Dalam menyambut Pemilu 2014 ruang-ruang publik dibanyak tempat sudah
mulai dipenuhi spanduk, bendera, dan berbagai bentuk promosi para caleg.
Semenjak reformasi bergulir telah berulangkali kita menyelenggarakan
Pemilu mulai dari daerah tingkat
dua hingga pusat secara langsung. Oleh karena itu sejumlah gambar,
foto, lambang partai dan bermacam bentuk alat propaganda dalam Pemliu
menghiasi ruang-ruang publik kita secara tidak beraturan. Mekanisme
pengawasan seolah tidak sanggup mengjhadapi serbuan yang demikian gencar
dan bertubi-tubi pemasangan beragam alat kampanye tersebut.
Dengan
banyaknya bermunculan alat-alat kampanye itu di ruang-ruang publik
pemandangan kota, daerah dan desa menjadi tidak indah untuk dilihat
karena jalan-jalan, tiang-tiang listrik, rumah, toko, perkantoran bahkan
hingga pohon-pohon dimanfaatkan sebagai media promosi para caleg dan
calon pemimpin. Akhirnya, terkesan ruang publik kita menjadi semrawut,
jorok, dan acak-acakan sehingga penataan ruang publik ini amburadul
dikepung dan disesaki oleh ribuan bahkan mungkin jutaan alat kampanye
yang tersebar luas dimana-mana. Kebersihan, keindahan dan kerapihan
ruang publik terganggu hampir setiap saat karena sejak reformasi sangat
sering dilakukan Pemilu langsung, akibatnya ruang publik menjadi korban
pemasangan alat-alat kampanye tersebut.
Situasi ini berbeda pada
masa orde baru dimana Pemilu hanya diadakan lima tahu sekali yang
diikuti oleh 3 partai (PDI, PPP dan Golkar). Pihak penguasa yang
dipimpin Soeharto tidak menyebut Golkar sebagai Parpol tetapi
kenyataannya mereka bergerak sebagai Parpol juga sama dengan PDI dan
PPP. Baru setelah reformasi Golkar baru menyebut dirinya secara
terang-terangan sebagai partai sehingga menjadi partai Golkar.
Pada
masa orde baru PDI dan PPP merupakan fusi dari sejumlah partai yang
demikian banyak seperti partai-partai yang ada pada masa awal-awal
reformasi. Namun dengan tangan besinya Soeharto berhasil memfusikan
banyaknya partai tersebut bergabuing kedalan dua partai yakni Partai
Demikirasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sehingga kontestan peserta Pemilu pada era orde baru hanya diiikuti 3
partai yakni PDI, PPP dan (partai) Golkar. Saat itu tidak ada Pemilu
langsung untuk memilih kepala daerah karena para kepala daerah bukan
dipilih tetapi ditunjuk dari pusat (Presiden). Sedangkan Presiden
dipilih oleh MPR bukan diplih langsung oleh rakyat seperti sekarang ini.
Satu
hal yang jelas bahwa pada era orde baru itu kita tidak sering melihat
umbul-umbul, foto, gambar, bendera partai yang menghiasi jalan-jalan
seperti sekarang ini karena hajatan Pemilu hanya dilakukan dalam lima
tahun sekali. Sehingga kebersihan dan ketertiban kota/daerah tetap
terjaga. Setelah selesai Pemlilu lima tahun sekali itu tidak ada lagi
gegap gempita dan riuh rendah kampanye sedangkan posisi kepala daerah
nantinya ditentukan dari pusat sebagai kepanjangan pemerintah pusat,
tidak melalui Pemilu langsung. Oleh karena itu instruksi dari pusat
berjalanb cukup efektif dalam satu komando perintah, sehingga bersifat
sentralistik.
Tentu saja sifat sentralistik ini ada baik dan ada
buruknya. Para analis, pengamat dan pemangku kepentingan politik
sebaiknya mulai meninjau ulang kembali azas manfaat dan mudharat dari
kedua sistem pemilu (Orba dan Reformasi) tersebut, karena kita melihat
dan merasakan sendiri berbagai dampak negatif dari Pemilu langsung untuk
pemilihan daerah dan banyaknya partai yang terlibat dalam Pemilu di
negeri ini. Biaya sosial dan ekonomi yang ditimbulkan dari sistem banyak
partai dan banyak Pemilu luar biasa, sehingga enersi, perhatian dan
waktu tersita dengan urusan-urusan pesta demokrasi tersebut.
Dalam
pasal 4 Pancasila disebutkan "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan" ternyata jika pada
masa Orba kegiatan permusyawaratan dilakukan oleh MPR dalam memilik
pemimpin (Presiden) nya. Sedangkan pada masa reformasi dipilih langsung
oleh rakyat. Pancasaila yang dianggap sebagai adsar negara ditafsir
berbeda oleh wakil rakyat dan MPR yang mengamandemen sistem pemilihan
Presiden di Indonesia.
Sementara itu kata perwakilan pada saat
Orba dimaknai sebagai perwakilan golongan, utusan dan tokoh-tokoh
masyarakat sementara pada masa Reformasi diwakilkan oleh Dewan
Perwakilan daerah (DPD) yang akalu dinegara Barat disebut sebagai
senator. Inilah tafsir yang berbeda satu sama lain dalam proses rentang
waktu satu dua dekade ini dalam percatiran politik di Tanah AIr. Kini
kita yang merasakan dampak dari berubahnya sistem Pemilu yang dilakukan
di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar