BAB I
PENDAHULUAN
Menyimak kebangkrutan
sejumlah ikon lembaga keuangan Amerika Serikat baru-baru ini untuk sebagian kalangan dengan
tegas akan menolak jika dianggap itu dianggap sebagai
kegagalan ekonomi
sistim kapitalis
ala
Amerika. Terlepas dari hal itu, faktanya kejatuhan bank
investasi sekelas Lehman
Brothers, diikuti oleh
akuisisi AIG, dan Washington Mutual oleh JP Morgan, akuisisi Wachovia Bank hingga bail out Fannie Mae dan Freddie Mac telah menimbulkan kekacauan ekonomi di sejumlah negara. Tidak kurang dari rencana bail out senilai USD 700 milyar oleh pemerintah Amerika hingga
kerugian
milyaran
dolar
lainnya
yang
dialami oleh sejumlah investor bursa dunia,
dianggap sebagai siklus normal dari berjalannya sebuah sistem mekanisme pasar yang dianut kaum kapitalis. Salah
satu Dogma sakti dari mekanisme pasar adalah Mekanisme Pasar memiliki kemampuan untuk mengoreksi dirinya sendiri.
Terlepas dari anggapan
diatas, magnitude dari kerugian tersebut menurut sejumlah
pengamat disebut sama hebat atau bahkan lebih hebat dibandingkan pemicu great depression
di tahun
1930-an.
Kebangkrutan Lehman Brothers dianggap merupakan puncak dari sebuah gunung es dari “bubble economy” yang terjadi di AS. Entah berapa
banyak karyawan yang di PHK karena ditutupnya sejumlah lembaga keuangan tersebut. Buat Negara seperti Indonesia yang
tidak
terkait dengan“bubble” ekonomi di Amerika terpaksa harus menelan pil pahit karena ancaman ekspor yang turun, tingkat bunga yang naik
untuk menghindari capital flight, dan dampak
turunan dari ketatnya likiditas, maka timbul pertanyaan mendasar begitu butakah sang pasar karena dalam melakukan koreksi ia tidak membedakan mana yang benar dan mana yang salah hingga begitu banyak orang
yang
tidak
tahu menahu turut dihukum. Celakanya apabila koreksi pasar ini diikuti oleh upaya untuk me-reset alokasi sumberdaya yang sudah keburu miss-alocate
tersebut dengan jalan peperangan sebagaimana yang terjadi pada masa PD I dan PD II sebagai
pintu keluar dari sebuah krisis dunia, dan juga bukannya tidak mungkin invasi negara
Barat pimpinan AS atas Iran bisa jadi merupakan gerbangnya. Tidak salah kiranya jika Dr.
Javed Jamil
melontarkan
statemen
“Now
that the economic fundamentalism
almost
everywhere in the world is practiced as market economics, markets are the ultimate
judges of what is good or bad for society. If something suits the markets, even the human weaknesses can
be commercialized
to the hilt; if something
threatens the market, it
cannot be allowed even if it protects society from medical and social hazards. Morality
and healthiness have
no standing in the
face
of
profitability”. Kembali ke masa
awal decade 1980-an
kita masih
ingat bagaimana sistem ekonomi komunis telah
jatuh seiring dengan
runtuhnya hegemoni Uni Soviet atas kawasan Rusia, runtuhnya tembok
Berlin dan krisis pangan yang
bekelanjutan di Perestroika ala Gorbachev.
Fenomena
ini seakan
meligetimasi
keunggulan
system ekonomi pasar atau kapitalis. Upaya menyeimbangkan antara dua kutub pasar komando ala komunis dengan kapitalis murni setidaknya telah dirintis oleh para ekonom post Keynesian, tetapi kenyataannya dengan pola pendekatan
keduanya dan diantara
keduanya
belum
menciptakan
jawaban yang memuaskan.
Pertanyaan mendasar
bagaimana jika memang
pencarian
dimaksud bukan bersumber dari pendekatan kedua pendekatan kutub ekonomi dimaksud?.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
DASAR HUKUM
ISLAM
Riba dalam bahasa Inggris disebut usury, sedangkan bunga disebut interest.
Dilarangnya riba oleh agama agama samawi tidak ada yang membantah.Itulah yang
ditulis dalam Taurat dan Injil. Secara perlahan tapi pasti pelarangan riba di
Eropa dihilangkan, diganti dengan istilah interest (bunga). Setelah perjalanan
ratusan tahun, terciptalah citra sampai saat ini bahwa riba tidak sama dengan
bunga. Riba dilarang, sedangkan bunga boleh. Namun dalam
kenyataannya istilah Riba hanya dipakai untuk memaknai pembebanan hutang atas
nilai pokok yang dipinjamkan.[1]
Guru Besar
Columbia University Frederic Mishkin (1992) menelaah secara kritis teori
pembungaan uang, selanjutnya menjelaskan bahwa ekonom Amerika bernama Irving
Fisher (1911) berkesimpulan bahwa permintaan akan uang semata mata ditentukan
oleh besarnya pendapatan seseorang, sedangkan tingkat suku bunga tidak
mempunyai pengaruh apapun terhadap permintaan uang. Motif orang memegang uang adalah
untuk memenuhi kebutuhan transaksinya saja. Jika demikian mengapa perekonomian
sekarang penuh riba.
