REFKY FIELNADA

REFKY FIELNANDA

MAHASISWA EKONOMI ISLAM

Kamis, 22 Januari 2015

DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH YANG WAJIB DIATASI OLEH PRESIDEN BARU

Selangkah lagi kita bakal memiliki pemerintahan baru. Banyak tantangan menghadang. Namun, cukup banyak pula faktor yang membuat asa menyembul. Ancaman utama bukan berasal dari luar. Seburuk-buruknya perekonomian dunia, pertumbuhan ekonomi global tahun ini bakal lebih baik daripada tahun lalu. Publikasi terakhir Dana Moneter Internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia bakal lebih baik lagi. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2015 diperkirakan 3,8 persen, jauh lebih tinggi ketimbang tahun ini yang diperkirakan hanya 3,3 persen. Melihat pertumbuhan yang signifikan tersebut tentunya mempunyai dampak terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia khususnya perbankan syari’ah.
Pertumbuhan  perbankan  syariah yang relatif masih cukup tinggi  jika dibandingkan perbankan  secara umum maupun  keuangan syariah secara global ditengah  kondisi perekonomian  yang masih  dalam tahap pemulihan,  membuktikan perbankan syariah nasional  mampu mempertahankan  eksistensi  dan perkembangannya  dalam menghadapi  situasi perekonomian,  walaupun memiliki tantangan dari segi SDM, produk,  jaringan dan permodalan  jika dibandingkan  perbankan konvensional  maupun perbankan  syariah global. Menurut laporan Bank Indonesia tahun 2013 asset perbankan syari’ah dan unit usaha syari’ah mencapai 235,1 Triliun, dengan pangsa pasar sebesar 4,8% dan pengguna rekening 12 Juta 9,2% dan jaringan kantor 2.925 kantor. Menurut prediksi BI perbankan syari’ah di akkhir tahun 2014, total asset perbankan syariah diperkirakan Rp 255,2 triliun (pesimis), Rp283,6 triliun (moderat) dan maksimal Rp312 triliun (optimis) sementara total DPK diperkirakan di kisaran Rp209,6 triliun (pesimis), Rp220,7 triliun (moderat) dan Rp232,8 triliun (optimis) dan, total pembiayaan akan mencapai minimal Rp216,7 triliun (pesimis), Rp228 triliun (moderat) dan maksimal Rp239,5 triliun (optimis).
Melihat Pertumbuhan  perbankan  syariah yang relatif masih cukup tinggi, namun pertumbuhan tersebut tidak dukung dengan peran pemerintah dan legislatif sepenuhnya terkait masalah subtansial hukum sebagai payung konstitusionalnya, hal ini bisa dilihat dari dinamika penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008  tentang  Perbankan  Syariah. Sebelum adanya peraturan tersebut, Peradilan Agama (PA) sebagai top judicary yang berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Kini, lembaga peradilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah mengalami proliferasi (perkembangan), karena Peradilan Umum berhak menangani sengketa ekonomi syari’ah berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008  tentang  Perbankan  Syariah. Akibat terjadinya proliferasi  tersebut menimbulkan choice of forum yang  dalam    perkara  yang substansinya  sama  juga,  objeknya  sama, kemudian  diberikan kebebasan  memilih, sehingga akan  menimbulkan legal disorder (kekacauan  hukum/ketidak pastian hukum). Selain  itu,  akan  menimbulkan  disparitas keputusan,  kemungkinan juga  akan  terjadi  keanehan, sebab  mungkin  ketika putusana lahir  dari  peradilan  agama,  sementara  putusan  b  lahir  dari pengadilan umum untuk kasus yang sama, atau ada dua kasus yang memiliki kemiripan  sama  atau  bahkan  sama,  maka  akan  terjadi  keanehan  bagi  para pihak yang menerima.
Perbincangan mengenai dualisme penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah akhir-akhir ini menjadi perbincangan akademik yang sangat menarik. Perubahan UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan  menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Salah satu bentuk penggalian potensi dan  wujud  kontribusi  masyarakat  dalam perekonomian  nasional  tersebut  adalah pengembangan  sistem ekonomi  berdasarkan  nilai  Islam  atau  syariah  dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam sistem hukum nasional. Prinsip syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan,  kemanfaatan,  keseimbangan,dan keuniversalan,  rahmatan lilalamin. Nilai-nilai  tersebut  diterapkan dalam pengaturan  perbankan  yang  didasarkan  pada  prinsip syariah yang  disebut perbankan  syariah.  Prinsip  perbankan  syariah merupakan  bagian  dari  ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi.
Salah  satu  prinsip  dalam  ekonomi  Islam  adalah  larangan  riba  dalam berbagai bentuknya  dan  menggunakan  sistem,  antara  lain, prinsip bagi  hasil.  Dengan prinsip hasil, bank syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Walaupun Secara substansial tak ada beda antara bunga dan riba. Seperti yang dikemukakan tokoh-tokoh klasik ekonomi, Adam Smith dan Ricardo misalnya, keduanya merupakan ganti rugi atau tambahan biaya dari uang yang dipinjamkan. Bunga dan riba ibarat dua sisi mata uang. Dalam bahasa Indonesia, tambahan biaya atau ganti rugi itu disebut bunga. Dalam bahasa Inggris disebut interest. Sementara al-Qur`an menyebutnya riba. Bedanya hanya cara pendekatan. Bunga dikemas sophisticate sedangkan tuntunan lapangan mengharuskan riba dikelola tradisional. Karena beda pendekatan, tak mungkin bank mengganti istilah tingkat suku bunga dengan tingkat suku riba. Kesannya amat kasar. Sementara  itu,  penyelesaian  sengketa  yang  mungkin timbul  pada perbankan  syariah  akan  dilakukan  melalui  pengadilan  di lingkungan  peradilan agama. Di samping itu, terjadi dualisme dalam ranah subtansi hukum mengakibatkan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, badan arbitrase syariah nasional atau lembaga arbitrase,atau  melalui  pengadilan  di  lingkungan  peradilan  umum  sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak dan sesuai dengan prinsip syariah.
Dualisme Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia
Persoalan dualisme utama  yang  dipermasalahkan dalam subtansial hukum penyelesai sengketa ekonomi syari’ah adalah  adanya  ketidakpastian  hukum  mengenai  forum  penyelesaian  sengketa perbankan syariah berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Di satu sisi Undang-Undang Perbankan Syariah menetapkan pengadilan dalam  lingkungan  Peradilan Agama  sebagai  forum  penyelesaian  sengketa  perbankan  syariah.  Tetapi  di sisi lain, Undang-Undang Perbankan Syariah memungkinkan  penyelesaian  sengketa di luar lingkungan Peradilan Agama sesuai dengan isi  akad  yang  diperjanjikan para  pihak, yaitu antara  lain  penyelesaian  melalui  pengadilan  dalam  lingkungan Peradilan Umum.
Terdapat dua aspek yang dalam dualisme penyelesai sengketa ekonomi syari’ah  terkait persoalan tersebut. Pertama,  kewenangan  absolut  pengadilan  agama. Kedua, penyelesaian sengketa perbankan syariah diluar pengadilan agama sesuai dengan isi akad yang diperjanjikan para pihak.
Pertama,  penyelenggaraan  kekuasaan  kehakiman  oleh  lingkungan  peradilan  di bawah Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dibagi dan dipisahkan  berdasarkan  kompetensi  atau  yurisdiksi  (separation  court  system based on jurisdiction) masing-masing badan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan  tata  usaha  negara.  Pembagian  empat  lingkungan  peradilan  tersebut menunjukan  adanya  pemisahan  yurisdiksi  antar  lingkungan  peradilan  yang menimbulkan  pembagian  kewenangan  (kekuasaan)  absolut  atau  atribusi kekuasaan (attributive competentie atau attributive jurisdiction) yang berbeda-beda dan tertentu pada tiap-tiap lingkungan peradilan. Sehingga jenis perkara tertentu yang merupakan kewenangan satu lingkungan peradilan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh pengadilan lain.
Pembagian kewenangan  absolut  masing-masing  peradilan  kemudian ditegaskan  dalam  Undang-Undang  Nomor 48  Tahun  2009  tentang  Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan sebagai berikut:
1.    Peradilan  umum  berwenang  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus  perkara pidana  dan  perdata  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundangundangan (Pasal 25 ayat (2).
2.    Peradilan  agama  berwenang  memeriksa,  mengadili,  memutus,  dan menyelesaikan  perkara  antara  orang-orang  yang  beragama  Islam  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 25 ayat (3)).
3.    Peradilan  militer  berwenang  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus  perkara tindak  pidana  militer  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang undangan (Pasal 25 ayat (4)).
4.    Peradilan  tata  usaha  negara  berwenang  memeriksa,  mengadili,  memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 25 ayat (5)).
Pengaturan  mengenai  kewenangan  absolut  masing-masing  lingkungan  peradilan juga  diatur  dalam  Undang-Undang  yang  mengatur  masing-masing  badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Peradilan Umum bertugas  dan  berwenang  memeriksa,  memutus,  dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata [vide Pasal 50 dan Pasal 51 ayat  (1)].  Sementara  Pengadilan  Tata  Usaha  Negara  berdasarkan  UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang  memeriksa,  memutus,  dan  menyelesaikan  sengketa  Tata  Usaha Negara (vide Pasal 47). Adapun Peradilan Militer sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31  Tahun  1997  tentang  Peradilan  Militer  hanya  berwenang  mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI, sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata,  dan  perkara  gugatan  ganti  rugi  dalam  perkara  pidana  yang bersangkutan [vide Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)].
Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun  1989 tentang Peradilan  Agama  berwenang  memeriksa,  memutus,  dan menyelesaikan  perkara-perkara  di  tingkat  pertama  antara  orang-orang  yang beragama  Islam  di  bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat dan  hibah  yang dilakukan  berdasarkan  hukum  Islam, wakaf serta shadaqah.  Kewenangan Peradilan Agama tersebut diperluas berdasarkan Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun  2006 tentang  Perubahan  Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan  kewenangan memeriksa, memutus,dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah.  Lebih  lanjut,  pengaturan  tentang kewenangan  absolut  pengadilan  agama  untuk  menangani  perkara  ekonomi syariah khususnya  bidang  perbankan  syariah  dinyatakan  secara  tegas  dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah. Dengan  demikian  kewenangan  untuk  memeriksa,  memutus,  dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan absolut dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang tidak dapat diselesaikan oleh peradilan lain karena akan melanggar prinsip yurisdiksi absolut.
Kedua,  pada  dasarnya  upaya  penyelesaian  setiap  sengketa  perdata  di  bidang perdagangan dan mengenai sengketa hak keperdataan dimungkinkan  untuk diselesaikan  di luar pengadilan negara, baik melalui arbitrase maupun melalui alternatif penyelesaian sengketa [Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa]. Hal itu dapat dilakukan  melalui  perjanjian  atau  kesepakatan/akad  tertulis  yang  disepakati  para pihak,  baik  sebelum  terjadinya  sengketa  (pactum de  compromittendo)  maupun setelah  terjadinya sengketa  dimaksud  (akta  kompromi)  sesuai  dengan  prinsip pacta  sunt  servanda. Akad  atau  perjanjian  tersebut  merupakan  hukum  yang mengikat  bagi  para  pihak  yang  melakukan  akad  atau  perjanjian  tersebut  (Pasal 1338 KUHPerdata).
Namun  demikian,  perjanjian atau  akad  tersebut  harus  memenuhi  syarat-syarat  yang  ditentukan  oleh  Undang-Undang  dalam hal ini Pasal  1320  KUHPerdata. Dalam  Pasal  1320 KUHPerdata tersebut ditentukan bahwa untuk sahnya  suatu perjanjian  diperlukan  empat syarat, yaitu: 1. Sepakat  mereka  yang  mengikatkan dirinya. 2.  Kecakapan  untuk  membuat  suatu  perikatan;  3.  Suatu  hal  tertentu;  4. Suatu sebab yang halal.
