REFKY FIELNADA

REFKY FIELNANDA

MAHASISWA EKONOMI ISLAM

Minggu, 24 November 2013

Perbedaan Pemilu Orba dan Pemilu Reformasi

Dalam menyambut Pemilu 2014 ruang-ruang publik dibanyak tempat sudah mulai dipenuhi spanduk, bendera, dan berbagai bentuk promosi para caleg. Semenjak reformasi bergulir telah berulangkali kita menyelenggarakan Pemilu mulai dari daerah tingkat dua hingga pusat secara langsung. Oleh karena itu sejumlah gambar, foto, lambang partai dan bermacam bentuk alat propaganda dalam Pemliu menghiasi ruang-ruang publik kita secara tidak beraturan. Mekanisme pengawasan seolah tidak sanggup mengjhadapi serbuan yang demikian gencar dan bertubi-tubi pemasangan beragam alat kampanye tersebut.
Dengan banyaknya bermunculan alat-alat kampanye itu di ruang-ruang publik pemandangan kota, daerah dan desa menjadi tidak indah untuk dilihat karena jalan-jalan, tiang-tiang listrik, rumah, toko, perkantoran bahkan hingga pohon-pohon dimanfaatkan sebagai media promosi para caleg dan calon pemimpin. Akhirnya, terkesan ruang publik kita menjadi semrawut, jorok, dan acak-acakan sehingga penataan ruang publik ini amburadul dikepung dan disesaki oleh ribuan bahkan mungkin jutaan alat kampanye yang tersebar luas dimana-mana. Kebersihan, keindahan dan kerapihan ruang publik terganggu hampir setiap saat karena sejak reformasi sangat sering dilakukan Pemilu langsung, akibatnya ruang publik menjadi korban pemasangan alat-alat kampanye tersebut.  
Situasi ini berbeda pada masa orde baru dimana Pemilu hanya diadakan lima tahu  sekali yang diikuti oleh 3 partai (PDI, PPP dan Golkar). Pihak penguasa yang dipimpin Soeharto tidak menyebut Golkar sebagai Parpol tetapi kenyataannya mereka bergerak sebagai Parpol juga sama dengan PDI dan PPP. Baru setelah reformasi Golkar baru menyebut dirinya secara terang-terangan sebagai partai sehingga menjadi partai Golkar.
Pada masa orde baru PDI dan PPP merupakan fusi dari sejumlah partai yang demikian banyak seperti partai-partai yang ada pada masa awal-awal reformasi. Namun dengan tangan besinya Soeharto berhasil memfusikan banyaknya partai tersebut bergabuing kedalan dua partai yakni Partai Demikirasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sehingga kontestan peserta Pemilu pada era orde baru hanya diiikuti 3 partai yakni PDI, PPP dan (partai) Golkar. Saat itu tidak ada Pemilu langsung untuk memilih kepala daerah karena  para kepala daerah bukan dipilih tetapi ditunjuk dari pusat (Presiden). Sedangkan Presiden dipilih oleh MPR bukan diplih langsung oleh rakyat seperti sekarang ini.

Satu hal yang jelas bahwa pada era orde baru itu kita tidak sering melihat umbul-umbul, foto, gambar, bendera partai yang menghiasi jalan-jalan seperti sekarang ini karena hajatan Pemilu hanya dilakukan dalam lima tahun  sekali. Sehingga kebersihan dan ketertiban kota/daerah tetap terjaga. Setelah selesai Pemlilu lima tahun sekali itu tidak ada lagi gegap gempita dan riuh rendah kampanye sedangkan posisi kepala daerah nantinya ditentukan dari pusat sebagai kepanjangan pemerintah pusat, tidak melalui Pemilu langsung. Oleh karena itu instruksi dari pusat berjalanb cukup efektif dalam satu komando perintah, sehingga bersifat sentralistik.
Tentu saja sifat sentralistik ini ada baik dan ada buruknya. Para analis, pengamat dan pemangku kepentingan politik sebaiknya mulai meninjau ulang kembali azas manfaat dan mudharat dari kedua sistem pemilu (Orba dan Reformasi) tersebut, karena kita melihat dan merasakan sendiri berbagai dampak negatif dari Pemilu langsung untuk pemilihan daerah dan banyaknya partai yang terlibat dalam Pemilu di negeri ini. Biaya sosial dan ekonomi yang ditimbulkan dari sistem banyak partai dan banyak Pemilu luar biasa, sehingga enersi, perhatian dan waktu tersita dengan urusan-urusan pesta demokrasi tersebut.
Dalam pasal 4 Pancasila disebutkan "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan" ternyata jika pada masa Orba kegiatan permusyawaratan dilakukan oleh MPR dalam memilik pemimpin (Presiden) nya. Sedangkan pada masa reformasi dipilih langsung oleh rakyat. Pancasaila yang dianggap sebagai adsar negara ditafsir berbeda oleh wakil rakyat dan MPR yang mengamandemen sistem pemilihan Presiden di Indonesia.
Sementara itu kata perwakilan pada saat Orba dimaknai sebagai perwakilan golongan, utusan dan tokoh-tokoh masyarakat sementara pada masa Reformasi diwakilkan oleh Dewan Perwakilan daerah (DPD) yang akalu dinegara Barat disebut sebagai senator. Inilah tafsir yang berbeda satu sama lain dalam proses rentang waktu satu dua dekade ini dalam percatiran politik di Tanah AIr. Kini kita yang merasakan dampak dari berubahnya sistem Pemilu yang dilakukan di negeri ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About