Ekonomi
Syari’ah sebetulnya bukan hal yang baru di Indonesia. Pajajaran, Tarumanegara
yang Hindu pun tidak menerapkan ekonomi bunga berbunga dan menerapkan ekonomi
bagi hasil, Sriwajaya yang Budha pun menerapkan ekonomi bagi hasil dan tidak
menerapkan ekonomi bunga berbunga. Berbicara ekonomi syari’ah dari konteks
esensi, ekonomi syari’ah merupakan ekonomi bangsa Indonesia.
Begitu
pula dengan perbankan syari’ah, perbankan syari’ah di Indonesia pun sudah
dicanangkan oleh Presiden Soeharto sejak 1991 dengan lahirnya UU Nomor 7 tahun
1992 tentang perbankan yang mulai memperkenalkan istilah bagi hasil, dan sejak
ini pula sistem perbankan di Indonesia dikenal dengan istilah dual banking
system. Kemudian pasca krisis ekonomi dan moneter tahun 1998 yang berimbas
pada krisis perbankan, lalu lahirlah UU Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan
atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang secara tegas mengakui
keberadaan bank berdasarkan prinsip syari’ah.
Selaku
negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia
menjadi kiblat ekonomi dan pengembangan keuangan syari’ah dunia yang ditopang
dengan berbagai faktor, antara lain: 1) Prospek pertumbuhan ekonomi yang
relatif cerah (kisaran 6,0% - 6,5%) yang ditopang dengan fundamental ekonomi
yang solid, 2) Memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying
transaksi industri keuangan syari’ah, 3) Peningkatan sovereign
credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan
meningkatkan minat investor untuk berinvestasi
di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan, 3) Negara yang memiliki
jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Berdasarkan laporan Bank Indonesia pada Agustus tahun 2013, saat
ini industri perbankan syari’ah telah memiliki 11 unit Bank Umum Syari’ah
(BUS), 35 unit Unit Usaha Syari’ah (UUS), dan 160 unit Bank Pembiayaan Rakyat
Syari’ah (BPRS) dengan total jaringan kantor yang mencapai 2.872 kantor yang
tersebar hampir di seluruh penjuru Nusantara. Bank Indonesia mencatat total
aset pada akhir tahun 2011 nilai aset perbankan syari’ah mencapai U$ 16,37
milliar, outstanding sukuk U$ 4,41 milliar, asuransi syari’ah U$ 0, 97 milliar,
rekasadana syari’ah U$ 0,61. Tentunya angka ini tidak datang serta merta, namun
dengan usaha yang keras diantaranya: 1) Ekspansi jaringan kantor perbankan
syariah, mengingat kedekatan kantor dan kemudahan akses menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi pilihan nasabah dalam membuka rekening di bank
syariah, 2) Gencarnya program edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat
mengenai produk dan layanan perbankan syariah semakin meningkatkan kesadaran
dan minat masyarakat, 3) Upaya peningkatan kualitas layanan (service
excellent) perbankan syariah agar dapat disejajarkan dengan layanan
perbankan konvensional. Salah satunya adalah pemanfaatan akses teknologi
informasi, seperti layanan Anjungan Tunai Mandiri (ATM), mobile banking
maupun internet banking. Untuk mendukung hal ini, secara khusus Bank
Indonesia mendorong bank konvensional yang menjadi induk bank syariah agar
mendorong pengembangan jaringan teknologi informasi bagi BUS dan UUS yang
menjadi anak usahanya. 4) Pengesahan beberapa produk perundangan yang
memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah,
seperti: (i) UU No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.
42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No. 8 tahun 1983 tentang PPN Barang
dan Jasa. Sementara penerbitan sukuk oleh pemerintah sebagai implementasi dari
UU Sukuk menambah outlet penempatan dana perbankan syariah dalam rangka
pengelolaan likuiditas. Sedangkan pemberlakukan UU No. 42 tahun 2009 merupakan ‘tax
neutrality’ atas transaksi murabahah
yang dilakukan oleh perbankan syariah dimana sebelumnya dikenakan pajak dua
kali (double tax). Perlakuan pajak tersebut sangat merugikan perbankan
syariah karena membuat pembiayaan dengan akad murabahah menjadi lebih
mahal, sementara pembiayaan murabahah mempunyai porsi yang dominan
dengan rata-rata 56,8% dalam lima tahun terakhir.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa industri keuangan syariah layak
dikembangkan ?. Setidaknya saya mencatat ada beberapa alasan sebagai berikut: Pertama,
bank syariah lebih dekat dengan sektor riil karena produk yang ditawarkan,
khususnya dalam pembiayaan, senantiasa menggunakan underlying transaksi
di sektor riil sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar)
sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari direct
hit krisis keuangan global. Secara makro, perbankan syariah dapat
memberikan daya dukung terhadap terciptanya stabilitas sistem keuangan dan
perekonomian nasional. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss
sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah akan membawa manfaat
yang lebih adil bagi semua pihak, baik bagi pemilik dana selaku deposan,
pengusaha selaku debitur maupun pihak bank selaku pengelola dana.
Di tengah perkembangan industri perbankan syariah yang pesat
tersebut, perlu disadari masih adanya beberapa tantangan yang harus
diselesaikan agar perbankan syariah dapat meningkatkan kualitas pertumbuhannya
dan mempertahankan akselerasinya secara berkesinambungan. Tantangan yang harus
diselesaikan dalam jangka pendek (immediate) antara lain: 1) Pemenuhan gap
sumber daya insani (SDI), baik secara kuantitas maupun kualitas. Ekspansi
perbankan syariah yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh penyediaan SDI secara
memadai sehingga secara akumulasi diperkirakan menimbulkan gap mencapai
20.000 orang. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya lembaga pendidikan
(khususnya perguruan tinggi) yang membuka program studi keuangan syariah.
Selain itu, kurikulum pendidikan maupun materi pelatihan di bidang keuangan
syariah juga belum terstandarisasi dengan baik untuk mempertahankan kualitas
lulusannya. Untuk itu perlu dukungan kalangan akademis termasuk Kementrian
Pendidikan untuk mendorong pembukaan program studi keuangan syariah. Industri
perbankan syariah secara bersama-sama juga dapat melakukan penelitian untuk
mengidentifikasi jenis keahlian yang dibutuhkan sehingga dapat dilakukan ‘link
and match’ dengan dunia pendidikan. 2) Inovasi pengembangan produk
dan layanan perbankan syariah yang kompetitif dan berbasis kekhususan kebutuhan
masyarakat. Kompetisi di industri perbankan sudah sangat ketat sehingga bank
syariah tidak dapat lagi sekedar mengandalkan produk-produk standar untuk
menarik nasabah. Pengembangan produk dan layanan perbankan syariah tidak boleh
hanya sekedar ‘mengimitasi’ produk perbankan konvensional. Bank syariah
harus berinovasi untuk menciptakan produk dan layanan yang mengedepankan uniqueness
dari prinsip syariah dan kebutuhan nyata dari masyarakat. Namun disadari bahwa lifecycle
dari suatu inovasi produk dan layanan perbankan syariah sangat pendek karena
dengan mudah dan segera dapat ditiru oleh bank-bank lainnya sehingga mengurangi
minat bank untuk berinovasi. Untuk itu, perlu dibentuk semacam working group
yang beranggotakan praktisi perbankan syariah untuk memikirkan secara
bersama-sama inovasi produk yang dapat dikembangkan. Mekanisme lain yang dapat
diambil untuk mendorong inovasi produk dan layanan adalah memberikan patent
selama beberapa tahun agar tidak ditiru oleh bank yang lain. 3) Kelangsungan
program sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Kegiatan untuk menggugah
ketertarikan dan minat masyarakat untuk memanfaatkan produk dan layanan
perbankan syariah harus terus dilakukan. Namun disadari bahwa kegiatan ini
merupakan cost center bagi bank syariah. Selama ini kegiatan sosialisasi
dan edukasi perbankan syariah didukung oleh Bank Indonesia melalui program ‘iB
Campaign’ baik melalui media masa (iklan layanan masyarakat), syariah expo,
penyelenggaraan workshop/seminar, dsb. Peran Bank Indonesia dalam hal ini akan
berkurang seiring dengan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan sektor
perbankan (termasuk perbankan syariah) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Untuk itu, industri perbankan syariah perlu meningkatkan ‘kemandirian’, baik
dalam hal formulasi program maupun pembiayaannya sehingga program ‘iB Campaign’
dapat terus berlangsung secara berkelanjutan. Sementara tantangan yang harus
diselesaikan dalam jangka panjang antara lain: 1) Perlunya kerangka hukum yang
mampu menyelesaikan permasalahan keuangan syariah secara komprehensif. Sistem
keuangan syariah secara karakteristik berbeda dengan sistem keuangan
konvensional, terdapat beberapa kekhususan yang tidak dapat dipersamakan
sehingga penggunaan kerangka hukum konvensional menjadi kurang memadai.
Penyelesaian perselisihan transaksi syariah juga dapat menggunakan jalur
pengadilan agama, namun tatanan peradilan agama untuk dapat menyelesaikan
transaksi keuangan juga dinilai belum memadai. Penyelesaian perselisihan
transaksi keuangan syariah dengan menggunakan ‘hukum fiqh’ masih dapat
menimbulkan perbedaan interpretasi karena perbedaan mazhab (lack of
convergence of sharia interpretation). Untuk itu, perlu semacam kompilasi
hukum ekonomi/keuangan islam yang disepakati bersama untuk dijadikan rujukan
dan disahkan oleh negara. Upaya penyempurnaan kerangka hukum ini juga perlu
dilakukan dalam skala global untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin
terjadi dalam transaksi keuangan syariah antar negara. Penyempurnaan kerangka
hukum akan memberikan suasana yang kondusif bagi pengembangan keuangan syariah,
baik secara nasional maupun global. 2) Perlunya kodifikasi produk dan standar
regulasi yang bersifat nasional dan global untuk menjembatani perbedaan dalam ‘fiqh
muamalah’. Jika kita perhatikan secara jeli dalam pengembangan keuangan
syariah di beberapa negara, kita dapat melihat adanya perbedaan yang nyata
dalam pemahaman ‘fiqh muamalah’. Di satu sisi terdapat negara yang
terlalu berhati-hati (konservatif), namun di sisi lain terdapat negara yang
terlalu longgar (liberal) dalam aplikasi ‘fiqh muamalah’ tersebut
sehingga peluang akan terjadinya perbedaan dan perselisihan sangat terbuka.
Walaupun perbedaan pendapat diperbolehkan dan dianggap sebagai rahmat dalam
pandangan Islam, namun perbedaan tersebut jika terkait dengan transaksi keuangan akan menimbulkan risiko. Untuk
itu, perlu penyelarasan produk secara nasional maupun global sangat diperlukan
agar keuangan islam dapat tumbuh bersama di berbagai negara, tidak saling memproteksi
karena perbedaan mazhab. Hadirnya lembaga internasional seperti, International
Financial Services Board (IFSB), International Islamic Financial Market
(IIFM), dan Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions (AAOIFI), yang menghadirkan regulasi yang dapat
diadopsi secara global perlu terus didukung dan dikembangkan agar tercipta ‘global
regulation convergency’. 3) Perlunya referensi nilai imbal hasil (rate
of return) bagi keuangan syariah. Nilai imbal hasil yang dibagikan (sharing)
dalam sistem keuangan syariah, termasuk perbankan syariah, hendaknya merupakan
hasil yang nyata dari aktivitas bisnis. Sayangnya, referensi nilai imbal hasil
tersebut belum tersedia sehingga institusi keuangan syariah seringkali
melakukan penyetaraan dengan suku bunga dalam sistem konvensional. Selain
bersifat kurang adil, perilaku ini dapat menimbulkan risiko reputasi bagi
sistem keuangan syariah karena tidak ada perbedaan yang hakiki dengan sistem
konvensional. Bank Indonesia telah mulai melakukan kajian mengenai referensi
nilai imbal hasil untuk sektor pertanian dan pertambangan, dan masih terus
disempurnakan validitasnya. Untuk itu, perlu dukungan dan peran serta dari
kalangan akademisi dan asosiasi para pakar seperti IAEI untuk melakukan kajian lebih lanjut dan komprehensif mengenai
hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar