Selangkah lagi kita bakal memiliki pemerintahan baru. Banyak tantangan
menghadang. Namun, cukup banyak pula faktor yang membuat asa menyembul. Ancaman utama
bukan berasal dari luar. Seburuk-buruknya perekonomian dunia, pertumbuhan
ekonomi global tahun ini bakal lebih baik daripada tahun lalu. Publikasi
terakhir Dana Moneter Internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia
bakal lebih baik lagi. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2015 diperkirakan 3,8
persen, jauh lebih tinggi ketimbang tahun ini yang diperkirakan hanya 3,3 persen.
Melihat pertumbuhan yang signifikan tersebut tentunya mempunyai dampak terhadap
pertumbuhan perekonomian Indonesia khususnya perbankan syari’ah.
Pertumbuhan
perbankan syariah yang relatif
masih cukup tinggi jika dibandingkan perbankan secara umum maupun keuangan syariah secara global ditengah kondisi perekonomian yang masih
dalam tahap pemulihan,
membuktikan perbankan syariah nasional
mampu mempertahankan
eksistensi dan
perkembangannya dalam menghadapi situasi perekonomian, walaupun memiliki tantangan dari segi SDM,
produk, jaringan dan permodalan jika dibandingkan perbankan konvensional maupun perbankan syariah global. Menurut laporan Bank Indonesia tahun 2013 asset
perbankan syari’ah dan unit usaha syari’ah mencapai 235,1 Triliun, dengan
pangsa pasar sebesar 4,8% dan pengguna rekening 12 Juta 9,2% dan jaringan
kantor 2.925 kantor. Menurut prediksi BI perbankan syari’ah di akkhir tahun
2014, total asset perbankan syariah diperkirakan Rp 255,2 triliun (pesimis),
Rp283,6 triliun (moderat) dan maksimal Rp312 triliun (optimis) sementara total
DPK diperkirakan di kisaran Rp209,6 triliun (pesimis), Rp220,7 triliun
(moderat) dan Rp232,8 triliun (optimis) dan, total pembiayaan akan mencapai
minimal Rp216,7 triliun (pesimis), Rp228 triliun (moderat) dan maksimal Rp239,5
triliun (optimis).
Melihat Pertumbuhan
perbankan syariah yang relatif
masih cukup tinggi, namun
pertumbuhan tersebut tidak dukung dengan peran pemerintah dan legislatif
sepenuhnya terkait masalah subtansial hukum sebagai payung konstitusionalnya, hal ini bisa dilihat dari
dinamika penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Sebelum adanya peraturan tersebut, Peradilan
Agama (PA) sebagai top judicary yang berwenang menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah. Kini, lembaga peradilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah mengalami proliferasi (perkembangan), karena Peradilan Umum
berhak menangani sengketa ekonomi syari’ah berdasarkan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Akibat terjadinya proliferasi tersebut menimbulkan choice of forum
yang dalam perkara
yang substansinya sama juga,
objeknya sama, kemudian diberikan kebebasan memilih, sehingga akan menimbulkan legal disorder
(kekacauan hukum/ketidak pastian hukum).
Selain itu, akan
menimbulkan disparitas keputusan, kemungkinan juga akan
terjadi keanehan, sebab mungkin
ketika putusana lahir dari peradilan
agama, sementara putusan
b lahir dari pengadilan umum untuk kasus yang sama,
atau ada dua kasus yang memiliki kemiripan
sama atau bahkan
sama, maka akan
terjadi keanehan bagi
para pihak yang menerima.
Perbincangan mengenai dualisme penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah akhir-akhir
ini menjadi perbincangan akademik yang sangat menarik. Perubahan UUD 1945
menegaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional. Salah satu
bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi
masyarakat dalam perekonomian nasional
tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan
nilai Islam atau
syariah dengan mengangkat
prinsip-prinsipnya ke dalam sistem hukum nasional. Prinsip syariah berlandaskan
pada nilai-nilai keadilan,
kemanfaatan, keseimbangan,dan
keuniversalan, rahmatan lilalamin.
Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan
yang didasarkan pada
prinsip syariah yang disebut perbankan syariah.
Prinsip perbankan syariah merupakan bagian
dari ajaran Islam yang berkaitan
dengan ekonomi.
Salah satu
prinsip dalam ekonomi
Islam adalah larangan
riba dalam berbagai bentuknya dan
menggunakan sistem, antara
lain, prinsip bagi hasil. Dengan prinsip hasil, bank syariah dapat
menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling
berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan
menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Walaupun Secara substansial tak ada beda antara bunga dan riba.
