode memahami Islam dalam kasus Majelis Tarjih Muhammadiyah sebagaimana yang diungkapkan oleh
Mukti Ali. Kita mengetahui bahwa Majelis Tarjih
Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1927, sebagai hasil kongres ke-16
di Pekalongan, bertugas untuk membahas dan menentukan masalah-masalah hukum
Islam. Jiuka kita mempelajari pelaksanaan organisasi tersebut, maka ada
beberapa prinsip yang melandasi pemikiran ketarjihan Muhammadiyah yaitu (1)
prinsip ke-nisbian akal, (2) prinsip tidak berorientasi kepada orang atau
madzhab, dan (3) prinsip keterbukaan dan toleransi.
Menurut majlis tarjih, dalam merumuskan masalah-masalah syariah, baik dalam
arti luas yang meliputi persoalan-persoalan akidah maupun dalam arti yang
sempit yang hanya sebatas pada aspek hukum (fiqh) saja, akal tidak memainkan
peran paling dominan, oleh karena kemampuannya sangat terbatas dan nisbi
adanya. Berbeda dengan aliran rasioanalis (ahlur-ra’yi), dalam hukum Islam
seperti yang ditokohi oleh Abu Hanifah yang bahkan dikatakan sebagai orang yang
kadang-kadang mendahulukan qiyas atas hadits, Majelis Tarjih tampak sebagai
lebih berorientasi kepada nash dan memberikan porsi yang kecil kepada pemikiran
dalam menetapkan hukum. Ketika menjelaskan apa yang dimkasud dengan “dunia”
dalam pernyataan nabi Muhamma SAW, bahwa manusia itu lebih tahu tentang urusan
dunianya, Majelis Tarjih Mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “urusan dunia”
adalah hal-hal yang tidak menjadi tugas nabi Muhammad SAW. Sedangkan masalah
hukum sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa itu adalah salah tugas yang
dijalankan oleh nabi, sehingga karena itu Sunnahnya menjadi sumber asasi hukum
setelah al-Qur’an. Pada Kitab Iman, dalam himpunan putusan tarjih ditegaskan
bahwa Allah telah menashkan (menyatakan) bahwa kekutan akal itu terbatas. Oleh
sebab itu, pertimbangan akal terhadap sesuatu yang dianggap maslahat tidak
dapat didahulukan atas nash, jika terdapat pertentangan. Prinsip maslahat hanya
dapat dipakai jika tidak bertentangan dengan nash. Apabila ada suatu nash yang
tegas melarang atau sebaliknya tegas memerintahkan sesuatu, maka kita harus
berpegang pada nash itu sebagaimana yang dikehendakinya, kecuali kalau ada
keadaan darurat yang menghendaki lain.
Dengan melihat uraian diatas, tampak bahwa ada kemiripan antara prinsip
pemikiran keterjihan Muhammadiyah dengan pandangan Ibn Taimiyah, walaupun tidak
dapat dikatakan benar-benar sama seratus persen. Menurut Ibn Taimiyah, akal itu
tidak dapat mencapai kebenaran agama dengan sendirinya, melainkan harus disertai
dangan dalil naqli. Akal harus mengikuti dalil naqli dan tidak dapat terjadi
sebaliknya. Akal tidak dapat menta’wilkan al-Qur’an ditempat-tempat dimana
terjadi pertentangan antara akal itu dengan al-Qur’an. Ta’wil hanya dapat
dilakukan berdasarkan keterangan al-Qur’an pula, tidak berdasarka semata-mata
keterangan akal.
Prinsip kedua yang menjadi dasar pemikiran ketarjihan Muhammadiyah ialah
tidak dibenarkannya taqlid kepada ulama atau madzhab. Setiap orang, dalam
mengamalkan ajaran Islam, harus langsung memahami dasar amalan itu dari
dalilnya, baik dari al-Qur’an maupun hadits Nabi: tidak boleh disandarkan
kepada pendapat orang atau madzhab. Adapun bagi orang yang tidak mampu untuk
berijtihad sendiri, Muhammadiyah menciptakan suatu konsep yang dinamakan ittiba’.