Dalam ilmu hukum, syarat pertama dan kedua digolongkan sebagai syarat subjektif yang melekat pada diri persoon yang membuat perjanjian, yang bila tidak terpenuhi  menyebabkan  perjanjian  dapat  dibatalkan  (vernietigbaar,  voidable), sementara syarat ketiga dan keempat dikategorikan sebagai syarat objektif yang berhubungan  dengan  objek  perjanjian,  yang  bila  tidak  terpenuhi  menyebabkan perjanjian  batal demi  hukum  (nietig, null and void).  Lebih  lanjut,  agar  suatu perjanjian  atau  akad  memenuhi  syarat  keempat,  yaitu  “suatu  sebab  yang  halal”, maka  sebab  dibuatnya  akad  atau  perjanjian  tersebut  harus  sesuai  dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Perjanjian atau akad yang tidak memenuhi syarat tersebut menjadi batal demi hukum. Demikian halnya perjanjian atau akad mengenai  penyelesaian  sengketa  perbankan  syariah  harus  pula  memenuhi ketentuan  Pasal  1320  KUHPerdata  dengan  ancaman  batal  demi  hukum berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata.
Oleh  karenanya,  perjanjian  atau  akad  yang  mencantumkan penyelesaian  sengketa  perbankan  syariah  melalui  pengadilan  dalam  lingkungan peradilan umum sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d Undang-Undang Perbankan Syariah bertentangan dan tidak memberikan kepastian hukum karena, secara  filosofis  sub  dan  sifkum  perbankan  syariah  didominasi  oleh istilah-istilah  bisnis  Islam,  seperti murabahah,  hudaibiyah,  musyarakah, mudarabah, qardh, hawalah, ijarah, dan kafalah. Oleh sebab itu, merupakan hal  yang  benar  dan  tepat  apabila  penyelesaian  perkara  perbankan  syariah dilakukan dalam lingkungan peradilan yang secara substantif membidangi hal-hal  yang  terkait  dengan  nilai-nilai  syariat  Islam.  Apabila  diserahkan  pada sistem  peradilan  yang  tidak  menerapkan  aturan-aturan  syariah,  yang  akan muncul  adalah  ketidaksinkronan  antara  praktik  akad  dengan  penyelesaian sengketanya.  Akad  dilakukan  di  dalam  sistem  syariah,  sementara penyelesaiannya  dilakukan  dalam  lingkungan  peradilan  yang  tidak menggunakan aturan dan asas-asas syariah.
Selain dasar filosofis proliferasi  utama  yang  dipermasalahkan dalam subtansial hukum penyelesai sengketa ekonomi syari’ah adalah pasal a quo ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008  tentang  Perbankan  Syariah, dalam  istilah  hukum  Islam akan menimbulkan  yang  disebut  dengan ta’arudh al-adillah,  pertentangan  dua aturan ketika ayat (2) dan ayat (3) nya masih tetap ada. Selanjutnya, terkait dengan  Pasal  2  dan Pasal 3  Undang-Undang  Nomor  21  Tahun  2008 bertentangan  sebetulnya  apabila  masih  tetap  ditetapkan  dalam UndangUndang  tersebut,  yaitu  dengan  Pasal  1  ayat  (3)  yang  menyebutkan  dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum karena  salah  satu  karakter  negara  hukum  adalah  adanya  kepastian  hukum dan  juga bertentangan dengan  Pasal  28D  yang  menyebutkan  bahwa  salah satu hak asasi manusia, termasuk di dalamnya adalah para nasabah, adalah dijamin kepastian hukum.
Harapan Terhadap Presiden Baru
Walapun Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, namun masih banyak peraturan yang masih perlu diharmonisasikan/sinkronisasikan terutama UU Kekuasaan Kehakiman, UU Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU Perbankan Syari’ah pasca pergantian kekuasaan eksekutif dan legislatif. Pengharmonisasian dimaksud meliputi pengubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syari’ah beserta penyelesaian sengketanya. Barangkali prinsip-prinsip modernisasi lembaga peradilan sengketa perdata di Ingris, Malaysia perlu diterapkan. Prinsip ini meliputi Doing the justice all together, cost efectively, democratically, efficiently, faster and doing it for government. Singkatnya,  semua upaya itu dilakukan untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About