Bunga uang merupakan bagian dari
teori riba. Ibnu Qayyim membedakan antara riba terang terangan (al-jaliy)
dan riba terselubung (al- khafiy). Menurut Ulama Fiqih menjelaskan riba
karena perpanjangan waktu (an- nasi’ah) dan riba dalam pertukaran barang
sejenis (al-fadl). Bunga bank termasuk riba nasi’ah. Teori
pembungaan uang merupakan bagian dari teori riba yang lebih komprehensif.
Praktek pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktek riba nasi’ah pada
zaman jahiliyah. Imam Suyuti, Imam Thabari, Imam Baihaqi dan Imam ar-Razi
menjelaskan bahwa riba nasi’ah di zaman jahiliyah baru dikenakan pada saat
peminjam tidak mampu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Jika
peminjam mampu melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba, padahal
bank konvensional telah mengenakan bunga sehari setelah uang dipinjamkan.
Logika ekonomi
syariah tentang pelarangan bunga bank, adalah uang dalam Islam merupakan alat
tukar dan modal dasar, bukan komoditas yang dapat diperjualbelikan, disewakan,
apalagi memperoleh nilai tambah hanya karena dipinjamkan. Pertambahan nilai dalam
uang, hanya diperkenankan ketika uang itu diinvestasikan dalam bentuk aktivitas
perniagaan, perindustrian, pertanian, atau kerajinan sehingga pertambahan yang
diperoleh adalah laba dari aktivitas tersebut, bukan bunga melalui pertambahan
unsur waktu. Pengharaman riba ala Indonesia suatu hal yang prinsip dan sudah
mutlak, karena riba secara jelas dan tegas diharamkan Quran. Bagi orang yang
hanya membaca Quran saja, tidak akan dapat mengerti langsung secara pasti apa
itu riba.
Larangan riba
yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan dalam empat
tahap[2].
Unsur pertama yang dilarang al-Qur’an adalah bunga (riba). Islam menganggap
bunga sebagai suatu kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan masyarakat
baik itu secara ekonomi, sosial, maupun moral. Tetapi kejahatan ini sangat
berakar dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Maka hukum mengenai hal
itu diperkenalkan secara berangsur-angsur untuk menghindari hal-hal yang tidak
mengenakkan dan menyinggung masyarakat[3].
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya)”[5].
Sebagian masyarakat makkah pada waktu itu telah mempraktekan riba (bunga),
dan sebagian telah membayar zakat. Mereka menginginkan agar harta yang mereka
miliki dapat menjadi banyak dan bahkan berlipat ganda, dengan mempraktekan riba
(bunga). Dalam ayat ini belum terlihat adanya keharaman melakukan riba, namun
sekedar menggambarkan bahwa riba yang dalam sangkaan orang menghasilkan
penambahan harta dalam pandangan Allah tidak benar. Akan tetapi zakatlah yang
mendatangkan pahala yang berlipat ganda. Terhadap riba yang dibicarakan dalam
surat al-Rum ini, sebagian mufassir ada yang berpendapat bahwa riba yang dimaksud
adalah berupa pemberian sesuatu kepada orang lain yang tidak didasarkan pada
keikhlasan tetapi berharap imbalan yang lebih besar.[6]
Dalam ayat
ini Allah mengingatkan bahwa zakatlah yang menghasilkan lipat ganda seperti
yang mereka kehendaki, bukan riba (bunga). Al Qur’an menonjolkan kekuasaan
Allah dengan cara mengaitkan rizki dengan anugrah-Nya harus mempunyai fungsi
sosial. Ayat ini turun
sebelum hijrah (Makiyah), belum menyatakan haramnya riba, tetapi sekedar
menyatakan bahwa Allah tidak menyukainya[7].
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rß$yd $oYøB§ym öNÍkön=tã BM»t7ÍhsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZÏWx. ÇÊÏÉÈ ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJÏ9r& ÇÊÏÊÈ
Artinya: “Maka disebabkan kezaliman
orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta
benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”[9].
Ayat ini turun dalam konteks waktu
itu, orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan dosa besar. Mereka selalu
menyalahi aturan yang telah ditentukan oleh allah SWT. Barang-barang yang telah
dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang diharamkan oleh Allah mereka
lakukan. Sebagian dari barang yang diharamkan oleh Allah yang mereka banyak
budayakan adalah riba. Hanya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah
secara jujur dari kalangan meraka – diantaranya Abdullah bin Salam, Tsa’labah
bin Sa’yah, Asad bin Sa’yah dan Asad bin Usaid – saja yang tidak mau melakukan
kezaliman. Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat 161 sebagai khabar
tentang perbuatan mereka dan sebagai kabar gembira bagi mereka yang beriman
untuk mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah SWT. (HR. Ibn Abi Hatim
dari Muhammad b. Abdillah b. Yazid al-Muqri dari Yahya b. Uyainah dari Amr b.
Ash)[10].
Pembicaraan
tentang riba dalam surat ini masih bersifat informasi. Meskipun
tidak secara tegas melarang orang islam menjalankan riba, tetapi memberi tahu riba
yang dipraktekkan orang yahudi. Sehingga orang yahudi dilarang memanfaatkan
barang – barang yang serba bagus, yang tadinya halal untuk mereka. Riba yang
mereka praktekkan bukan kesalahan kecil, tetapi kesalahan besar yang meresahkan
orang banyak. Pada zaman sekarang konsep ini sama dengan konsep bunga pada bank
konvensional, yang ingin mencari keuntungan banyak dengan konsep bunga
(tambahan pembayaran karena diundurnya pembayaran). Semakin lama pembayaran maka semakin tinggi bunganya[11]. Ayat ini
turun sesudah Hijrah (Madaniyah). Dan ayat ini belum secara jelas ditujukan
kepada kaum muslimin, tetapi secara sindiran telah menunjukan bahwa, kaum
muslimin pun jika berbuat demikian akan mendapat kutuk sebagaimana yang didapat
orang-orang yahudi.[12]
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan[14].
Dalam tahap ini, riba diharamkan
dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir
berpendapat bahawa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Ayat ini turun pada tahun
ke tiga hijrah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat
ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat
ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat
umum dari parktik pembungaan uang pada saat itu.
Pada waktu itu terdapat orang-orang
yang melakukan akad jual beli dengan jangka waktu tertentu (kredit). Apabila
waktu pembayaran telah tiba, mereka ingkar, tidak mau membayar, sehingga dengan
demikian bertambah besarlah bunganya. Dengan menambah bunga berarti mereka
bertambah pula jangka waktu untuk membayar. Sehubungan dengan kebiasaan seperti
ini Allah menurunkan ayat ini, yang pada intinya memberi peringatan dan
larangan atas praktik jual beli yang demikian itu[15]. Menurut Ath – Thabari, ungkapan “janganlah memakan riba” ditujukan setelah
kebolehan mengkonsumsinya sebelum Islam. Pada masa Arab mengkonsumsi riba yang
berlaku di kalangan mereka terhadap pihak yang berhutang yang tidak mampu
mengembalikan hutangnya pada waktu jatuh tempo maka, pihak pihutang akan
meminta pembayaran kembali dengan tambahan hutangnya. Hal ini merupakan bentuk
riba yang berlipat ganda
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& w cqßJÎ=ôàs? wur cqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah,
bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya”.
Pada tahap akhir ini, Allah SWT dengan
jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.
Ayat 278 dan 279 diturunkan sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada
gubernur Mekah Itab bin Usaid setelah terbukanya Kota Mekah tentang utang-utang
yang dilakukan dengan riba sebelum turunya ayat yang mengharamkan riba. Bani
Mughirah menghutangkan harta kekayaan kepada Bani Amr bin Auf dari penduduk
Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada Itab bin Usaid: “Kami adalah segolongan
yang paling menderita lantaran dihapuskanya riba. Kami ditagih riba oleh orang
lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba lagi karena taat kepada peraturan
Allah SWT yang menghapus riba”. Bani Amr bin Auf berkata: “Kami minta
penyelesaian tagihan riba kami”. Oleh sebab itu Gubernur Mekah Itab bin Usaid
mengirim surat kepada Rasulullah SAW yang isinya melaporkan kejadian tersebut.
Surat ini dijawab oleh Rasulullah SAW setelah turunya ayat 278 dan 279 ini.
Didalam ayat ini ditegaskan tentang perintah untuk meninggalkan riba[17].
Dalam
kelompok ayat ini al Qur’an berbicara tentang riba dengan tahapan sebagai
berikut[18]:
1.
Ia memulai pembicaraan dengan
melukiskan pemakan riba sebagai orang kesetanan yang tidak dapat membedakan
antara yang baik dan buruk, sehingga ia menyamakan jual beli dengan riba. Al Qur’an menegaskan bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram. Karena
itu diingatkan bahwa orang yang menerima nasihat al Qur’an akan beruntung dan
orang yang ingkar diancam neraka.
2.
Al Qur’an menegaskan bahwa riba atau
bunga bank itu melumpuhkan sendi – sendi ekonomi, sedangkan shadaqah
menyuburkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu riba dimusnahkan sedangkan
shadaqah dikembangkan.
3.
Al Qur’an memuji orang yang beriman, beramal shaleh, menegakkan shalat dan
membayar zakat.
4.
Penegasan ulang larangan riba karena pelarangan riba pernah dinyatakan
dalam surah Ali imran : 130 dan sekaligus mengancam pemakan riba. Serta memuji
kreditor yang suka memaafkan debitor karena peminjam mengalami kesulitan
ekonomi.
Ayat-ayat Quran tentang
pelarangan riba tersebut adalah riba orang- orang Arab yang dalam praktiknya
meliputi :
a.
Pertambahan nilai pokok dalam
transaksi utang, atau pertambahan karena
unsur waktu.
b.
Apabila tiba masa pembayaran
utang, mereka akan menagih sejumlah sesuai utang, jika tidak sanggup bayar maka
pembayaran bisa ditunda tahun depan dengan syarat dilipatkan 100 % dan
seterusnya akan berlipat-lipat.
c.