Secara harfiah ittiba’ berarti mengikuti. Tetapi dalam konteks Muhammadiyah,
istilah itu digunakan untuk menyatakan penerimaan terhadap pendapat seorang
ulama dengan keharusan mengetahui dasar yang menjadi landasan.
Prinsip ketiga yang menajadi landasan pemikiran ketarjihan Muhammadiyah
adalah prinsip keterbukaan dan toleransi. Maksudnya majelis tarjih tidak
bersifat eksklusif dan beranggapan bahwa hanya hasil putusan tarjih sajalah
yang benar, sedangkan pendapat lain adalah salah. Keputusan tarjih tidak
bersifat melawan , menetang, dan menjatuhkan semua pendapat yang tidak dipilih
oleh tarjih itu.
Jika memperhatikan tiga macam pendekatan yaitu, naqli, aqli, dan kasyfi,
maka kita mengetahui bahwa pendekatan kasyfi (intuitif), yaitu tasawuf, telah diberi
interpretasi oleh Muhamadiyah dengan ajaran-ajaran etik dan moral yang praktis
seperti amal usaha Muhammadiyah dalam bidang sosial, pendidikan, wanita dan
sebagainya.
Di atas telah diterangkan bahwa metode untuk memahami Islam ada tiga yaitu
naqli, aqli, dan kasyfi. Memang usaha besar telah dilakukan untuk
mengkompromikan ketiga pendekatan ini, umpamanya yang dilakukan oleh Asy’ari
dalam mengkompromikan antara pendekatan tradisionalis dan rasionalis. Dan usaha
yang dilakukan al-Ghazali dalam mengharmonikan antara pendekatan tradisionalis
dan mistis, namun dalam sepanjang perjalanan sejarah pemikiran Islam hal itu
belum terwujud. Bahkan orang mempunyai kesan bahwa pengaruh al-Ghazali dalam
pemikiran dunia Islam adalah pada pendekatan agama secara mistis, dan
pendekatan secara rasioanal ditinggalkan. Sudah barangtentu ini bukan maksud
al-Ghazali, tetapi itulah kecenderungan pemikrian dunia Islam, juga di
Indonesia ini[33].
Ketika kita menelusuri sejarah ilmu kalam atau ilmu
Tauhid, maka kita akan menemukan bahwa penggunaan dalil naqli dan dalil 'aqli,
sebelum munculnya faham Asy’ari sangat kontradiktif. Dimana kelompok salaf dan
qaramatiyah, sangat mengutamakan dalil naqli dan meremehkan dalil 'aqli,
sedangkan kelompok Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha’ sangat
mengutamakan dalil 'aqli dari pada dalil naqli, begitu juga kelompok
Al-Maturidiyah memandang bahwa akal dapat mengetahui baik buruknya perkara dan
bahwa mengetahui Allah itu dengan akal atau dengan kata lain bahwa akal itu
merupakan alat untuk mengetahui Allah. Kemudian setelah imam Asy'ari muncul,
kedua dalil itu di kumpulkan olehnya dengan secara paralel atau saling
menguatkan.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali menegaskan bahwa akal memerlukan
dalil naqli dan dalil naqli memerlukan akal. Oleh karena itu ia
memandang bahwa bertaqlid atau menerima kepada pendapat orang tanpa
mempergunakan akal sama sekali adalah suatu kebodohan, begitu juga mencukupkan
akal saja tanpa memerlukan sinar wahyu Ilahi dan sunnah nabi adalah suatu
tipuan belaka. Maka menurutnya jauhilah model seperti ini dan hendaklah
mempergunakan atau menggabungkan kedua dasar pokok ini (naqli dan 'aqli),
karena sesungguhnya "ilmu logika dan filsafat itu seperti makanan, dan
ilmu-ilmu syara' itu adalah obat"[34].
Ibnu Taimiyah melihat bahwa apabila dikatakan bahwa
dua dalil saling bertentangan, baik kedua-duanya itu naqli atau
kedua-duanya 'aqli atau salah satunya naqli dan yang lainnya 'aqli,
maka yang harus dikatakan (ditetapkan) adalah bahwa hal tersebut tidak terlepas
dari tiga pilihan, yaitu: kedua-duanya qath'i (pasti atau absolut), atau
kedua-duanya dzanni (relatif atau dugaan), atau salah satunya qath'i
dan yang lainnya dzanni.
Apabila kedua-duanya itu qath'i, maka tidak boleh
ada pertentangan, baik kedua-duanya itu 'aqli atau kedua-duanya naqli
atau salah satunya 'aqli dan yang lainnya naqli. Ini merupakan
kesepakatan para ulama, karena dalil qath'i adalah dalil atau petunjuk
yang mengharuskan adanya ketetapan pada madlulnya (yang ditunjukannya),
dan dalalahnya (tanda penunjuknya) tidak mungkin bathil. Dalam hal ini
apabila kedua dalil qath'i saling bertentangan dan salah satunya
menentang madlul yang lainnya, maka kedua-duanya mesti bersatu, dan ini
tidaklah mungkin, bahkan setiap dalil yang diyakini bertentangan dengan dalil
yang diyakini qath'i maka kedua dalil tersebut atau salah satunya
haruslah bukan qath'i atau kedua madlulnya saling bertentangan.
Dan apabila salah satu dari kedua dalil yang saling
bertentangan itu qath'i tanpa yang lainnya, maka yang qath'i
haruslah di dahulukan, sebagaimana kesepakatan para ulama, baik dalil itu naqli
ataupun 'aqli, karena yang dzanni tidak sampai kepada tahapan
yakin.
Adapun apabila kedua-duanya dzanni, maka hal
ini harus di bawa ke ranah tarjih, mana dari keduanya yang paling rajih maka
didahulukan, baik dalil itu naqli ataupun 'aqli[35].
Sedangkan Muhammad Abduh, salah seorang ulama yang termasuk pembaharu agama dan sosial di Mesir pada
zaman modern, disatu sisi berpandangan seperti
pandangannya Ibnu Taimiyah, bahwa antara naqli dan 'aqli tidak
mungkin bertentangan. Namun ketika didapat ada pertentangan antara keduanya,
Abduh memilih yang benar menurut 'Aqli, sehingga tampak
dihadapannya dua jalan: tunduk kepada kebenaran wahyu dengan mengakui
ketidakmampuan dalam memahaminya dan menyerahkan perkara tersebut kepada Allah
swt, atau mena’wilkan wahyu dengan memperhatikan kaedah-kaedah bahasa sehingga
ada persesuian antara maknanya dengan apa yang telah ditetapkan oleh akal[36].
Secara ringkas pandangan jumhur ulama tentang pertentangan antara naqli
dan 'aqli dalam bidang tauhid adalah sebagai berikut[37]:
1. Naqli didahulukan atas 'aqli,
karena naqli itu ma’shum sedang 'aqli tidak ma’shum.
2. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak
bersifat detail.
3. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan naqli.
4. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan naqli.
5. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan
seterusnya) adalah hak prerogatif syari'at (naqli).
6. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya
wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.
7. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh naqli. Allah swt
berfirman: "Kami tidak akan meng‘adzab sehingga Kami mengutus seorang
Rasul"[38].
8. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh naqli.
9. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah swt yang ditentukan oleh akal
kita kepada-Nya, karena Allah swt mengatakan tentang diri-Nya: "Maha
Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya"[39].
BAB III
KESIMPULAN
Mukti Ali menyatakan bahwa dalam mempelajari dan
memahammi Islam terdapat 3 (tiga) cara yang jelas yakni naqli (tradisional),
aqli (rasional) dan kasyfi (mistis). Ketiga pendekatan tersebut telah ada dalam
pola pemikiran Rasulullah SAW dan terus dipergunakan oleh para ulama Islam
setelah beliau wafat hingga saat ini. Ketiga metode tersebut dalam
operasionalnya lebih dikenal dengan istilah pendekatan bayani, irfani dan
burhani. Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui
Rasul-rasul-Nya berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar