REFKY FIELNADA

REFKY FIELNANDA

MAHASISWA EKONOMI ISLAM

Selasa, 21 Februari 2017

Ijarah Sebagai Model Pembiayaan Dalam Islam



Pendahuluan
Salah satu unsur yang terpenting dalam perkembangan suatu lembaga keuangan adalah bagai mana cara mendapatkan keuntungan yang optimal. Dengan berkembangnya bank syari’ah, dalam setiap kegiatan yang di lakukan tujuan utamanya yaitu ingin mendapatkan keuntungan, karena hal ini dilakukan dalam upaya meningkatkan pendapatan bagi bank syari’ah. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh bank syari’ah untuk memperoleh pendapatan yaitu melalui  kegiatan mengalokas kan dananya baik dalam bentuk memberikan pembiayaan kepada nasabah atau penggunaaan dalam menambah aset bank syari’ah.
Sampai saat ini, mayoritas produk pembiayaan syariah masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli). Pembiayaan murabahah sebenarnya memiliki persamaan dengan pembiayaan ijarah, keduanya termasuk dalam kategori  natural certainty contracts dan pada dasar nya adalah kontrak jual  beli. Perbedaan keduanya hanyalah objek transaksi yang diperjualbelikan tersebut, dalam pembiayaan murabahah, yang menjadi objek transaksi adalah barang, misalnya rumah, mobil dan sebagainya. Sedangkan dalam pembiayaan ijarah, objek transaksi nya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Jika dengan pembiayaan murabahah, bank syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat di layani. Dengan skim ijarah, bank syariah dapat melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.
Pembiayaan ijarah sebenarnya dapat dikatakan lebih menarik dibandingkan jenis pembiayaan lainnya seperti mudharabah dan musyarakah, karena pembiayaan ijarah mempunyai keistimewaan bahwa untuk memulai kegiatan usaha, pengusaha tidak perlu memiliki barang modal terlebih dahulu, melainkan dapat melakukan penyewaan kepada bank syari’ah.
Kefleksibelan pembiayaan ijarah pada bank syari’ahbsebenarnya sangat memberi kemudahan bagi para nasabah. Nasabah yang memerlukan suatu barang atau jasa untuk memenuhi  kebutuhannya baik kebutuhan konsumtif atau bisnis, disini nasabah terdapat dua pilihan dalam akad ijarah, yakni nasabahbdapat  menggunakan jasa atau manfaat dari  barang dan jasa tertentu tanpat harus memiliki barang tersebut secara permanen. Kedua adalah nasabah dapat memiliki kesempatan untuk memikili barang atau jasa yang diinginkan atau dikenal  dengan istilah ijarah muntahi ya bittamlik (IMBT).
Jika kita lihat lebih jauh lagi bahwa konsep ijarah ini tidak hanya berada pada sektor perbankan saja tetapi merambah pada instrumen-instumen yang lain seperti  sukuk ijarah pada pasar modal, bahkan sukuk ijarah merupakan sukuk yang paling diminati pada saat ini karena sukuk ijarah memiliki struktur yang lebih simpel dibanding sukuk mudharabah. Terkait pentingnya pembiayaan dengan menggunakan akad ijarah dalam bisnis perbankan dan pasar  modal, maka perlu sekiranya untuk mengetahui  tentang mekanisme terkait hal  tersebut. Mekanisme tersebut harus sesuai dengan prinsip kehati-hatian, guna untuk meningkatkan keefesienan kinerja perbankan dan pasar modal. Pembahasan makalah ini  dikhususkan kepada konsep ijarah sehingga nantinya diharapkan dapat menjadi informasi baru dalam memahami  konsep ijarah.

Konsep Aplikasi Produk Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bittamlik
Model Transaksi Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui  pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri  (Antonio, 2001: hal. 117). Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang maka disebut sewa-menyewa. Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah. Sedangkan akad ju’alah adalah akad ijarah yang pembayarannya didasarkan atas kinerja objek yang disewa. Pada ijarah, tidak terjadi  perpindahan kepemilikan obyek ijarah. Obyek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan (Veithzal, 2008: hal. 53).
Tansaksi  ijarah dilandasi adanya pemindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jualbeli, namun perbedaannya terletak pada obyek transasksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah obyek transaksinya adalahjasa. Mekanisme operasional  ijarah dapat digambarkan sebagai berikut (Muhammad, 2011: hal. 99):


 



Oval: Bank

                                                                                (3) sewa beli
  (2) beli objek Sewa                                                                     (1) pesan objeksewa
Penjelasan
1.    Transaksi ijarah ditandai dengan adanya pemindahan manfaat.  Jadi dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun perbedaan terletak pada objek transaksinya adalah barang maka, pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
2.    Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah.  Karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan al-ijarah muntahiyah bit-tamlik ( sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
3.    Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian antara bank dengan nasabah.

Model Transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik
Praktisi Keuangan menuliskan bahwa yang dimaksud dengan Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrakjual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan penyewa. Sifat kepemilikan ini ah yang membedakannya dengan ijarah biasa. IMBT memiliki banyak bentuk, tergantung apa yang di sepakati  kedua belah pihak yang berkontrak (Antonio, 2001: hal. 118). Misalnya al-ijarah dan janji menjual, nilai sewa yang mereka tentukan, harga barang dalam transaksi jual  dan kapan kepemilikan dipindahkan: Dalam ijarah muntah ya bittamlik, pemindahan hak milik barang terjadi  dengan salah satu dari dua cara berikut ini:
a.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
b.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.

Pilihan untuk menjual barang diakhir masa sewa (alternatif 1) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relative kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Karena itu, untuk mengurangi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memili ki  barang tersebut, ia harus membeli barang itu diakhir periode.
Pilihan untuk menghibahkan barang diakhir periode masa sewa (alternative 2) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa diakhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutupi harga barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut diakhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.
Pada IMBT dengan sumber pembiayaan dari Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan secara bulanan. Hal ini disebabkan karena pihak bank harus mempunyai cash in setiap bulan untuk memberikan bagi  hasil kepada nasabah yang dilakukan secara bulanan juga. Jadi  pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai  transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri.
Sering sekali barang yang disewakan kepada nasabah akanmerepotkan bank dalam hal pemeliharaannya. Oleh karena itu, bank dapat memberikan opsi kepada nasabah untuk menjadi pemilik atas barang setelah masa sewa telah berakhir (Gemala Dewi, 2006: hal. 159). Pada akhir masa sewa, bank syariah dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Mekanisme operasional ijarah muntahiya bittamlik dapat digambarkan sebagai berikut (Karim, 2004: hal. 147):



 






Oval: Bank

                                                                                (3) sewa beli
  (2) beli objek Sewa                                                                     (1) pesan objeksewa


Prospek, Kendala, dan Strategi Penyaluran Dana Ijarah dan IMBT
Berdasarkan data yang dikeluarkan Bank Indonesia menunjukkan bahwa produk pembiayaan yang disalurkan oleh bank syari’ah masih tinggi peminatnya dikalangan masyarakat, ini terbukti dari tujuh tahun terakhir jumlah angka pembiayaan terus meningkat. Produk pembiayaan yang sangat diminati adalah murabahah yakni  mencapai  seki tar  56,365 miliyar pada 2011, dan yang kedua adalah produk pembiayaan musyarakah yakni mencapai sekitar 18,960 miliyar  pada 2011. Sedangkan pembiayaan ijarah masih menempati posisi di bawah mudharabah dan qard, yakni sebesar 3,839 miliyar dan berada peringkat ketiga dari  bawah setelah produk salam dan istishna (Indonesia, Juni 2012: hal. 18).
Kendala yang dialami  sebagian kalangan bank syariah yakni rumitnya mekanisme IMBT, oleh karena itu, kebanyakan dari bank syariah lebih memilih menggunakan akad murabahah. Walaupun kebanyakan bank syariah tidak memilih menjadikan akad ini sebagai yang utama, tetap saja ada bank yang menggunakan akad ini, contohnya Bank Muamalat Indonesia.
Prospek bagi bank yang menggunakan akad IMBT seperti Bank Muamalat Indonesia, bisa dikarenakan bank tersebut melihat keunggulan dari IMBT yang dapat merubah biaya sewa, sedang dalam murabahah yang mudah prosesnya, akan tetapi  tidak dapat berubah harga jualnya di  tengah terjadinya fluktuasi harga. Nasabah ingin memiliki rumah, misalnya. Nasabah membayar cicilan bulanan, besarnya dapat berubah dari waktu kewaktu sesuai kesepakatan. Pembayaran cicilan dari  nasabah ini , sebagian diakui sebagai pendapatan dan sebagian lagi  diakumulasi untuk pada akhirnya digunakan sebagai pelunasan kewajiban nasabah.
Risiko produk ini sebenarnya mirip dengan risiko financial leasing di sistem keuangan konvensional, mirip dengan risiko kredit jangka panjang dengan cicilan pokok pada bank konvensional. Namun sebagai produk syariah dengan paradigma syariah, tentu cara pencatatan produk ini  berbeda dengan yang konvensional .
Cicilan pokok nasabah untuk pelunasan dicatat sebagai biaya penyusutan yang akumulasinya diakhir periode untuk pelunasan. Sifat risiko berubah ketika “biaya penyusutan pembi ayaan IMBT” ini dianggap sama dengan “biaya penyusutan aktiva tetap”. Implikasi pajaknya sangat berbeda karena “biaya penyusutan pembiayaan IMBT” tidak dapat dianggap biaya dalam kacamata pajak sebagai mana “biaya penyusutan akti va tetap”. Substansinya adalah akumulasi cicilan nasabah untuk melunasi kewajibannya (Karim, Manajemen Risiko Bank Syariah).
Selain masalah tingkat kerumitan dalam yang dialami oleh kalangan perbankan, masalah yang sering muncul  dalam IMBT ini adalah Mengenai aturan loan to value (LTV) pada skema bagi hasil, pembiayaan bersama dan sewa dalam syariah. Para praktisi mengamati Ada dua akad yang menjadi kendala dalam penerapan kebijakan uang muka kredit, pertama akad musyarakah mutanaqishah. Kedua, akad ijarah muntahiya bittamlik.
Musyarakah mutanaqishah merupakan turunan akad musyarakah. Definisinya, perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu aset. Kerjasama ini mengurangi  hak kepemilikan salah satu pihak, serta menambah kepemilikan pihak lain. Bentuk kerjasama ini  berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain. Dalam konteks pembiayaan rumah, bank syariah dan nasabah akan bekerjasama dalam pengadaan rumah, lalu terjadi pengambilalihan porsi kepemilikan bank oleh nasabah dengan mengangsur.
Sedangkan dalam skim ijarah muntahiya bittamlik, bank akan meminjamkan dana ke nasabah untuk membeli rumah, lalu rumah menjadi milik bank. Nasabah baru memiliki rumah itu jika masa ijarahnya selesai dan memenuhi seluruh kewajiban. Pengambilalihan bisa berdasarkan akad jual beli atau hibah.
Pada skim murabahah LTV sudah pasti dikenakan, karena skema ini mewajibkan peran serta nasabah. Sebagian kalangan berpendapat kedua skim ini  perlu dikenakan LTV sebagai bentuk penegasan pembagian risiko antara bank dan nasabah. Bila tak dibagi, risiko terbesar ada di bank karena sebagian besar  pendanaan berada di bank, dengan adanya aturan ini bertujuan untuk memagari  bank syariah agar tidak terkena risiko pembiayaan bermasalah (NPF) tinggi. Saat  ini  rata-rata bank syariah menerapkan LTV sekitar 15%-20% (Franedya).
Strategi yang bisa diharapkan bank syariah ialah bank syariah agar tetap memperhatikan dan mempertimbangkan pengajuan pembiayaan nasabah dengan seksama agar nasabah yang menerima pembiayaan benar benar tepat.

Ijarah Pada Instrument Sukuk
Sukuk berasal dari bahasa Arab “sakk” (tunggal) dan jamaknya “sukuk atau sakaik” yang memiliki arti “memukul atau membentur ”, dan bisa juga bermakna “percetakan atau menempa” sehingga kalau di katakan “sakkan nukud” bermakna “percetakan atau penempahan uang”. Istilah sakk bermula dari tindakan membubuhkan cap tangan oleh seseorang atas suatu dokumen yang mewakili suatu kontrak pembentukan hak, obligasi, dan uang. Dalam konsep modern disebutkan sebagai pengamanan pembiayaan yang memberikan hak atas kekayaan dan tanggungan serta bentuk-bentuk hak milik lainnya (Wahid, 2010: hal. 92).
Sukuk ijarah (obligasi ijarah) adalah obligasi syari’ah yang menggunakan akad ijarah. Ijarah adalah perikatan sewa menyewa yang memberikan hak kepada muaajir (yang menyewakan) menerima upah dari mustajir (penyewa) atas manfaat yang diperolehnya. Artinya pihak yang menyewakan memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan obyek yang disewakankan, namun dengan kewajiban penyewa harus memberikan imbalan sesuai dengan hasil  kesepakatan (Gemala Dewi d.: hal. 158).
Dalam akad ijarah, pada prinsipnya terjadi pemindahan manfaat yang bersifat sementara, namun tidak disertai adanya pemindahan kepemilikan. Berdasarkan fatwa No.41/DSN-MUI/III/2004, ketentuan obligasi syari’ah ijarah sebagai  berikut:
a)    Akad yang digunakan dalam obligasi syari’ah ijarah adalah ijarah dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI No.9/DSN-MUI/IV/ 2000 tentang pembiayaan ijarah, terutama mengenai  rukun dan syarat akad.
b)   Sesuai yang menjadi obyek ijarah harus berupa manfaat yang diperbolehkan.
c)    Jenis usaha yang dilakukan emiten tidak boleh bertentangan dengan syari’ah dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI No.20/DSNMUI/IX/2000 tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk reksadana syari’ah dan No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang pasar modal dan pedoman umum penerapan prinsip syari’ah dibidang pasar modal .
d)   Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI baik asset yang telah ada maupun asset yang akan diadakan untuk disewakan.
e)    Pemegang OSI sebagai pemilik asset (a’yan) atau manfaat (manafi’) dalam menyewakan (ijarah) asset atau manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain dilakukan melalui emiten sebagai wakil .
f)    Emiten yang bertindak sebagai wakil dari pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.
g)   Dalam hal emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan (iwadh ma’lum) sebagai mana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
h)   Pengawasan aspek syari’ah dilakukan oleh DSN atau tim ahli syari’ah yang ditunjuk oleh DSN-MUI, sejak proses emisi  obligasi syari’ah ijar ah dimulai .
i)     Kepemilikan obligasi syari’ah ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.

Secara teknis, obligasi syari’ah ijarah dapat dilakukan dengan dua cara:
a)    Emiten dapat bertindak sebagai wakil investor yang berkedudukan sebagai penyewa (musta’jir), sedangkan property owner (pemilik properti) sebagai pihak yang menyewakan (mu’ji r).
b)   Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali obyek sewa kepada emiten.

Penerbitan sukuk diterbitkan dengan suatu underlying asset (jaminan aset) dengan prinsip syari’ah yang jelas. Penerbitan sukuk memerlukan sejumlah aset tertentu yang akan menjadi  obyek perjanjian (underlying asset). Aset yang menjadi obyek perjanjian harus memiliki nilai  ekonomis, dapat berupa aset berwujud atau tidak berwujud, termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun. Fungsi underlying asset tersebut adalah untuk menghindari riba dan sebagai prasyarat untuk dapat diperdagangkan di pasar sekunder serta untuk menentukan jenis struktur sukuk.
Berkaitan dengan emiten yang menerbitkan sukuk, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah core busi ness yang halal, memiliki investment grade yang baik dilihat dari fundamental usaha dan keuangan yang kuat serta citra yang baik bagi publik (Hayes, 1998: hal. 85).



KESIMPULAN

Implementasi akad ijarah (sewa-menyewa) dalam lembaga perbankan syari’ah yang terbagi  menjadi ijarah murni dan ijarah muntahiya bittamlik (IMBT). Dalam kenyataannya akad ijarah ini jarang digunakan oleh bank syari’ah, padahal dalam rangka diversifikasi produk penyaluran dana dari bank syari’ah kepada nasabah, akad ini  perlu untuk diterapkan. Pada prinsipnya akad ini banyak memberikan keuntungan baik pada bank syari’ah ataupun nasabah. Keuntungan yang diperoleh nasabah ialah dalam meningkatkan investasi, nasabah membutuhkan barang modal dengan nilai ekonomis yang besar, maka akan lebih mudah menggunakan sistem i jarah atau ijarah muntahiya bittamlik. Sedangkan bagi bank syari’ah, sistem ini mempercepat perputaran uang dan memajukan sistem investasi  yang dinamis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About