Usman bin Affan dan Abbas bin Abdul
Mutalib biasa membeli kurma ke petani sebelum waktu panen. Ia akan menyerahkan
separoh jumlah kontrak dan separohnya akan dibayar akan dibayar pada musim
panen berikutnya, dengan perjanjian dibayar dua kali lipat, ketika saat memetik
petani tidak sanggup menyerahkan sejumlah uang sesuai kontrak.
B. PLATFORM
EKONOMI SYARIAH
Di dalam pengembaraan mencari platform ekonomi baru diantara kedua kutub tersebut sejumlah titik terang
sudah berani diungkap sebagaimana diutarakan
oleh Prof. Hyman P Minsky dalam bukunya yang berjudul
Stabilizing an Unstable Economy, hal senada juga diutarakan
oleh Dimitri B Papadimitiou , L Randall Wray serta bersinggungan dengan pemikiran Joseph Stiglizt yang juga secara implisit diamini oleh John C Perkins melalui
buku best seller-nya The Economic Hit Man. Beberapa pokok
titik terang dimaksud adalah
adanya
fakta-fakta baru diantaranya
adalah kondisi
siklus
up and down dari sebuah ekonomi pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan karena meruapakan fitrah alam terjadi
dalam
skala komoditi, sektor ekonomi hingga ekonomi secara keseluruhan, dimana manusia diletakkan pada posisi ketidak berdayaan untuk menghindar. Titik terang kedua adalah
adanya pilihan ekonomi, namun
apa
yang dilakukan manusia adalah berperilaku speculative yang didasarkan oleh animal spirit (keserakahan, moral hazard, menguasai
asset lebih besar disbanding yang lain,
keuntungan sebesar-besarnya dsb). Jika
kita analisis lebih dalam setidaknya semangat tersebut direpresentasikan dengan instrument-
instrument yang ada dipasar
saat
ini
mulai
yang
paling
dasar adalah
pola ekonomi berbasis bunga (interest), dan produk-produk turunannya (derivative), option, insurance hingga yang popular sekarang
seperti CDS (Credit Defaults Swap) suatu instrument yang intinya akan
memberikan keuntungan pagi
pemegangnya
apabila
underlying
transactionnya mengalami
kerugian, intinya
kesemuanya mengandung adanya unsure garansi dari sesuatu yang
secara natural memang non
predictable atau dengan bahasa
sederhananya unsur speculatif telah melekat (embedded) didalam
setiap transaksi. Semangatnya adalah
bagaimana risiko
dihindari
dan
jika
tidak dapat
dihindari dipindahkan ke pihak lain tanpa mengindahkan
prinsip keadilan.
Kembali ke fitrah adanya siklus di dalam
setiap elemen kehidupan dapat diartikan
sebagaimana
layaknya pergantian
siang dan malam,
maka sudah pasti seharusnya semangat yang diambil bukan menghindari malam tetapi bagaimana kita membagi terang dimalam hari dan membagi
teduh disiang hari. Maka spirit yang harus dibanguan adalah profit sharing dan loss sharing, atas dasar keadilan. Tidak juga dengan semangat speculatif yang dibungkus oleh adanya upaya untuk
menjamin
sebuah ketidak pastian sebagaimana layaknya ekonomi bunga yang menciptakan
rente ekonomi. Siklus up-down dari kondisi ekonomi sebagaimana sebab alamiah
tidak lain merupakan sebuah
sunnatullah,
maka sudah
selayaknya kita mensikapi
dengan perangkat
yang
juga bersumber dari pembuat siklus itu “…..Dan Dialah yang mengatur pergantian malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (QS 23 :80). Salah
satu ciri dari system ekonomi syariah adalah
adanya konsep larangan
riba dan bunga sebagaimana
tertuang dalam Surat (30) Ar Rum ayat 39, Surat (4) An Nisa’ ayat 160-161, Surat (3)
Ali Imran
ayat 130, Surat (2) Al Baqarah ayat 278-279. Inti dari ekonomi syariah diantaranya perbankan bebas bunga, tidak
bersifat spekulatif dan
pembiayaan kegiatan usaha riil, dengan prinsip utama berupa: penghindaran riba,
perolehan keuntungan yang sah menurut syariah dan menyuburkan zakat.
C. PROBLEMATIKA
UTAMA
Persoalannya sekarang
banyak yang menyebutkan bahwa ekonomi syari’ah
pun
belum mampu membuktikan keunggulannya dibandingkan sistim ekonomi yang ada ditunjukkan
oleh
banyaknya jumlah warga miskin yang meningkat khususnya di
Negara-negara yang notabene mayoritas muslim. Sebelum menanggapi pernyataan tersebut sebaiknya perlu disadari bahwa ekonomi adalah kegiatan muamalah
bukan kegiatan orang perorang atau
kegiatan interaksi personal dengan khaliqNya sebagaimana ibadah puasa, shalat, haji dan sebagainya. Artinya keberhasilannya sangat tergantung dari tindakan ummat, atau
tepatnya sebagai gerakan ummat dan
bukan
tindakan orang perorang. Jika kita sepakat
bahwa ekonomi adalah kegaiatan masyarakat maka setidaknya terdapat 3 hal
yang menyebabkan ekonomi Islam belum mampu bekerja secara optimal dalam mengatasi masalah ekonomi yang timbul saat ini, yaitu:
1.
Aspek besaran (volume), perlu dilihat kembali berapa
besar
magnitude ekonomi yang berbasiskan syariah dengan ekonomi konvensional. Jika kita lihat konteks tersebut di
Indonesia, dewasa ini kontribusi perbankan
syariah baru mencapai 2% dari total pasar perbankan. Bahkan
untuk kawasan Timur Tengahpun
peran perbankan syariah
belum mencapai setengah dari kegiatan perbankan dikawasan tersebut. Oleh karenanya secara umum
kiprah ekonomi syariah
kurang dari 20% dari perekonomian dunia.
2.
Dukungan
pemerintah, meskipun telah
diakui
bahwa
ekonomi syariah
memiliki sejumlah keunggulan
dibanding ekonomi
kapitalis ataupun
komunis, tetapi komitmen pemerintah khususnya di Negara-negara
berpenduduk mayoritas muslim
pun
masih setengah-setengah. Hal in antara lain
dicerminkan oleh ketentuan pajak yang justru merugikan
transaksi syariah
ataupun pembatasan-pembatasan lainnya. Hambatan politis maupun tekanan-tekanan pihak eksternal sering menjadi penyebab masalah diatas.
3.
Aspek Implementasi yang belum seutuhnya (kaffah). Esensi dari Ekonomi
Islam oleh sejumlah kalangan orientalis sering di-dikotomikan dengan kegiatan
ekonomi konvensional
non bunga, hal
itulah
yang
menyebabkan
praktek
ekonomi syariah
sekarang merupakan modifikasi minimal dari ekonomi yang ada saat ini.
D.
PENERAPAN
EKONOMI ISLAM
Ekonomi tanpa bunga hanya merupakan bagian kecil dari ekonomi Islam. Pada dasarnya
ekonom Islam dibangun pada filosofi dasar yang jauh lebih
besar dari itu antara lain supremasi kedamaian dan kemaslahatan baik untuk
tingkat individu, keluarga dan
system secara
keseluruhan.
Kedamaian
dan
kemaslahatan disini bermakna luas meliputi
kesehatan, ketentraman, kesejahteraan
dsb. Oleh karenanya kegiatan ekonomi yang
menimbulkan kerugian
bagi masyarakat harus dihentikan. Filosofi lain adalah ekonomi harus dipandang sebagai sebuah
sistem, jadi ia tidak terlepas dari aturan dasar mengenai aspek hak dan kewajiban, tanggung jawab dan sebagainya. Maka makna benar salah tidak lagi didasarkan
atas kepentingan pasar atau ekonomi itu sendiri tetapi atas framework syariat. Filosi berikutnya menyangkut aspek kegiatan ekonomi, adalah seluruh kegiatan muamalah. Jika ekonomi kapitalis hanya mendasarkan kegiatan ekonomi
atas dasar penambahan nilai sejauh dapat dibuktikan
adanya transaksi maka definisi kegiatan ekonomi dalam Islam lebih luas. Seperti aktivitas ibu rumah tangga dalam ekonomi
kapitalis tidak pernah dicatat
didalam GDP karena tidak ada transaksi disitu, dalam
ekonomi Islam menjadi sebaliknya. Filosofi berikut terkait dengan aspek universalitas,
yakni semangat untuk mengayomi semua penduduk dunia tidak peduli atas keyakinannya,
sebagai bagian dari fitrah Islam rahmatan lil alamin.
Oleh karenanya kita perlu juga untuk
berbesar hati mengingat sejumlah pelaku ekonomi telah melirik
sistim ekonomi syariah
sebagai jawaban permasalahan ekonomi kedepan. Setidaknya saat ini pertumbuhan
asset perbankan syariah dunia
mencapai kisaran 30% pa dengan jumlah asset sekitar USD 600 milyar. Jumlah full fledged bank
syariah meningkat dari 276 di tahun 2005
menjadi 470 di tahun
2007. Pemerintahan sejumlah negara pun juga turut melirik kegiatan
ekonomi syariah ini. Pemerintah Jepang saat ini tengah mempersiapkan penerbitan bond berbasis Syariah,
Pemerintah Inggris
secara agresif merevisi undang-undangnya agar sejalan dengan prinsip syariah dan telah memproklamirkan
sebagai gerbang keuangan syariah
untuk wilayah Eropa, demikianjuga sejumlah bank
berskala global seperti HSBC, Deutsche, Chase dan
Standard Chartered telah memiliki unit syariah dan
terus mengembangkan bisnis ini kesejumlah
Negara yang
menjadi pusat
keuangan
dunia. Mudah-mudah ini
menjadi sebuah
harapan baru dari penyelesaian
krisis global saat ini.
E. ANALISA
KRITIS
Pertanyaan seputar persolan bunga
bank apakah sama dengan riba, masih sering kali mencuat dan menyisakan banyak
persoalan yang belum tuntas terjawab. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh
rumusan riba nasi’ah oleh para fuqaha yang disimpulkan oleh Wahbah Zuhali
dengan, “mengakhirkan pembayaran hutang dengan tambahan dari hutang pokok”.[19]
Dalam sejarah peradaban manusia,
tidak selamanya tambahan atas jumlah pinjaman itu mendatangkan kesengsaraan.
Ada juga yang mendatangkan keuntungan baik kepada penerima maupun pemberi
pinjaman. Tetapi Karena rumusan di atas sudah demikian mapan dalam ilmu Fiqh,
maka semua kegiatan ekonomi yang mengandung formula “tambahan atas jumlah
pinjaman”, baik berakibat menyengsarakan atau menguntungkan, tetap dimasukan
dalam riba yang diharamkan itu[20]. Begitu
jelas mapanya rumusan riba nasi’ah, sehingga para fuqaha tidak lagi menganggap
ada persoalan, “apa sebab riba mendatangkan kesengsaraan” atau bagaimana
kondisi pihak peminjam dan pemberi pinjaman ketika terjadi perjanjian yang
menuju riba?. Perhatian mereka tertuju pada pencarian illat, barang-banarng apa
yang boleh atau tidak boleh dijualbelikan dengan tenggang waktu.
Pada masa sekarang, adanya upaya
peninjauan ulang tentang riba dalam al-Qur’an disebabkan oleh kontak orang
Islam dengan kegiatan perbankan. Bank adalah bagian dari peradaban Barat. Maka,
yang dimaksud dengan kontak itu adalah sesudah diterimanya peradaban Barat oleh
para tokoh pembaharu dalam Islam, yaitu sesudah abad ke-18[21]. Karenanya,
kontroversi tentang hukum bunga bank muncul sesudah kurun waktu tersebut, tidak
sebelumnya. Dalam catatan sejarah, berdirinya lembaga perbankan di berbagai
negara Islam adalah sesudah abad ke- 20.[22]
Sebagai finacial intermediary, bank
dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia menerima
simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan danaketika ia
memberi pinjaman. Dalam kegiatan ini, muncul apa yang disebut bunga. Menurut
Sri Edi Swasono, bahwa bunga adalah harga uang dalam transaksi jual beli
tersebut[23]. Dengan
demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakai jasa, merupakan ongkos
adminstrasi dan ongkos sewa[24].
Untuk mengetahui lebih mendalam
tentang ihwal hukum bunga bank, di sini akan dipaparkan analisis yang berpijak
dari kerangka penalaran bayani dan ta’lili untuk menelusuri karakteristik riba
dalam al-Qur’an.
1.
Penalaran bayani
Dalam surah Ali Imran: 30, riba
diberi sifat “lipat ganda”. Tidak demikian yang tersurat di dalam surah
al-Baqarah: 278. dalam ayat ini disebutkan bahwa setiap pengembalian melebihi
jumlah pokok modal disebut riba. Ada kesan paradoks antar dua ayat dari dua
surat di atas. Sehingga ada ulama yang mengatakan, riba yang terlarang adalah
yang mempunyai unsur lipat ganda[25]. Ada pula
yang tidak membatasi riba berlipat ganda, seperti pendapat fuqaha pada umumnya.
Akhir surat al-Baqarah : 278,
ditegaskan “….. kamu tidak berbuat zalim, tidak pula menjadi korbanya”. Jika
ini yang dijadikan tolak ukur riba, maka jalan tengah dapat ditemukan. Yaitu
betapa pun kecilnya tambahan itu, apabila menimbulkan kesengsaraan (zulm)
termasuk riba. Hanya saja, karena di masa Rasul riba selalu mengambil ad’af
mudha’afah, tidak dalam bentuk lain, maka sifat ini disebut dalam al-Qur’an.
Dengan demikian , ad’af mudh’afah relevan dengan ketidakadilan[26].
Perlu dijadikan pertimbangan, bahwa
di masa Rasul tidak ada inflasi, karena mata uang yang berlaku adalah uang mas
dan perak (dinar dan dirham). Karenaya, pengembalian hutang sebesar jumlah
pinjaman menggambarkan keadilan. Dalam suatu kurun waktu di mana inflasi
melanda mata uang tertentu, maka pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman
tidak menggambarkan keadilan, sebaliknya, menimbulkan kerugian sepihak. Kalau
statemen la tazlamun wa la tuzlamun (al-Baqarah: 278) dijadikan kunci dalam
memahami riba dalam al-qur’an, maka pengembalian hutang sebesar pinjaman
berikut bunga yang proporsional dengan besarnya inflasi akan menjamin keadilan
dari pada tambahan. Kalau demikian, maka pemahaman lebih adil tentang pokok
modal masa sekarang untuk kasus Indonesia, adalah modal dihitung berdasarkan
kurs, bukan berdasarkan nilai nominal. Dengan cara demikian maka pihak pemberi
pinjaman maupun yang meminjamn tidak dirugikan.
2.
Penalaran ta’lili
Berdasarkan pembahasan sebelumnya,
bahwa riba didefinisikan sebagai “tambahan yang diperjanjikan atas besarnya
pinjaman ketika pelunasan hutang..” Jadi tekananya pada “tambahan” sebagai ciri
pokok riba.
Riba juga dapat didefinisikan dengan
tambahan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan
kesengsaraan pihak peminjam”. Di sini tekanannya ada pada “kesengsaraan/zulm”
bukan ‘tambahan’. Tambahan sebagai ‘an-nau’/ ‘species’, sedangkan kesengsaran
sebagai al-jins/ genus/ ‘illat. Sama halnya dengan ungkapan “khamar” adalah
minuman yang memabukan”, maka khamr adalah sesuatu yang didefinisikan, minuman
sebagai an-nau’/ sepecies, dan memabukan sebagai al-jins/ genus/ ‘illat.[27]
Dari paparan di atas, dapat
diketahui bahwa esensi riba adalah “tambahan”, dan ada pula yang mengatakan
esensinya adalah “zulm’. Namun, jika kembali kepada pangkal persoalan larangan
riba, maka “tambahan” tidak mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan
adalah hal yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam.
Karenanya, ‘illat larangan riba seharusnya ‘zulm’ bukan “tambahan”.[28]
BAB III
KESIMPULAN
Jika
Indonesia masih berkiblat ke Barat yang memiliki sistem ekonomi yang rapuh,
maka yakinlah Indonesia pasti akan terancam krisis terus-menerus sepanjang
sejarah. Konkritnya, pemerintah jangan setengah hati menerapkan bank-bank
syariah, asuransi syariah, surat berharga syariah negara, pasar modal syariah,
leasing, pegadaian syariah dan lembaga keuangan mikro syariah yang pro kepada
sektor riil dan kemaslahatan ekonomi rakyat. Dengan krisis ini sesungguhnya
Allah hendak mengingatkan betapa sistem ribawi itu ternyata merusak dan
menghancurkan perekonomian umat manusia. Inilah makna firman Allah Luyuziiqahum
ba’dhal lazi ’amiluu la’allahum yarj’iuun. (QS.30 : 41) Maksudnya, krisis itu
Kami timpakan kepada mereka (akibat ulah tangan mereka), supaya mereka kembali
kepada sistem yang benar, sebuah sistem ilahiyah yang berasal dari Tuhan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Saeed, Abdullah, Bank Islam Dan Bunga, terj. Cet 1. Pustaka Pelajar:
Jakarta 2003.
Ahmed Rifaat Abdel Karim, dan Simon Archer, Islamic
Finance, The Regulatory Challenge. John Willy and Sons, 2007.
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Wasith
(Al-Fatihah-Al-Taubah), alih bahasa Muhtadi, dkk, Jakarta: Gema Insani,
2012.
----------------------------- Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh, Jilid IV, Bairut: Dar al-Fikr, 1985.
Humudah, Mahmud dan Musthafa Sulaiman, Adhwa A’la
Al-Mu’amalat al-Maliah Fi al-Islam, Uman: Mu’assasah al-Waraq, 1999.
Jamil, Javed, “Islamic Economics” – Islam less,
Economics More. International Centre for Applied Islamic, 2008.
Kasir, Ibn, Tafsir al-Qur’an al-‘azim, Jilid
III, Qahirah : Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1952.
Maududi, Abul A’la, The Meaning of The Qur’an,
Jilid II.
Minsky P Hyman, Stablizing an Unstable Economy.
New York: Mc Graw Hill, 2008.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Perkins, John, Confessions of an Economic Hit Man,
San Fransisco: Berrett-Koehler Publisher Inc, 2004.
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-manar, Jilid III, Bairut: Dar
al-Ma’arif, tt.
Sahil, Azharuddi, Indeks Al-quran, Bandung:
Mizan Pustaka, 2007.
Stiglitz, E Joseph, Dekade Keserakahan : Era
90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. Marjin Kiri, Jakarta, 2005.
Sukardja, Ahmad, “Riba, Bunga bank, dan Keridit perumahan”, dalam Chuzaimah
T. Yanggo & HA. Hafiz Anshary AZ (Ed), Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Buku ke-3, Jakarta: Pustaka Firdaus & LSIK, 1995.
Swasono, Sri Edi, Bank dan Suku Bunga, dalam Kajian Islam tentang
Berbagai Masalah Kontemporer, Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988.
Zein, Fuad, Aplikasi Ushul Fiqh dalam kajian keuangan Kontemporer,
dalam Aunurafiq (ed), Mazhab Jogja: Menggagas Pradigma Ushul Fiqh
Kontemporer, Yogyakarta: Fak. Syariah IAIN & ar-Ruzz Press, 2002.
Zuhri, Muhammad, Riba Dalam al-Qur’an dan Masalah
Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
[2] Mahmud Humudah dan Musthafa
Sulaiman, Adhwa A’la Al-Mu’amalat al-Maliah Fi al-Islam, (Uman:
Mu’assasah al-Waraq, 1999), hal. 39.
[3] Abul A’la Maududi, The
Meaning of The Qur’an, Jilid II, hal. 62.
[4] Muhammad Zuhri, Riba Dalam
al-Qur’an dan Masalah Perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1997), hal. 59.
[5] Al-Rum (30): 39.
[6]Ibnu Kasir, Tafsir
al-Qur’an al-‘azim, Jilid III, (Qahirah : Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah,1952)
[7] Ahmad Sukardja, “Riba, Bunga bank,
dan Keridit perumahan”, dalam Chuzaimah T. Yanggo & HA. Hafiz Anshary AZ
(Ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku ke-3, (Jakarat: Pustaka
Firdaus & LSIK, 1995), hal. 35.
[8] Muhammad Zuhri, Riba Dalam
al-Qur’an dan Masalah Perbankan....., hal. 61.
[9] Al-Nisa (4): 160-161.
[10] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir
al-Wasith (Al-Fatihah-Al-Taubah), alih bahasa Muhtadi, dkk, (Jakarta: Gema
Insani, 2012), hal. 363.
[11] Mahmud Humudah dan Musthafa
Sulaiman, Adhwa A’la Al-Mu’amalat al-Maliah Fi al-Islam, (Uman:
Mu’assasah al-Waraq, 1999), hal. 40.
[12]
Ahmad Sukardja, “Riba, Bunga bank,
dan Keridit perumahan”......, hlm. 36.
[13] Mahmud Humudah dan Musthafa
Sulaiman, Adhwa A’la Al-Mu’amalat al-Maliah Fi al-Islam....., hal. 40.
[14] Ali Imran (3):
130. Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. menurut sebagian besar
ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya Haram, walaupun tidak berlipat ganda.
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih
yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang
yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang
berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
[15] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir
al-Wasith (Al-Fatihah-Al-Taubah), alih bahasa Muhtadi, dkk,....., hal. 214.
[16] Mahmud Humudah dan Musthafa
Sulaiman, Adhwa A’la Al-Mu’amalat al-Maliah Fi al-Islam,......, hal. 41.
[17] Ibid., hal. 41-42.
[18]Muhammad Zuhri, Riba
Dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan....., hal. 67-69.
[19] Wahbah az-Zuhali, Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh, Jilid IV, (Bairut: Dar al-Fikr, 1985), hal. 672.
lihat pula Fuad Zein, Aplikasi Ushul Fiqh dalam kajian keuangan Kontemporer,
dalam Aunurafiq (ed), Mazhab Jogja: Menggagas Pradigma Ushul Fiqh Kontemporer,
(Yogyakarta: Fak. Syariah IAIN & ar-Ruzz Press, 2002), hal. 173. Menurut
Fuad Zen bahwa Rumusan riba nasi’ah itu telah dapat menggambarkan bentuk formal
praktik riba Jahiliyah secara tepat. Kerugian sepihak dan kezaliman sebagai
‘hakikat” riba pada waktu itu ditimbulkan oleh bentuk formal kegiatan ekonomi
seperti tercantum dalam rumusan tersebut. Tampaknya kegiatan ekonomi yang
formulanya seperti itu, sejak dahulu sampai masa fuqaha tetap mendatangkan
kezaliman dan kerugian sepihak. Karena begitu melekatnya asosiasi antara
tambahan atas jumlah pinjaman dengan penyengsaraan, maka penyengsaraan tidak
perlu disebut lagi dalam rumusan.
[21] Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal.
29.
[22] Muhammad Zuhri, Riba dalam
al-Qur;an dan Perbankan: Sebuah Tilikan antisipatif, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), hal. 141.
[23] Sri Edi Swasono, Bank dan Suku Bunga: Dalam Kajian Islam tentang
Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988), hal.
128.
[24] Fuad Zein, Aplikasi Ushul Fiqh…..,
hal.174. Dalam lalu lintas perekonomian, suku bunga bank tidak konstan. Menurut
Bank Indonesia, tingkat suku bunga dipengaruhi oleh berbagai factor; (a)
likuiditas masyarakat; (b) ekspektasi inflasi; (c) besarnya suku bunga di luar
negeri; (d) ekspektasi perubahan nilai tukar dan premi atas resiko. Jadi,
betapapun rendahnya suku bunga tidak akan terlepas dari pertimbangan berbagai
factor tersebut. Dalam system pengelolaan semacam ini, simpan pinjam tanpa
bunga tampaknya tidak menumbuhkan perekonomian yang sehat, karena dari sector inflasi
saja, daya beli uang berbeda karena perbedaan waktu, belum lagi perhitungan
sector lain.
[28] Apabila menarik pelajaran sejarah
dari masyarakat barat, terlihat jelas bahwa “interest’ dan “usury” yang dikenal
saat ini pada hakekatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang., umumnya
dalam prosentase. Istilah “usury’ muncul karena belum mapanya pasar keuangan
pada zaman itu sehinga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang
diangap wajar. Namun setelah mapanya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah
itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum
permintaan dan penawaran. Lihat Perry Warjiyo, “Muslim dan Sumber-sumber
Penghasilan”, Kumpulan makalah Pembangunan Ekonomi dan Pendidikan Menurut
Islam, Pengajian Keluarga Muslim Indonesia, IOWA State University, Amerika
serikat, 1991, hal. 62.