REFKY FIELNADA

REFKY FIELNANDA

MAHASISWA EKONOMI ISLAM

Selasa, 21 Februari 2017

Pendekatan Naqli, Aqli, dan Kaysfi Dalam Pengkajian Islam



BAB I
PENDAHULUAN
Studi Islam terjadi sejak Islam datang dimuka bumi, di awali dengan pendekatan yang sederhana dan kemudian mengalami perkembangan dan kemajuan dalam pendekatan. Studi Islam (Dirasah Islamiyah). Hal ini di karenakan adanya peningkatan jumlah pemeluk Agama Islam dan perkembangan Ilmu ke Islaman, dengan tujuan terakhir adalah mengamalkan dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam  yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits serta Sunnah Nabi Muhammad SAW,  sebagai  pembawa  wahyu  Ilahi. Perkembangan tersebut memerlukan suatu kajian dan metode dalam mendalami Islam. Perkembangan studi keislaman (Islamic Studies) telah memberikan sumbangan teramat penting dalam rangka membumikan nilai-nilai pluralisme. Jika sebelumnya kita mengenal berbagai pendekatan studi agama yang bersifat monolitik-eksklusif, kini beragam pendekatan ditawarkan sebagai bahan sharing bagi penghayatan pengalaman keagamaan yang lebih pluralis-inklusif.
Islam berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia, Islam menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Islam menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan dimuka bumi, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan manusia, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku, bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia dimuka bumi” (Di kutip dari Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, Produk Muktamar ke-46 (2010). Dari perkembangan Islam tersebut diatas, dan ragam  budaya masyarakat khususnya umat Islam, memerlukan suatu pendekatan yang cukup  mewakili dari nilai nilai yang terkandung di dalam Al-Quran, sehingga dapat di mengerti maksud dan tujuan pesan Ilahi.
Demikian juga dengan pemikiran ke Islaman yang berkembang pada masa sekarang ini telah dilakukan melalui berbagai perspektif dan metodologi. Dimana setiap perspektif dan metode yang digunakan mempunyai ciri tersendiri disamping kelebihan dan kekurangan yang melekat pada perspektif dan metode tersebut tentunya. Mukti Ali menyatakan bahwa dalam mempelajari dan memahami Islam terdapat tiga cara yang jelas yakni naqli (tradisional), aqli (rasional), dan kasyfi (mistis). Hal senada diungkapkan suparlan suhartono (2007:14), dalam kajian epistemologi barat dikenal tiga aliran pemikiran yakni empirisme, rasionalisme, dan intuitisme. Sementara itu dalam pemikiran filsafat hindu dinyatakan bahwa kebenaran dapat dari tiga macam yakni teks suci, akal, dan pengalaman pribadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berfikir Islam, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan. Ketiga pendekatan tersebut telah ada dalam pemikiran Rasulullah SAW dan terus dipergunakan oleh para ulama Islam setelah beliau wafat hingga saat ini.




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pendekatan Naqli
Naqli menurut bahasa adalah dari (نقل الشيء) yakni mengambil sesuatu dari satu tempat ke tempat lain, dan (نَقَلَة الحديث) yakni mereka yang menuliskan hadist-hadist dan menyalinkannya dan menyandarkannya kepada sumber-sumbernya.
Dikatakan pada dalil-dalil dari Al-qur'an dan hadist: dalil naqli. Oleh karena itu naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari Kitab Allah yang Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita oleh naqalah al-hadist dan perawi-perawi[1].
Diantara landasan utama ditetapkannya al-Qur'an dan sunnah sebagai dalil naqli oleh para ulama adalah sebuah hadist Rasulullah saw:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله وسنة نبيه[2]

Artinya: "Telah aku tinggalkan dua perkara, yang apabila kalian berpegang kepada keduanya maka kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya".

Namun ketika naqli dihubungkan dengan ilmu tafsir maka disebut tafsir bi al-manqul atau bi al-ma'tsur, yaitu penafsiran al-Qur'an yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang sahih secara tertib, atau dengan cara menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an atau menafsirkannya dengan as-Sunnah atau menafsirkannya dengan riwayat-riwayat yang di terima dari para sahabat atau para tabi'in[3], seperti penafsirannya At-Thabari dan Ibnu Katsir.
Al-qur'an (القرآن) adalah kitab suci umat Islam yang secara bahasa merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja (قرأ - قراءةقرآناً), yang berwazan [4]فُعْلان. Allah swt berfirman:

إنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وقَرُآنَهُ. فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ[5]

Artinya: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu".

Adapun secara istilah adalah kalam Allah, yang diturunkan kepada Muhammad saw, yang membaca setiap hurufnya adalah ibadah[6]. Atau secara lengkapnya adalah kalam Allah yang bermukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril dalam bahasa Arab, diriwayatkan secara mutawatir dan membaca setiap hurufnya adalah ibadah, bermula dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah an-Naas[7].
Oleh karena itu al-Quran merupakan Kitab Suci umat Islam yang keotentikannya tidak diragukan lagi; baik dari segi asal-usulnya, turunnya, riwayatnya, ayat-ayatnya, dst. sehingga umat Islam menjadikanya sebagai sumber utama dalam mempelajari, memahami, dan menjalankan ajaran (syariat) Islam juga dalam mengambil dalil-dalil mengenai perkara-perkara atau permasalahan-permasalahan yang ada kaitannya dengan keimanan dan amal ibadah mereka.
Sedangkan sunnah (السنة) secara bahasa bermakna (السيرة الحسنة أو القبيحة): jalan hidup yang baik atau jelek, juga bermakna (الطريقة): jalan.
Adapun secara istilah sunnah memiliki beberapa definisi, diantaranya:
                                                                                                                 
1.    Sunnah menurut muhadditsun (ahli hadits) adalah apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw dari segi perkataan atau perbuatan atau pengakuan atau sifat akhlak (peribadi) dari permulaan diutusnya sampai wafatnya[8].
2.    Sunnah menurut ulama usul adalah perkataan-perkataan Rasulullah saw dan perbuatan-perbuatannya serta pengakuan-pengakuannya yang diriwayatkan kepada kita dengan periwayatan yang sahih[9].

Sunnah Rasul saw adalah sumber rujukan umat Islam kedua setelah al-Qur'an, dimana kedudukannya dalam Islam adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan kerana terdapat penegasan yang banyak di dalam al Quran tentang sunnah tersebut, bahkan di dalam beberapa tempat sunnah disebutkan bersamaan dengan al Kitab ataupun al Quran, dan disebutkan juga ketaatan terhadap Rasulullah saw setelah ketaataan kepada Allah swt. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan di dalam firman-Nya seperti:“Dan taatilah Allah dan RasulNya, jika kamu adalah orang-orang yang beriman”[10]. Dan firman-Nya:“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain bagi urusan mereka”[11]. Juga firman-Nya:“Apa yang diberikan Rasul kepada kamu, maka ambillah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”[12].
Dengan penegasan al Quran di atas, jelaslah bahawa sunnah tidak dapat dipisahkan penggunaannya di dalam segala hal yang berkaitan dengan Islam. Sehingga fungsi sunnah di dalam Islam, diantaranya
1.    Penguat dan penyokong hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran seperti dalam perkara pensyariatan shalat, puasa dan haji.
2.    Pengurai dan pentafsir ayat-ayat al-Quran yang umum seperti memperjelaskan mengenai tata cara perlaksanaan shalat, kaedah jual beli, menunaikan zakat dan haji dan sebagainya yang mana perkara-perkara tersebut hanya disebutkan secara umum oleh al-Quran.
3.    Menjadi keterangan tasyri’ yaitu menentukan sesuatu hukum yang tidak disebutkan di dalam al-Quran seperti dalam hal memakan hewan yang ditangkap oleh hewan pemburu terlatih seperti anjing yang mana buruan tersebut terdapat kesan dimakan oleh hewan pemburu terlatih tadi dan kesan tersebut menunjukkan bahwa hewan pemburu tadi menangkap buruan untuk dirinya sendiri. Di dalam al-Quran hanya dibenarkan memakan buruan yang ditangkap oleh hewan pemburu terlatih. Maka dalam hal ini, hadith menerangkan bahawa buruan yang mempunyai kesan dimakan oleh hewan pemburu adalah haram dimakan.
4.    Menasakhkan hukum yang terdapat di dalam al Quran. sebagian ulama berpandangan bahawa hadith yang dapat menasakhkan hukum al Quran itu mestilah sekurang-kurangnya bertaraf Mutawatîr, Masyhûr ataupun Mustafhîdh.
5.    Menerangkan mengenai ayat yang telah dinasakh dan ayat mana yang telah dimansukhkan.[13]

Namun dalam pengembangan metode pemikiran Islam pendekatan naqli juga dikenal dengan pendekatan bayani. Pendekatan bayani mengandung empat pengertian, yakni pemisahan, keterpisahan, jelas dan penjelasan. Kemudian diklarifikasikan menjadi dua kelompok : al-bayan sebagai metodologi, yang berarti pemisahan dan penjelasan dan al-bayan sebagai pandangan dunia yang berarti keterpisahan dan jelas.[14] Tujuan pendekatan bayani adalah : Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam lafadz. Istinbat hukum-hukum dari al-nusus an-diniyah dan Al-Qur’an khususnya. Pendekatan ini menggunakan alat bantu (instrument) beberapa ilmu-ilmu kebahsaan dan uslub-uslubnya serta asbabun nuzul dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya.

B.  Pendekatan Aqli
Kata 'aqli secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab (عقل): akal yang mempunyai beberapa makna, di antaranya: (الدية): denda, (الحكمة): kebijakan, dan (حسن التصرف): tindakan yang baik atau tepat[15].
Secara istilah akal memiliki beberapa definisi diantaranya:
1.    Cahaya nurani, yang dengannya jiwa bisa mengetahui perkara-perkara yang penting dan fitrah[16].
2.    Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
3.    Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.

Akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada dalam diri manusia yang memiliki sifat berubah-rubah, yakni bisa ada dan bisa hilang. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam salah satu sabdanya: "...dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal"[17].
Dan akal merupakan indera yang diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah swt[18], sebagaimana dalam firman-Nya: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan"[19].
Oleh karena itu, syari’at Islam telah memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia, sebagaimana dapat dilihat pada beberapa point berikut ini:
1.    Allah mengkhususkan penyampain kalam-Nya hanya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya[20]. Allah swt berfirman: "…dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal"[21].
2.    Syarat utama yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah swt yang berkenaan dengan hukum-hukum syari’at Islam adalah akal. Oleh karena itu ketika ia kehilangan akalnya dikarenakan gila misalnya, maka ia tidak tidak menerima taklif itu[22]. Rasulullah saw bersabda: "Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)"[23].
3.    Allah swt mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya[24]. Allah swt berfirman: "Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala"[25].
4.    Banyak disebutkan di dalam al-Qur-an mengenai anjuran-anjuran Allah kepada manusia agar mempergunakan akalnya untuk berfikir, seperti: tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Diantaranya seperti kalimat: لعلكم تتفكرون (mudah-mudahan kamu berfikir),  أفلا تعقلون(apakah kamu tidak berakal) dan أفلا يتدبرون القرآن (apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan al-Qur'an), dan lainnya[26].
5.    Islam mencela hal-hal yang dapat membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal, seperti taqlid buta yang hanya menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi oleh dalil[27].

Kata 'Aqli ketika dihubungkan dengan kajian ilmu-ilmu agama identik dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal fikiran manusia yang sehat dan obyektif, tidak dipengaruhi oleh keinginan, ambisi atau kebencian dari emosi.
Dan ketika 'Aqli dihubungkan secara khusus dengan disiplin ilmu tafsir, maka disebut tafsir bi al-ma'qul atau bi ar-ra'yi, yaitu penafsiran al-Qur'an yang lebih dititikberatkan kepada kemampuan akal fikiran yang sehat dan obyektif (ijtihad) daripada disandarkan kepada periwayatan-periwayatan. Dalam hal ini seorang mufassir akan menggunakan kemampuan akalnya (ijtihadnya) dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada, sehingga tersusunlah bentuk tafsir yang sesuai dengan masa dimana mufassir tersebut hidup. Beberapa tafsir yang terkenal dalam bentuk ini antara lain: Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Al-Baidhawi, dll[28].
Namun dalam pengembangan metode pemikiran Islam pendekatan aqli juga dikenal dengan pendekatan burhani. Burhan adalah penjelasan terhadap sesuatu hujjah secara transparan, atau merupakan hujjah itu sendiri yang mengharuskan adanya tashdiq (pembenaran) terhadap suatu persoalan karena kebenaran argumentasinya.
Adapun menurut terma logika, burhan adalah analogi yang disusun dari beberapa premis untuk mendapatkan hasil yang meyakinkan. Pendekatan Burhani atau rasional argumentative adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrument logika dan metode diskursif. Tujuan dari pendekatan ini adalah menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk diperoleh darinya.
Dalam kita memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, lebih baik apabila digunakan pendekatan-pendekatan sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah.  Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam.  Dan dalam melakukan hal itu tentunya harus menggunakan pendekatan kebudayaan, agar pendekatan ini dapat mendekati ideal masyarakat, strategi ini menghendaki kesinambungan historis, sehingga dibutuhkan juga pendekatan sejarah. Oleh karena itu dalam pendekatan burhani, keempat pendekatan sosial, antropologi, kebudayaan, dan sejarah berada dalam posisi saling berhubungan secara dialektik dan saling membentuk jaringan keilmuan.[29]

C.  Pendekatan Kasyfi
Metode Kasyfi ini dipergunakan oleh para sufi untuk memperoleh pengetahuan secara langsung dari Allah dengan intuisi sebagai instrumennya dan bukan melalui nalar. Dalam pengembangan metode pemikiran Islam pendekatan kasyfi juga dikenal dengan pendekatan Irfani. Kata irfan dikalangan para sufi digunakan untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang tertinggi yang dihadirkan dalam qalbu dengan cara kasyf dan ilham Pendekatan Irfani merupakan sebuah pendekatan yang dikembangkan oleh kaum arif  untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan ibarah. Pendekatan Irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrument pengalaman batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan iktishafi.
Melalui pendekatan ini (penerapan analisis esoteric-intuitif) makna hakikat atau makna terdalam dibalik teks dan konteks dapat diketahui. Dalam paradigma bayani lebih melihat teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan, sementara dalam paradigma irfani melihat teks sebagai sebuah symbol dan isyarat yang menuntut pembacaan dan penggalian makna. Pendekatan Irfani memiliki dua tugas penting, yaitu: Membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat teks keagamaan. Membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat yang terkandung dalam bentuk-bentuk seni tradisi atau budaya lokal.

D.  Contoh Penggunaan Pendekatan Naqli, Aqli, dan Kasyfi
Penggunaan dalam bidang tafsir, yang ada kaitannya dengan penafsiran ayat pertama dari surat Al-Insyiqaaq (terbelah), yaitu berbunyi: إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ (Apabila langit terbelah). Al-Alusi menafsirkan ayat ini dengan ayat lain dan dengan menyandarkan kepada periwayatan-periwayatan, sebagaimana ia sebutkan di dalam tafsirnya, yaitu:
"(إذا السماء انشقت): "Apabila langit terbelah" yakni (بالغمام): berawan (berkabut putih), seperti yang di riwayatkan Ibnu Abas, yang diikuti oleh Al-Farra da Az-Zujaj di dalam "Al-Bahr" dan ia menguatkannya dengan firman Allah: (ويوم تشقّقُ السماء بالغمام): "Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah belah mengeluarkan kabut putih" maka al-Qur'an sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain, dan dikatakan bahwa langit itu terbelah karena kedahsyatan hari kiamat, sebagaiman firman Allah: (وانشقت السماء فهي يومئذ واهية): "Dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah". dan Ibnu Hatim telah meriwayatkan dari Ali karramallahu wajhah bahwasanya langit terlepas dari galaksi, dan didalam atsar (riwayat sahabat) disebutkan bahwa hal itu (langit terbelah itu) menunjukan terbukanya pintu langit..." [30]. Muhammad Abduh menafsirkan ayat ini dengan argumen akal yang didasarkan pada pengetahuan dan penelitian ilmiah. Maka ia memandang bahwa insyiqaaq as-samaa maknanya bisa berupa satu kejadian besar dari sekian kejadian-kejadian yang berhubungan dengan  tata surya, seperti kejadian lewatnya sebuah bintang dekat dengan bintang lainnya yang menimbulkan gaya tarik menarik dan menyebabkan terjadinya benturan antara keduanya. Karena benturan tersebut, maka tata surya mengalami goncangan yang kuat. Sehingga munculah di langit awan dan kabut yang datang dari berbagai arah. Maka langitpun terbelah oleh awan dan kabut tersebut. Hal ini kemudian mengakibatkan rusaknya peredaran tata surya[31].
Dalam penggunaan pendekatan kasyfi seperti dicontohkan dalam memahami sifat-sifat Tuhan tidak didekati secara mistik, ritual, dan formalnya belaka, tetapi lebih ditangkap dimensi semmangatnya yang dapat berimplikasi pada perubahan sikap melalui proses internalisasi secara intent, yang oleh al-Ghazali disebutkan dengan istilah al-takhalluq bi akhlaq Allah ‘ala thaqah al-basyariyah, yaitu budi pekerti dengan budi pekerti Tuhan, sejalalan dengan kesanggupan manusia. Sebagai contoh jika kita mengetahui bahwa Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Pencipta, maka seharusnya kita berupaya untuk mengembangkan penelitian dalam arti seluas-luasnya untuk memperoleh ilmu dan agar dapat menciptakan karya dalam berbagai bidang yang bernmanfaat bagi manusia[32].
Jika kita melihat kepada metode memahami Islam dalam kasus Majelis Tarjih  Muhammadiyah sebagaimana yang diungkapkan oleh Mukti Ali. Kita mengetahui bahwa Majelis Tarjih  Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1927, sebagai hasil kongres ke-16 di Pekalongan, bertugas untuk membahas dan menentukan masalah-masalah hukum Islam. Jiuka kita mempelajari pelaksanaan organisasi tersebut, maka ada beberapa prinsip yang melandasi pemikiran ketarjihan Muhammadiyah yaitu (1) prinsip ke-nisbian akal, (2) prinsip tidak berorientasi kepada orang atau madzhab, dan (3) prinsip keterbukaan dan toleransi.
Menurut majlis tarjih, dalam merumuskan masalah-masalah syariah, baik dalam arti luas yang meliputi persoalan-persoalan akidah maupun dalam arti yang sempit yang hanya sebatas pada aspek hukum (fiqh) saja, akal tidak memainkan peran paling dominan, oleh karena kemampuannya sangat terbatas dan nisbi adanya. Berbeda dengan aliran rasioanalis (ahlur-ra’yi), dalam hukum Islam seperti yang ditokohi oleh Abu Hanifah yang bahkan dikatakan sebagai orang yang kadang-kadang mendahulukan qiyas atas hadits, Majelis Tarjih tampak sebagai lebih berorientasi kepada nash dan memberikan porsi yang kecil kepada pemikiran dalam menetapkan hukum. Ketika menjelaskan apa yang dimkasud dengan “dunia” dalam pernyataan nabi Muhamma SAW, bahwa manusia itu lebih tahu tentang urusan dunianya, Majelis Tarjih Mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “urusan dunia” adalah hal-hal yang tidak menjadi tugas nabi Muhammad SAW. Sedangkan masalah hukum sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa itu adalah salah tugas yang dijalankan oleh nabi, sehingga karena itu Sunnahnya menjadi sumber asasi hukum setelah al-Qur’an. Pada Kitab Iman, dalam himpunan putusan tarjih ditegaskan bahwa Allah telah menashkan (menyatakan) bahwa kekutan akal itu terbatas. Oleh sebab itu, pertimbangan akal terhadap sesuatu yang dianggap maslahat tidak dapat didahulukan atas nash, jika terdapat pertentangan. Prinsip maslahat hanya dapat dipakai jika tidak bertentangan dengan nash. Apabila ada suatu nash yang tegas melarang atau sebaliknya tegas memerintahkan sesuatu, maka kita harus berpegang pada nash itu sebagaimana yang dikehendakinya, kecuali kalau ada keadaan darurat yang menghendaki lain.
Dengan melihat uraian diatas, tampak bahwa ada kemiripan antara prinsip pemikiran keterjihan Muhammadiyah dengan pandangan Ibn Taimiyah, walaupun tidak dapat dikatakan benar-benar sama seratus persen. Menurut Ibn Taimiyah, akal itu tidak dapat mencapai kebenaran agama dengan sendirinya, melainkan harus disertai dangan dalil naqli. Akal harus mengikuti dalil naqli dan tidak dapat terjadi sebaliknya. Akal tidak dapat menta’wilkan al-Qur’an ditempat-tempat dimana terjadi pertentangan antara akal itu dengan al-Qur’an. Ta’wil hanya dapat dilakukan berdasarkan keterangan al-Qur’an pula, tidak berdasarka semata-mata keterangan akal.
Prinsip kedua yang menjadi dasar pemikiran ketarjihan Muhammadiyah ialah tidak dibenarkannya taqlid kepada ulama atau madzhab. Setiap orang, dalam mengamalkan ajaran Islam, harus langsung memahami dasar amalan itu dari dalilnya, baik dari al-Qur’an maupun hadits Nabi: tidak boleh disandarkan kepada pendapat orang atau madzhab. Adapun bagi orang yang tidak mampu untuk berijtihad sendiri, Muhammadiyah menciptakan suatu konsep yang dinamakan ittiba’. Secara harfiah ittiba’ berarti mengikuti. Tetapi dalam konteks Muhammadiyah, istilah itu digunakan untuk menyatakan penerimaan terhadap pendapat seorang ulama dengan keharusan mengetahui dasar yang menjadi landasan.
Prinsip ketiga yang menajadi landasan pemikiran ketarjihan Muhammadiyah adalah prinsip keterbukaan dan toleransi. Maksudnya majelis tarjih tidak bersifat eksklusif dan beranggapan bahwa hanya hasil putusan tarjih sajalah yang benar, sedangkan pendapat lain adalah salah. Keputusan tarjih tidak bersifat melawan , menetang, dan menjatuhkan semua pendapat yang tidak dipilih oleh tarjih itu.
Jika memperhatikan tiga macam pendekatan yaitu, naqli, aqli, dan kasyfi, maka kita mengetahui bahwa pendekatan kasyfi (intuitif), yaitu tasawuf, telah diberi interpretasi oleh Muhamadiyah dengan ajaran-ajaran etik dan moral yang praktis seperti amal usaha Muhammadiyah dalam bidang sosial, pendidikan, wanita dan sebagainya.
Di atas telah diterangkan bahwa metode untuk memahami Islam ada tiga yaitu naqli, aqli, dan kasyfi. Memang usaha besar telah dilakukan untuk mengkompromikan ketiga pendekatan ini, umpamanya yang dilakukan oleh Asy’ari dalam mengkompromikan antara pendekatan tradisionalis dan rasionalis. Dan usaha yang dilakukan al-Ghazali dalam mengharmonikan antara pendekatan tradisionalis dan mistis, namun dalam sepanjang perjalanan sejarah pemikiran Islam hal itu belum terwujud. Bahkan orang mempunyai kesan bahwa pengaruh al-Ghazali dalam pemikiran dunia Islam adalah pada pendekatan agama secara mistis, dan pendekatan secara rasioanal ditinggalkan. Sudah barangtentu ini bukan maksud al-Ghazali, tetapi itulah kecenderungan pemikrian dunia Islam, juga di Indonesia ini[33].
Ketika kita menelusuri sejarah ilmu kalam atau ilmu Tauhid, maka kita akan menemukan bahwa penggunaan dalil naqli dan dalil 'aqli, sebelum munculnya faham Asy’ari sangat kontradiktif. Dimana kelompok salaf dan qaramatiyah, sangat mengutamakan dalil naqli dan meremehkan dalil 'aqli, sedangkan kelompok Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha’ sangat mengutamakan dalil 'aqli dari pada dalil naqli, begitu juga kelompok Al-Maturidiyah memandang bahwa akal dapat mengetahui baik buruknya perkara dan bahwa mengetahui Allah itu dengan akal atau dengan kata lain bahwa akal itu merupakan alat untuk mengetahui Allah. Kemudian setelah imam Asy'ari muncul, kedua dalil itu di kumpulkan olehnya dengan secara paralel atau saling menguatkan.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali menegaskan bahwa akal memerlukan dalil naqli dan dalil naqli memerlukan akal. Oleh karena itu ia memandang bahwa bertaqlid atau menerima kepada pendapat orang tanpa mempergunakan akal sama sekali adalah suatu kebodohan, begitu juga mencukupkan akal saja tanpa memerlukan sinar wahyu Ilahi dan sunnah nabi adalah suatu tipuan belaka. Maka menurutnya jauhilah model seperti ini dan hendaklah mempergunakan atau menggabungkan kedua dasar pokok ini (naqli dan 'aqli), karena sesungguhnya "ilmu logika dan filsafat itu seperti makanan, dan ilmu-ilmu syara' itu adalah obat"[34].
Ibnu Taimiyah melihat bahwa apabila dikatakan bahwa dua dalil saling bertentangan, baik kedua-duanya itu naqli atau kedua-duanya 'aqli atau salah satunya naqli dan yang lainnya 'aqli, maka yang harus dikatakan (ditetapkan) adalah bahwa hal tersebut tidak terlepas dari tiga pilihan, yaitu: kedua-duanya qath'i (pasti atau absolut), atau kedua-duanya dzanni (relatif atau dugaan), atau salah satunya qath'i dan yang lainnya dzanni.
Apabila kedua-duanya itu qath'i, maka tidak boleh ada pertentangan, baik kedua-duanya itu 'aqli atau kedua-duanya naqli atau salah satunya 'aqli dan yang lainnya naqli. Ini merupakan kesepakatan para ulama, karena dalil qath'i adalah dalil atau petunjuk yang mengharuskan adanya ketetapan pada madlulnya (yang ditunjukannya), dan dalalahnya (tanda penunjuknya) tidak mungkin bathil. Dalam hal ini apabila kedua dalil qath'i saling bertentangan dan salah satunya menentang madlul yang lainnya, maka kedua-duanya mesti bersatu, dan ini tidaklah mungkin, bahkan setiap dalil yang diyakini bertentangan dengan dalil yang diyakini qath'i maka kedua dalil tersebut atau salah satunya haruslah bukan qath'i atau kedua madlulnya saling bertentangan.
Dan apabila salah satu dari kedua dalil yang saling bertentangan itu qath'i tanpa yang lainnya, maka yang qath'i haruslah di dahulukan, sebagaimana kesepakatan para ulama, baik dalil itu naqli ataupun 'aqli, karena yang dzanni tidak sampai kepada tahapan yakin.
Adapun apabila kedua-duanya dzanni, maka hal ini harus di bawa ke ranah tarjih, mana dari keduanya yang paling rajih maka didahulukan, baik dalil itu naqli ataupun 'aqli[35].
Sedangkan Muhammad Abduh, salah seorang ulama yang termasuk pembaharu agama dan sosial di Mesir pada zaman modern, disatu sisi berpandangan seperti pandangannya Ibnu Taimiyah, bahwa antara naqli dan 'aqli tidak mungkin bertentangan. Namun ketika didapat ada pertentangan antara keduanya, Abduh memilih yang benar menurut 'Aqli, sehingga tampak dihadapannya dua jalan: tunduk kepada kebenaran wahyu dengan mengakui ketidakmampuan dalam memahaminya dan menyerahkan perkara tersebut kepada Allah swt, atau mena’wilkan wahyu dengan memperhatikan kaedah-kaedah bahasa sehingga ada persesuian antara maknanya dengan apa yang telah ditetapkan oleh akal[36].
Secara ringkas pandangan jumhur ulama tentang pertentangan antara naqli dan 'aqli dalam bidang tauhid adalah sebagai berikut[37]:
1.    Naqli didahulukan atas 'aqli, karena naqli itu ma’shum sedang 'aqli tidak ma’shum.
2.    Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.
3.    Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan naqli.
4.    Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan naqli.
5.    Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak prerogatif syari'at (naqli).
6.    Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.
7.    Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh naqli. Allah swt berfirman: "Kami tidak akan meng‘adzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul"[38].
8.    Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh naqli.
9.    Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah swt yang ditentukan oleh akal kita kepada-Nya, karena Allah swt mengatakan tentang diri-Nya: "Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya"[39].













BAB III
KESIMPULAN
Mukti Ali menyatakan bahwa dalam mempelajari dan memahammi Islam terdapat 3 (tiga) cara yang jelas yakni naqli (tradisional), aqli (rasional) dan kasyfi (mistis). Ketiga pendekatan tersebut telah ada dalam pola pemikiran Rasulullah SAW dan terus dipergunakan oleh para ulama Islam setelah beliau wafat hingga saat ini. Ketiga metode tersebut dalam operasionalnya lebih dikenal dengan istilah pendekatan bayani, irfani dan burhani. Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-rasul-Nya berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About