REFKY FIELNADA

REFKY FIELNANDA

MAHASISWA EKONOMI ISLAM

Kamis, 22 Januari 2015

Prospek dan Tantangan Ekonomi dan Perbankan Syari’ah



Ekonomi Syari’ah sebetulnya bukan hal yang baru di Indonesia. Pajajaran, Tarumanegara yang Hindu pun tidak menerapkan ekonomi bunga berbunga dan menerapkan ekonomi bagi hasil, Sriwajaya yang Budha pun menerapkan ekonomi bagi hasil dan tidak menerapkan ekonomi bunga berbunga. Berbicara ekonomi syari’ah dari konteks esensi, ekonomi syari’ah merupakan ekonomi bangsa Indonesia.
Begitu pula dengan perbankan syari’ah, perbankan syari’ah di Indonesia pun sudah dicanangkan oleh Presiden Soeharto sejak 1991 dengan lahirnya UU Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang mulai memperkenalkan istilah bagi hasil, dan sejak ini pula sistem perbankan di Indonesia dikenal dengan istilah dual banking system. Kemudian pasca krisis ekonomi dan moneter tahun 1998 yang berimbas pada krisis perbankan, lalu lahirlah UU Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang secara tegas mengakui keberadaan bank berdasarkan prinsip syari’ah.
Selaku negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia menjadi kiblat ekonomi dan pengembangan keuangan syari’ah dunia yang ditopang dengan berbagai faktor, antara lain: 1) Prospek pertumbuhan ekonomi yang relatif cerah (kisaran 6,0% - 6,5%) yang ditopang dengan fundamental ekonomi yang solid, 2) Memiliki sumber daya alam yang melimpah  yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syari’ah, 3) Peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan, 3) Negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Berdasarkan laporan Bank Indonesia pada Agustus tahun 2013, saat ini industri perbankan syari’ah telah memiliki 11 unit Bank Umum Syari’ah (BUS), 35 unit Unit Usaha Syari’ah (UUS), dan 160 unit Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) dengan total jaringan kantor yang mencapai 2.872 kantor yang tersebar hampir di seluruh penjuru Nusantara. Bank Indonesia mencatat total aset pada akhir tahun 2011 nilai aset perbankan syari’ah mencapai U$ 16,37 milliar, outstanding sukuk U$ 4,41 milliar, asuransi syari’ah U$ 0, 97 milliar, rekasadana syari’ah U$ 0,61. Tentunya angka ini tidak datang serta merta, namun dengan usaha yang keras diantaranya: 1) Ekspansi jaringan kantor perbankan syariah, mengingat kedekatan kantor dan kemudahan akses menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan nasabah dalam membuka rekening di bank syariah, 2) Gencarnya program edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai produk dan layanan perbankan syariah semakin meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat, 3) Upaya peningkatan kualitas layanan (service excellent) perbankan syariah agar dapat disejajarkan dengan layanan perbankan konvensional. Salah satunya adalah pemanfaatan akses teknologi informasi, seperti layanan Anjungan Tunai Mandiri (ATM), mobile banking maupun internet banking. Untuk mendukung hal ini, secara khusus Bank Indonesia mendorong bank konvensional yang menjadi induk bank syariah agar mendorong pengembangan jaringan teknologi informasi bagi BUS dan UUS yang menjadi anak usahanya. 4) Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No. 21 tahun  2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan  (iii) UU No. 42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No. 8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Sementara penerbitan sukuk oleh pemerintah sebagai implementasi dari UU Sukuk menambah outlet penempatan dana perbankan syariah dalam rangka pengelolaan likuiditas. Sedangkan pemberlakukan UU No. 42 tahun 2009 merupakan ‘tax neutrality’  atas transaksi murabahah yang dilakukan oleh perbankan syariah dimana sebelumnya dikenakan pajak dua kali (double tax). Perlakuan pajak tersebut sangat merugikan perbankan syariah karena membuat pembiayaan dengan akad murabahah menjadi lebih mahal, sementara pembiayaan murabahah mempunyai porsi yang dominan dengan rata-rata 56,8% dalam lima tahun terakhir.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa industri keuangan syariah layak dikembangkan ?. Setidaknya saya mencatat ada beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, bank syariah lebih dekat dengan sektor riil karena produk yang ditawarkan, khususnya dalam pembiayaan, senantiasa menggunakan underlying transaksi di sektor riil sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar) sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari direct hit krisis keuangan global. Secara makro, perbankan syariah dapat memberikan daya dukung terhadap terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak, baik bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitur maupun pihak bank selaku pengelola dana.
Di tengah perkembangan industri perbankan syariah yang pesat tersebut, perlu disadari masih adanya beberapa tantangan yang harus diselesaikan agar perbankan syariah dapat meningkatkan kualitas pertumbuhannya dan mempertahankan akselerasinya secara berkesinambungan. Tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka pendek (immediate) antara lain: 1) Pemenuhan gap sumber daya insani (SDI), baik secara kuantitas maupun kualitas. Ekspansi perbankan syariah yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh penyediaan SDI secara memadai sehingga secara akumulasi diperkirakan menimbulkan gap mencapai 20.000 orang. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya lembaga pendidikan (khususnya perguruan tinggi) yang membuka program studi keuangan syariah. Selain itu, kurikulum pendidikan maupun materi pelatihan di bidang keuangan syariah juga belum terstandarisasi dengan baik untuk mempertahankan kualitas lulusannya. Untuk itu perlu dukungan kalangan akademis termasuk Kementrian Pendidikan untuk mendorong pembukaan program studi keuangan syariah. Industri perbankan syariah secara bersama-sama juga dapat melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis keahlian yang dibutuhkan sehingga dapat dilakukan ‘link and match’ dengan dunia pendidikan. 2) Inovasi pengembangan produk dan layanan perbankan syariah yang kompetitif dan berbasis kekhususan kebutuhan masyarakat. Kompetisi di industri perbankan sudah sangat ketat sehingga bank syariah tidak dapat lagi sekedar mengandalkan produk-produk standar untuk menarik nasabah. Pengembangan produk dan layanan perbankan syariah tidak boleh hanya sekedar ‘mengimitasi’ produk perbankan konvensional. Bank syariah harus berinovasi untuk menciptakan produk dan layanan yang mengedepankan uniqueness dari prinsip syariah dan kebutuhan nyata dari masyarakat. Namun disadari bahwa lifecycle dari suatu inovasi produk dan layanan perbankan syariah sangat pendek karena dengan mudah dan segera dapat ditiru oleh bank-bank lainnya sehingga mengurangi minat bank untuk berinovasi. Untuk itu, perlu dibentuk semacam working group yang beranggotakan praktisi perbankan syariah untuk memikirkan secara bersama-sama inovasi produk yang dapat dikembangkan. Mekanisme lain yang dapat diambil untuk mendorong inovasi produk dan layanan adalah memberikan patent selama beberapa tahun agar tidak ditiru oleh bank yang lain. 3) Kelangsungan program sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Kegiatan untuk menggugah ketertarikan dan minat masyarakat untuk memanfaatkan produk dan layanan perbankan syariah harus terus dilakukan. Namun disadari bahwa kegiatan ini merupakan cost center bagi bank syariah. Selama ini kegiatan sosialisasi dan edukasi perbankan syariah didukung oleh Bank Indonesia melalui program ‘iB Campaign’ baik melalui media masa (iklan layanan masyarakat), syariah expo, penyelenggaraan workshop/seminar, dsb. Peran Bank Indonesia dalam hal ini akan berkurang seiring dengan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan sektor perbankan (termasuk perbankan syariah) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk itu, industri perbankan syariah perlu meningkatkan ‘kemandirian’, baik dalam hal formulasi program maupun pembiayaannya sehingga program ‘iB Campaign’ dapat terus berlangsung secara berkelanjutan. Sementara tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka panjang antara lain: 1) Perlunya kerangka hukum yang mampu menyelesaikan permasalahan keuangan syariah secara komprehensif. Sistem keuangan syariah secara karakteristik berbeda dengan sistem keuangan konvensional, terdapat beberapa kekhususan yang tidak dapat dipersamakan sehingga penggunaan kerangka hukum konvensional menjadi kurang memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi syariah juga dapat menggunakan jalur pengadilan agama, namun tatanan peradilan agama untuk dapat menyelesaikan transaksi keuangan juga dinilai belum memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi keuangan syariah dengan menggunakan ‘hukum fiqh’ masih dapat menimbulkan perbedaan interpretasi karena perbedaan mazhab (lack of convergence of sharia interpretation). Untuk itu, perlu semacam kompilasi hukum ekonomi/keuangan islam yang disepakati bersama untuk dijadikan rujukan dan disahkan oleh negara. Upaya penyempurnaan kerangka hukum ini juga perlu dilakukan dalam skala global untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi dalam transaksi keuangan syariah antar negara. Penyempurnaan kerangka hukum akan memberikan suasana yang kondusif bagi pengembangan keuangan syariah, baik secara nasional maupun global. 2) Perlunya kodifikasi produk dan standar regulasi yang bersifat nasional dan global untuk menjembatani perbedaan dalam ‘fiqh muamalah’. Jika kita perhatikan secara jeli dalam pengembangan keuangan syariah di beberapa negara, kita dapat melihat adanya perbedaan yang nyata dalam pemahaman ‘fiqh muamalah’. Di satu sisi terdapat negara yang terlalu berhati-hati (konservatif), namun di sisi lain terdapat negara yang terlalu longgar (liberal) dalam aplikasi ‘fiqh muamalah’ tersebut sehingga peluang akan terjadinya perbedaan dan perselisihan sangat terbuka. Walaupun perbedaan pendapat diperbolehkan dan dianggap sebagai rahmat dalam pandangan Islam, namun perbedaan tersebut jika terkait dengan  transaksi keuangan akan menimbulkan risiko. Untuk itu, perlu penyelarasan produk secara nasional maupun global sangat diperlukan agar keuangan islam dapat tumbuh bersama di berbagai negara, tidak saling memproteksi karena perbedaan mazhab. Hadirnya lembaga internasional seperti, International Financial Services Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM), dan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), yang menghadirkan regulasi yang dapat diadopsi secara global perlu terus didukung dan dikembangkan agar tercipta ‘global regulation convergency’. 3) Perlunya referensi nilai imbal hasil (rate of return) bagi keuangan syariah. Nilai imbal hasil yang dibagikan (sharing) dalam sistem keuangan syariah, termasuk perbankan syariah, hendaknya merupakan hasil yang nyata dari aktivitas bisnis. Sayangnya, referensi nilai imbal hasil tersebut belum tersedia sehingga institusi keuangan syariah seringkali melakukan penyetaraan dengan suku bunga dalam sistem konvensional. Selain bersifat kurang adil, perilaku ini dapat menimbulkan risiko reputasi bagi sistem keuangan syariah karena tidak ada perbedaan yang hakiki dengan sistem konvensional. Bank Indonesia telah mulai melakukan kajian mengenai referensi nilai imbal hasil untuk sektor pertanian dan pertambangan, dan masih terus disempurnakan validitasnya. Untuk itu, perlu dukungan dan peran serta dari kalangan akademisi dan asosiasi para pakar seperti IAEI untuk melakukan  kajian lebih lanjut dan komprehensif mengenai hal ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About