Seperti yang dikemukakan tokoh-tokoh klasik ekonomi, Adam Smith dan Ricardo
misalnya, keduanya merupakan ganti rugi atau tambahan biaya dari uang yang
dipinjamkan. Bunga dan riba ibarat dua sisi mata uang. Dalam bahasa Indonesia,
tambahan biaya atau ganti rugi itu disebut bunga. Dalam bahasa Inggris
disebut interest. Sementara al-Qur`an menyebutnya riba. Bedanya hanya
cara pendekatan. Bunga dikemas sophisticate sedangkan tuntunan lapangan
mengharuskan riba dikelola tradisional. Karena beda pendekatan, tak
mungkin bank mengganti istilah tingkat suku bunga dengan tingkat suku riba.
Kesannya amat kasar. Sementara itu, penyelesaian
sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah
akan dilakukan melalui
pengadilan di lingkungan peradilan agama. Di samping itu, terjadi dualisme dalam ranah subtansi hukum
mengakibatkan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan,
badan arbitrase syariah nasional atau lembaga arbitrase,atau melalui
pengadilan di lingkungan
peradilan umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para
pihak dan sesuai dengan prinsip syariah.
Dualisme Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia
Persoalan dualisme utama
yang dipermasalahkan dalam
subtansial hukum penyelesai sengketa ekonomi syari’ah adalah adanya
ketidakpastian hukum mengenai
forum penyelesaian sengketa perbankan syariah berdasarkan
ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Di
satu sisi Undang-Undang Perbankan Syariah menetapkan pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama sebagai forum
penyelesaian sengketa perbankan
syariah. Tetapi di sisi lain, Undang-Undang Perbankan Syariah
memungkinkan penyelesaian sengketa di luar lingkungan Peradilan Agama
sesuai dengan isi akad yang
diperjanjikan para pihak, yaitu antara lain
penyelesaian melalui pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum.
Terdapat dua aspek yang
dalam dualisme penyelesai sengketa ekonomi
syari’ah terkait persoalan tersebut. Pertama, kewenangan
absolut pengadilan agama. Kedua, penyelesaian sengketa perbankan
syariah diluar pengadilan agama sesuai dengan isi akad yang diperjanjikan para
pihak.
Pertama,
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
oleh lingkungan peradilan
di bawah Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dibagi
dan dipisahkan berdasarkan kompetensi
atau yurisdiksi (separation court
system based on jurisdiction) masing-masing badan peradilan, yaitu
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, dan lingkungan peradilan
tata usaha negara.
Pembagian empat lingkungan
peradilan tersebut menunjukan adanya
pemisahan yurisdiksi antar
lingkungan peradilan yang menimbulkan pembagian
kewenangan (kekuasaan) absolut
atau atribusi kekuasaan (attributive
competentie atau attributive jurisdiction) yang berbeda-beda dan tertentu
pada tiap-tiap lingkungan peradilan. Sehingga jenis perkara tertentu yang
merupakan kewenangan satu lingkungan peradilan secara mutlak tidak dapat diperiksa
oleh pengadilan lain.
Pembagian kewenangan absolut
masing-masing peradilan kemudian ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan sebagai
berikut:
1.
Peradilan
umum berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus
perkara pidana dan perdata
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan (Pasal
25 ayat (2).
2.
Peradilan
agama berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara
antara orang-orang yang
beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(Pasal 25 ayat (3)).
3.
Peradilan
militer berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus
perkara tindak pidana militer
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan (Pasal
25 ayat (4)).
4.
Peradilan
tata usaha negara
berwenang memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 25 ayat (5)).
Pengaturan mengenai
kewenangan absolut masing-masing
lingkungan peradilan juga diatur
dalam Undang-Undang yang
mengatur masing-masing badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Peradilan Umum bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata [vide Pasal 50 dan
Pasal 51 ayat (1)]. Sementara
Pengadilan Tata Usaha
Negara berdasarkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara (vide Pasal 47). Adapun
Peradilan Militer sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan
Militer hanya berwenang
mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI, sengketa Tata
Usaha Angkatan Bersenjata, dan perkara
gugatan ganti rugi
dalam perkara pidana
yang bersangkutan [vide Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)].
Peradilan Agama
berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di
bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, wakaf serta shadaqah. Kewenangan Peradilan Agama tersebut diperluas
berdasarkan Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan kewenangan memeriksa, memutus,dan menyelesaikan
perkara ekonomi syariah. Lebih lanjut,
pengaturan tentang kewenangan absolut
pengadilan agama untuk
menangani perkara ekonomi syariah khususnya bidang
perbankan syariah dinyatakan
secara tegas dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang
Perbankan Syariah. Dengan demikian kewenangan
untuk memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan
absolut dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang tidak dapat
diselesaikan oleh peradilan lain karena akan melanggar prinsip yurisdiksi
absolut.
Kedua,
pada dasarnya upaya
penyelesaian setiap sengketa
perdata di bidang perdagangan dan mengenai sengketa hak
keperdataan dimungkinkan untuk diselesaikan di luar pengadilan negara, baik melalui
arbitrase maupun melalui alternatif penyelesaian sengketa [Pasal 58
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa]. Hal itu dapat dilakukan
melalui perjanjian atau
kesepakatan/akad tertulis yang
disepakati para pihak, baik
sebelum terjadinya sengketa
(pactum de compromittendo) maupun setelah terjadinya sengketa dimaksud
(akta kompromi) sesuai
dengan prinsip pacta sunt
servanda. Akad atau perjanjian
tersebut merupakan hukum
yang mengikat bagi para
pihak yang melakukan
akad atau perjanjian
tersebut (Pasal 1338 KUHPerdata).
Namun demikian,
perjanjian atau akad tersebut
harus memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh
Undang-Undang dalam hal
ini Pasal 1320
KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut ditentukan bahwa
untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu: 1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan
untuk membuat suatu
perikatan; 3. Suatu
hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.
Dalam ilmu hukum,
syarat pertama dan kedua digolongkan sebagai syarat subjektif yang melekat pada
diri persoon yang membuat perjanjian, yang bila tidak terpenuhi menyebabkan
perjanjian dapat dibatalkan
(vernietigbaar, voidable),
sementara syarat ketiga dan keempat dikategorikan sebagai syarat objektif yang berhubungan dengan
objek perjanjian, yang
bila tidak terpenuhi
menyebabkan perjanjian batal
demi hukum (nietig, null and void). Lebih
lanjut, agar suatu perjanjian atau
akad memenuhi syarat
keempat, yaitu “suatu
sebab yang halal”, maka
sebab dibuatnya akad
atau perjanjian tersebut
harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum”. Perjanjian atau akad yang tidak memenuhi syarat tersebut menjadi batal
demi hukum. Demikian halnya perjanjian atau akad mengenai penyelesaian
sengketa perbankan syariah
harus pula memenuhi ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata dengan
ancaman batal demi
hukum berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata.
Oleh karenanya, perjanjian
atau akad yang
mencantumkan penyelesaian
sengketa perbankan syariah
melalui pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55
ayat (2) huruf d Undang-Undang Perbankan Syariah bertentangan dan tidak
memberikan kepastian hukum karena, secara
filosofis sub dan
sifkum perbankan syariah
didominasi oleh istilah-istilah bisnis
Islam, seperti murabahah, hudaibiyah,
musyarakah, mudarabah, qardh, hawalah, ijarah, dan kafalah. Oleh sebab itu, merupakan hal yang
benar dan tepat
apabila penyelesaian perkara
perbankan syariah dilakukan dalam
lingkungan peradilan yang secara substantif membidangi hal-hal yang
terkait dengan nilai-nilai
syariat Islam. Apabila
diserahkan pada sistem peradilan
yang tidak menerapkan
aturan-aturan syariah, yang
akan muncul adalah ketidaksinkronan antara
praktik akad dengan
penyelesaian sengketanya.
Akad dilakukan di
dalam sistem syariah,
sementara penyelesaiannya
dilakukan dalam lingkungan
peradilan yang tidak menggunakan aturan dan asas-asas
syariah.
Selain dasar filosofis
proliferasi utama yang
dipermasalahkan dalam subtansial hukum penyelesai sengketa ekonomi
syari’ah adalah pasal a quo
ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, dalam istilah
hukum Islam akan menimbulkan yang
disebut dengan ta’arudh al-adillah, pertentangan
dua aturan ketika ayat (2) dan ayat (3) nya masih tetap ada.
Selanjutnya, terkait dengan Pasal 2 dan
Pasal 3 Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 bertentangan sebetulnya
apabila masih tetap
ditetapkan dalam UndangUndang tersebut,
yaitu dengan Pasal
1 ayat (3)
yang menyebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum karena
salah satu karakter
negara hukum adalah
adanya kepastian hukum dan
juga bertentangan dengan Pasal 28D
yang menyebutkan bahwa
salah satu hak asasi manusia, termasuk di dalamnya adalah para nasabah,
adalah dijamin kepastian hukum.
Harapan Terhadap Presiden Baru
Walapun Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, namun masih banyak peraturan
yang masih perlu diharmonisasikan/sinkronisasikan terutama UU Kekuasaan
Kehakiman, UU Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU Perbankan Syari’ah pasca
pergantian kekuasaan eksekutif dan legislatif. Pengharmonisasian dimaksud meliputi pengubahan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syari’ah beserta
penyelesaian sengketanya. Barangkali prinsip-prinsip modernisasi lembaga
peradilan sengketa perdata di Ingris, Malaysia perlu diterapkan. Prinsip ini
meliputi Doing the justice all together, cost efectively, democratically,
efficiently, faster and doing it for government. Singkatnya, semua upaya itu dilakukan untuk kebaikan
masyarakat, bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar