REFKY FIELNADA

REFKY FIELNANDA

MAHASISWA EKONOMI ISLAM

Selasa, 21 Februari 2017

Murabahah Sebagai Model Pembiayaan Dalam Islam



BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan ekonomi syariah yang kini sudah memasuki tahap implementasi dari seluruh pemikiran dan gagasan-gagasan peneliti mengenai ekonomi syariah mulai memasuki babak baru dalam kehidupan. Jenis-jenis transaksi yang dianggap asing oleh masyarakat perlahan mulai dikenal dan diaplikasikan oleh masyarakat. Sebagian transaksi tersebut bahkan sudah dipraktekkan oleh masyarakat secara turun-temurun sehingga hanya diubah sedikit menyesuaikan dengan prinsip Islam agar mampu meraih simpati masyarakat dan melakukan edukasi secara bertahap sehingga terjadi evolusi dalam kegiatan ekonomi. Namun ketika implementasi tersebut terlalu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan tidak mengindahkan kaidah-kaidah Islam, hal ini akan menjadi malapetaka tersendiri bagi kehidupan masyarakat kedepannya. Selain menghilangnya ridha Allah SWT dalam kehidupan, hal ini juga berdampak pada hilangnya kepercayaan umat terhadap transaksi Islam itu sendiri karena tidak memiliki batasan yang jelas atau bahkan menciptakan paradigma yang sama dengan transaksi konvensional. Memang pada beberapa sisi terdapat persamaan-persamaan dengan transaksi konvensional, hal ini sebagai salah satu bentuk yang mencirikan bahwa Islam adalah agama pertengahan, namun terdapat pula unsur-unsur yang tidak sesuai dengan kaidah Islam. Hal inilah yang perlu didalami dan dijelaskan kepada umat agar tidak terjadi kebingungan sehingga dalam menjalankan kegiatan ekonomi akan benar – benar dilandasi oleh kaidah Islam yang menyeluruh.








BAB II
PEMBAHASAN

A.      Defenisi Murabahah
Salah satu konsep fiqh muamalah yang banyak dipraktekkan oleh perbankan syariah adalah akad jual beli murabahah. Akad ini banyak diminati oleh perbankan syariah dikarenakan faktor keamanan dan minimnya resiko bagi bank syariah dibanding akad mudharabah dan musyarakah. Murabahah merupakan akad jual beli dengan ketentuan yang lebih spesifik dibandingkan dengan jual beli pada umumnya. Ada beberapa karakteristik tertentu yang membedakan antara jual beli pada umumnya dengan akad murabahah (Afandi, 2009: 85).
Ulama  Hanafiyah mengatakan, murabaha adalah memindahkannya hak milik seseorang kepada orang lain sesuai dengan transaksi dan harga awal yang dilakukan ditambah dengan keuntungan yang diinginkan (Al-Mirghinani, 1957: 282). Ulama  Hanabilah dan Syafi’iyyah berpendapat, murabahah adalah jual beli yang dilakukan seseorang dengan mendasarkan pada harga beli penjual ditambah keuntungan dengan syarat harus sepengetahuan kedua belah pihak (Ibn Qudama, 1958, 4: 179/Al-Hilli, 1389 H: 559).
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syariah Murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara bank syariah dengan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan (Rivai, dkk, 2012: 319).
Beberapa defenisi diatas secara substansial memberikan pengertian yang sama meskipun diungkapkan dalam redaksi yang berbeda-beda. Hal yang paling pokok murabahah adalah jenis jual beli. Sebagaimana jual beli pada umumnya akad ini meniscayakan adanya barang yang dijual. Disamping itu murabahah jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu. Yaitu adanya keharusan penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada pembeli ditambah dengan keuntungan yang dinginkan penjual sesuai dengan kesepakatan. Hal inilah yang membedakan murabahah dengan jual beli pada umumnya, termasuk hal ini juga yang membedakan antara murabahah dan musawamah dimana musawamah merupakan kontrak antara calon penjual dan calon pembeli kedua pihak saling menawarkan harga dan penjualan kemudian terselesaikan serta barangnya diserahkan sementara pembayarannya ditunda, artinya tak ada kewajiban atas penjual untuk menjelaskan biaya dalam memperoleh barang dan memberikan informasi kepada pembeli (Kettel, 2008: 57).

B.       Dasar Hukum Dan Ketentuan Lain Seputar Murabahah
Para ulama telah sepakat (ijmâ) akan kebolehan akad murabahah, tetapi Alquran tidak pernah secara langsung dan tersurat membicarakan tentang murabahah, walaupun di dalamnya ada sejumlah acuan tentang jual beli dan perdagangan. Demikian juga tampaknya tidak ada satu hadis pun yang secara spesifik membicarakan mengenai murabahah. Oleh karena itu, meskipun Imam Malik dan Imam Syafii membolehkan jual beli murabahah, tetapi keduanya tidak mempekuat pendapatnya dengan satu hadis pun (Saeed, 1996: 110). Sedangkan dasar hukum yang dijadikan sandaran kebolehan jual beli murabahah di buku-buku fikih muamalat kotemporer lebih bersifat umum karena menyangkut jual beli atau perdagangan pada umumnya (Tim AAOIFI, 2003: 27). Namun demikian, menurut al-Kasani jual beli murabahah telah diwariskan dari generasi ke generasi sepanjang masa dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Di samping itu, keberadaan model jual beli murabahah sangat dibutuhkan masyarakat karena ada sebagian mereka ketika akan membeli barang tidak mengetahui kualitasnya maka ia membutuhkan pertolongan kepada yang mengetahuinya, kemudian pihak yang dimintai pertolongan tersebut membelikan barang yang dikehendaki dan menjualnya dengan keharusan menyebutkan harga perolehan (harga beli) barang dengan ditambah keuntungan (ribh) (Afanah, 1992: 2).
Di antara ulama yang mengakui keabsahan/kebolehan  murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ adalah Sâmî Hamûd, Yusuf Qardhawi, Ali Ahmad Salus, Shadiq Muhammad Amin, Ibrahim Fadhil, dan lainnya. Adapun argumentasi merekaadalah sebagai berikut: Pertama, Hukum asal dalam muamalah adalah diperbolehkan dan mubah kecuali terdapat nash shahih dan sharih yang melarang dan mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah mahdhah, hukum asalnya adalah haram kecuali ada nash yang memerintahkan untuk melakukannya. Oleh karena itu dalam muamalah tidak perlu mempertanyakan dalil yang mengakui keabsahan dan kehalalan, yang perlu diperhatikan adalah dalil yang melarang dan mengharamkannya. Sepanjang tidak terdapat dalil yang melarangnya, maka transaksi muamalah sah dan halal hukumnya (Qardhawi, 1995: 13). Kedua, keumuman nash Alquran dan hadis yang menunjukan kehalalan segala  bentuk jual beli, kecuali terdapat dalil khusus yang melarangnya. Yusuf Qardhawi mengatakan, dalam surat al-Baqarah; 275 Allah menghalalkan segala bentuk jual beli secara umum, baik jual beli muqâydhah (barter), sharf (jual beli mata uang/valas), jual beli salam ataupun jual beli mutlak serta bentuk jual beli lainnya. Semua jenis jual beli ini halal, karena ia masuk dalam kategori jual beli yang dihalalkan Allah, dan tidak ada jual beli yang haram kecuali terdapat nash dari Allah dan Rasulnya yang mengharamkannya. Ketiga, terdapat nash ulama fikih yang mengakui keabsahan akad ini, di  antaranya pernyataan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm: “dan ketika seseorang memperlihatkan sebuah barang tertentu kepada orang lain, dan berkata: “belikanlah aku barang ini, dan engkau akan aku beri margin sekian”, kemudian orang tersebut mau untuk membelikannya, maka jual beli tersebut diperbolehkan” (Syafii, 1993: 33). Namun demikian, orang yang meminta untuk dibelikan tersebut memiliki hak khiyar, jika barang tersebut sesuai dengan kriterianya, maka bisa dilanjutkan dengan akad jual beli dan akadnya sah, sebaliknya, jika tidak sesuai, maka ia berhak untuk membatalkannya” Berdasarkan pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi’i memperbolehkan transaksi Murâbahah li al-Âmir bi al-Syirâ, dengan syarat pembeli atau nasabah memiliki hak khiyar, yakni hak untuk meneruskan atau membatalkan akad. Selain itu, penjual juga memiliki hak khiyar, dengan demikian tidak terdapat janji yang mengikat kedua belah pihak. Keempat, transaksi muamalah dibangun atas asas maslahat. Hukum Islam tidak melarang bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya, seperti riba, penimbunan (ihtikâr), penipuan dan lainnya, atau diindikasikan transaksi tersebut dapat menimbulkan perselisihan atau permusuhan di antara manusia, seperti adanya gharar atau bersifat spekulasi. Permasalahan pokok dalam muamalah adalah unsur kemaslahatan. Jika terdapat maslahah, maka sangat dimungkinkan transaksi tersebut diperbolehkan. Seperti halnya diperbolehkannya akad istishna, padahal ia merupakan jual beli/bai al-ma’dûm (obyek tidak ada saat akad), karena adanya kebutuhan dan maslahah yang akan didapatkan, tidak menimbulkan perselisihan dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Kelima, pendapat yang memperbolehkan bentuk murabahah ini dimaksudkan  untuk memudahkan persoalan hidup manusia. Syariah Islam datang untuk mempermudah urusan manusia dan meringankan beban yang ditanggungnya. Banyak firman Allah yang menyatakan hal ini, di antaranya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu” (An-Nisa ayat 28), dan Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (al-Baqarah ayat 185). Kehidupan manusia di zaman sekarang lebih kompleks, jadi mereka membutuhkan kemudahan-kemudahan. Akan tetapi maksud dari kemudahan di sini adalah menjaga kemaslahatan dan hajat hidup orang banyak sebagaimana ingin diwujudkan oleh syara’.
Sebagai bagian dari jual beli, murabahah memiliki rukun dan syarat yang tidak berbeda dengan jual beli (al-bai’) pada umumnya. Namun demikian, ada beberapa ketentuan khusus yang menjadi syarat keabsahan jual beli murabahah yaitu (Kettel, 2008: 63-64):
1.        Subjek penjualan harus ada pada waktu penjualan. Dalam hal ini seseorang tidak diperkenankan memperjualbelikan anak sapi yang masih berada dalam perut induknya, ataupun bank tidak boleh memperjualbelikan barang yang telah dikonsumsi atau digunakan.
2.        Subjek penjualan haruslah terdefinisikan dengan jelas dan dalam kepemilikan penjual. Karenanya apapun yang tidak dimiliki penjual tidak boleh dijual. Misalnya, A menjual mobil kepada B yang akan A beli dari C (masih dimiliki oleh C). Karena mobil tidak dimiliki oleh A pada waktu penjualan, penjualannya tidaklah sah.
3.        Subjek penjualan harus berada dalam penguasaan fisik atau konstruktif penjual pada waktu penjualan dan dapat dialihkan kepada kepemilikan baru. Penguasaan konstruktif berarti pembeli belum menerima penyerahan fisik atas barangnya, tapi resiko kepemilikan atas barang tersebut telah dialihkan kepadanya, barang tersebut berada dibawah kendalinya dan semua hak dan kewajiban atas barang tersebut telah berada padanya.
Pada intinya ketentuan khusus yang menjadi keabsahan murabahah meliputi adanya wujud barang, kepemilikan penjual, dan harus berada dalam penguasaan fisik atau konstruktif penjual. Karena terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara penjualan dengan janji untuk menjual (Kettel, 2008: 64). Menurut Fiqh Klasik, janji belaka tidaklah mengikat dan tidak dapat diproses secara hukum. Walaupun pemenuhan janji sangat dianjurkan dan pelanggaran atasnya merupakan perbuatan tercela, namun pemenuhan janji tidak bisa diperintahkan dan dipaksanakan melalui pengadilan hukum (Ayub, 2009: 351).
C.      Murabahah Sebagai Model Pembiayaan
Untuk menghindari praktik murabahah yang akan terjebak pada praktik hilah, bai’‘înah, bay‘atâni fi bay‘ah, dan bai’ al-ma’dûm maka para ulama kontemporer mensyaratkan dalam praktik jual beli murabahah di lembaga keuangan syariah sebagai berikut: 1). Jual beli murabahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga, tetapi merupakan jual beli komoditas dengan harga tangguh termasuk margin keuntungan di atas biaya perolehan yang disetujui bersama. Dalam kaitan ini, bila harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai maka sebelum para pihak berpisah, pilihan harga tersebut harus telah disepakati agar terhindar dari bay‘atâni fi bay‘ah, 2). Pemberi pembiayaan dalam hal ini bank atau lembaga keuangan syariah lainnya, harus telah membeli komoditas/barang dan menyimpan dalam kekuasaannya, atau membeli melalui orang ketiga sebagai agennya  sebelum dijual kepada nasabahnya. Bila tidak demikian maka akan terjadi bai’al-ma’dûm (menjual belikan sesuatu yang belum ada/dimiliki).
Namun demikian, bila pembelian langsung ke pihak supplier tidak praktis, diperbolehkan bagi pemberi pembiayaan untuk memanfaatkan nasabah sebagai agen/wakil dengan menggunakan akad wakalah untuk membeli komoditas yang diperlukan atas nama pemberi pembiayaan. Dalam kasus seperti ini, selama barang tersebut belum dibelikan oleh nasabah sebagai agen maka tidak boleh dilakukan akad jual beli komoditas/barang antara nasabah dan pihak pemberi pembiayaan. Bahkan bila nasabah sudah membelikan komoditasnya pun, resiko atas rusak atau hilangnya barang masih ada pada pihak pemberi pembiayaan hingga dilakukan akad jual beli antara kedua belah pihak. 3). Pembelian komoditas tidak boleh dari nasabah sendiri (komoditas milik nasabah) dengan perjanjian buy back (pembelian kembali) karena model perjanjian seperti ini masuk kategori bai inah yang diharamkan oleh sebagian besar ulama (Usmani, 1999: 106-107).
Seperti yang telah disebutkan terdahulu institusi keuangan dapat menerapkan prinsip murabahah sebagai suatu model pembiayaan dangan cara mengadopsi beberapa prosedur sebagai berikut:
1.        Klien dan perusahaan menandatangani perjanjian dimana institusi berjanji menjual dan klien berjanji untuk membeli komoditas dari waktu yang telah ditentukan serta menyetujui tingkat keuntungan yang ditambahkan kedalam biaya yang ada.
2.        Ketika permintaan pembelian barang dengan model yang khusus yang diminta oleh pembeli maka institusi keuangan menunjuk klien sebagai agen/perwakilan darinya untuk membeli barang/komoditas yang dibutuhkan dengan atas nama dirinya dan berjanji atas penunjukan dan perwakalian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak.
3.        Klien yang melakukan pembelian barang yang bertindak atas nama institusi dan mendapatkan pengambilalihan sebagai perwakilan dari institusi.
4.        Klien memberikan informasi kepada institusi bahwa ia telah melakukan pembelian barang tersebut dan pada saat yang bersamaan membuat penawaran untuk membeli barang tersebut kembali dari institusi.
5.        Institusi menyetujui kemudian menawarkan dan penjualan mengikat dimana kepemilikan dan risikonya kemudian dialihkan menjadi risiko klien.
Kelima tahapan tersebut diatas merupakan langkah yang tidak dapat dihindarkan untuk memberikan hasil yang valid dalam transaksi murabahah. Jika institusi melakukan pembelian langsung dari supplier maka tidak dibutuhkan perjanjian perwakilan dalam kasus ini pada tahap dua institusi menunjuk klien sebagai perwakilan dan pada tahap tiga institusi secara langsung melakukan pembelian langsung dari supplier dan pada tahap empat merupakan batasan dalam rangka membuat penawaran bagi klien (Rivai, 2012: 332).
Mekanisme pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal kerja, pembangunan rumah, pembiayaan sindikasi, pembiayaan L/C, dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:
a.         Pengadaan Barang
Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah, seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya. Setelah bank syariah meneliti keadaan nasabah dan menganggap bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan untuk pengadaan kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran angsuran selama dua tahun, maka nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi yang jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan fee base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh nasabah adalah biaya asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga.

b.        Modal Kerja (Modal Kerja Barang)
Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip jual beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan pembelian barang berulang-ulang. Sebenarnya, penyediaan modal kerja berupa uang tidak terlalu tepat menggunakan prinsip jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan modal kerja dalam bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan prinsip mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah (penyertaan modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang menggunakan mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer finance (pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga. Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan dalam murabahah menggunakan transaksi jual beli.
c.         Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)
Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli murabahah. Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan untuk renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lain-lain. Transaksi dalam pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan berulang-ulang.

D.    Beberapa Hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Pembiayaan Murabahah
1.      Menjadikan Suku Bunga Menjadi Acuan.
Banyak institusi keuangan melalui murabahah menetapkan keuntungan mereka atau menaikan harga dengan dasar suku bunga yang berlaku saat ini, kebanyakan menggunakan London Inter-Bank Offered Rate (LIBOR) sebagai standar. Sebagai contoh, jika LIBOR adalah 6%, mereka menetapkan peningkatan pada murabahah sama dengan LIBOR atau beberapa persen diatas LIBOR. Prektek ini seringkali dicela pada kisaran bahwa keuntungan didasarkan pada suku bunga yang seharusnya dilarang sebagaimana bunga itu sendiri (Kettel, 2008: 68).
Tidak ada keraguan bahwa penggunaan suku bunga untuk menentukan besarnya keuntungan yang diharapkan. Ini tentu membuat transaksi menyerupai pembiayaan berbasis bunga, setidaknya dalam penampilan. Menjaga dalam melihat tingkat keparahan dari pelarangan bunga, bahkan kemiripan jelas ini harus dihindari sejauh mungkin. Tapi juga tidak boleh mengabaikan fakta bahwa kebutuhan yang paling penting syarat sah murabahah adalah bahwa murabahah merupakan murni penjualan dengan segala unsurnya dan konsekuensi yang ditimbulkan.
Jika sebuah transaksi murabahah memenuhi semua kondisi yang ada pada pembahasan ini, dengan tidak menggunakan suku bunga sebagai dasar untuk menentukan keuntungan murabahah maka transaksi itu tidak disebut tidak sah, haram atau dilarang, karena transaksi itu sendiri tidak mengandung unsur bunga (riba), suku bunga disini hanya digunakan untuk membuat indicator atau acuan (Rivai, dkk, 2012: 338). Untuk menjelaskan point tersebut, mari kami dari pemakalah memberikan contoh kecil: Ardi dan Ali adalah saudara, Ardi membuka usaha rente di pasar (lintah darat) sangat dilarang oleh syari’ah Islam. Ali mewakili muslim tidak melakukan usaha sepertdi Ardi dan memulai usaha simpan pinjam syari’ah, tapi Ali ingin usahanya mendapatkan keuntunga yang sama banyak dengan keuntungan Ardi yang melakukak praktek usaha rente, maka dari Itu Ali menetapkan bahwa ia akan membebankan keuntungan yang sama sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Ardi yang melakukan praktek rente, dengan demikian maka keuntungan yang didapatkan oleh Ali akan mendekati keuntungan Ardi dalam bisnis haramnya yang melakukan praktek rente. Sebagian orang mungkin akan menanyakan etika pendekatan Ali dalam mengambil keuntungan, namun pastinya tidak ada yang akan mengatakan bahwa angka keuntungan yang dibebankan oleh bisnis halal Ali adalah haram, karena disini Ali menggunakan tingkat keuntungan dari usaha rente yang Ardi lakukakan sebagai Acuan (benchmark).
Sama halnya dengan transaksi murabahah didasarkan pada prinsip Islam dan memenuhi syarat yang dibutuhkan, tingkat keuntungan ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga maka hal itu tidak menyebabkan transaksi murabahah menjadi haram. Tapi akan lebih bagus lagi jika praktek yang demikian ditinggalkan, dan lembaga keuangan islam menciptakan ciri khasnya sendiri yang didasarkan pada prinsip Islam.

2.         Perjanjian Pembelian
Masalah lain yang tak kalah pentingnya dalam pembiayaan murabahah yang telah menjadi perdebatan antara ahli syari’ah kontemporer adalah bank atau lembaga keuangan yang tidak dapat secara langsung melakukan penjualan ketika konsumen meminta pembiayaan murabahah pada institusi tersebut, karena barang yang diinginkan tidak dimiliki oleh bank pada saat itu yang mana sudah dijelaskan bagaimana bentuk fisiknya dan disisi lain, bagaimana jika konsumen tidak diikat untuk membeli barang tersebut setelah lembaga keuangan telah membelinya dari pemasok, maka lembaga akan dihadapkan pada situasi dimana mereka harus menyiapkan dana besar untuk memperoleh barang tersebut, namun konsumen menolak membelinya. Pada contoh kasus ini lembaga keuangan akan mengalami kerugian yang sangat besar. Untuk menyelesaikan masalah seperti ini dapat ditemukan pada rencana murabahah dengan meminta konsumen untuk menandatangani perjanjian pembelian barang ketika barang telah dimiliki oleh lembaga keuangan (Rivai, dkk, 2012: 338).
Maka dari itu pertanyaannya apakah boleh sebuah perjanjian dituntut dipengadilan, berkaca dari contoh kasus di atas, ada beberapa macam perjanjian yang tidak dapat dipaksakan oleh pengadilan, contohnya, pada saat tunangan kedua pihak berjanji untuk berlanjut ke jenjang pernikahan, perjanjian itu menjadi kewajiban moral, namun jelas mereka tidak dapat dipaksa oleh pengadilan hokum. Tapi dalam perjanjian perniagaan yang mana satu pihak telah memberikan janji untuk menjual atau membeli sesuatu dan yang lainnya telah mendatangkan passive yang diminta, sehingga tidak ada alasan mengapa perjanjian tersebut tidak bias dipaksakan (Rivai, dkk, 2012: 338).
Pertanyaan ini tidak hanya berhubungan dengan murabahah saja. Jika perjanjian tidak dapat dipaksakan pada transaksi komersil, maka hal itu sangat membahayakan aktifitas komersil. Jika seseorang memesan seorang penjual membawakannya beberapa komoditas tertentu dan akan membelinya  dengan dasar penjual mengimpornya dari luar negeri dengan mengeluarkan biaya yang sangat besar bagaimana bias dibolehkan pembeli untuk menolak membeli barang tersebut? Tidak ada dalam kitab suci Al-Qur’an dan sunnah yang melarang perjanjian tersebut untuk dipaksakan (Kettel, 2008: 68).
Pada kisaran inilah bahwa Akademi Fiqh Islam di Jeddah telah menjadikan perjanjian pada urusan komersil mengikat pihak yang berjanji dengan kondisi dibawah ini. Perjanjian itu haruslah perjanjian satu pihak, Perjanjian tersebut harus telah menyebabkan orang yang diminta mengadakan beberapa barang (passive), Jika perjanjian adalah untuk membeli sesuatu, penjualan sesungguhnya harus terjadi pada waktu yang dijanjikan untuk penukaran permintaan dan penerimaan barang. Perjanjian belaka tidak bias dijadikan sebagai kesimpulan penjualan, Jika pihak yang berjanji mengingkari janjinya, pengadilan dapat memaksanya untuk membeli komuditas tesebut atau membayar kerusakan nyata kepada penjual. Kerusakan sesungguhnya akan termasuk kerugian sebenarnya yang diderita penjual, namun tidak termasuk biaya perkiraan.
Dengan dasar ini diperbolehkan bagi konsumen untuk berjanji kepada lembaga keuangan bahwa ia akan membeli setelah menerima barangnya dari pemasok. Perjanjian ini akan mengikat pembeli dan dapat dipaksakan oleh pengadilan sebagaimana telah dijelaskan diatas. Perjanjian ini tidak sama dengan penjualan sesungguhnya, hal itu digunakan untuk menyederhanakan sebuah perjanjian dan penjualan sesungguhnya akan terjadi setelah barang didapatkan dari lembaga keuangan yang ditukar dengan penawaran sebelumnya dan penerimaan akan dibutuhkan.

3.         Jaminan Terhadap Harga Murabahah
Masalah lainnya terkait pembiayaan murabahah bahwa biaya dalam murabahah dapat dibayarkan pada tanggal belakangan, penjual/llembaga keuangan tentu saja ingin memastikan bahwa biaya tersebut akan dibayarkan pada tanggal yang seharusnya. Untuk tujuan ini, penjual akan bertanya kepada konsumen untuk menyediakan sebuah jaminan sampai pada pelunasan, jaminan tersebut bias berupa barang yang dapat digadaikan/hipotek atau semacam barang gadaian/uang muka (Kettel, 2008: 71). Aturan dasar tentang jaminan yang harus di ingat: (Rivai, dkk, 2012: 338). a) Jaminan tersebut dapat diklaim menjadi hak ketika transaksi telah terjadi sebuah pertanggungjawaban atau tagihan, tidak ada jaminan yang diminta dari seseorang yang belum menunaikan kewajiban atau mempunyai tagihan. b) Hal lain yang juga diperbolehkan adalah bahwa komoditas yang telah dijual itu sendiri menjadi jaminan bagi penjual. Oleh karena itu, hal ini tidaklah penting bahwa pembeli menerima pengiriman properti yang telah dijual tersebut sebelum menyerahkannya sebagi hipotek kepada pembeli, syarat yang harus dipenuhi bahwa pada titik waktu dimana properti dijadikan sebagai hipotek perlu ditetapkan, karena sejak waktu tersebut properti itu akan dikuasai oleh penjual dengan kapasitas berbeda dimana harus diperjelas peruntukannya.

4.        Penjaminan Murabahah
Menjual pada pembiayaan murabahah dapat juga meminta kepada pembeli/konsumen memberi jaminan dari pihak ketiga. Dalam kasus terjadinya kesalahan pembayaran hargabarang tersebut pada waktunya, penjual mendapat penolong dari pemberi jaminan yang akan bertanggung jawab membyar jumlah yang dijaminkan oleh lembaga penjamin (Kettel, 2008: 71).

5.        Hukuman kesalahan/keterlambatan
Masalah lain pada pembiayaan murabahah adalah jika konsumen lalai dalam pembayaran pada tanggal yang telah ditentukan, harga tidak dapat dinaikan. Pada pinjaman berbasis Bungan, jumlah pinjaman akan tetap bertambah sesuai periode kesalahan, namun pada pembiayaan murabahah setelah harga ditetapkan, maka hal itu tidak dapat dinaikan, terkadang ini yang menimmbulkan ketidakjujuran konsumen yang dengan sengaja menghindari untuk membayar pada waktunya, karena mereka mengetahui bahwa mereka tidak harus membayar biaya tambahan (Rivai, dkk, 2012: 343).
Dalam mengatasi masalah ini, ahli kontemporer mengusulkan konsumen yang tidak jujur dalam pembayaran dengan sengaja harus dapat dikenakan pembayaran ganti rugi pada bank Islam atas kerugian yang dideritanya pada rekening yang mengalami kesalahan, mereka mengusulkan bahwa jumlah ganti rugi ini bias sebanding dengan keuntungan yang diberikan oleh bank pada nasabah selama periode terjadinya kesalahan.

6.        Tidak ada Peninjauan Kembali pada Murabahah.
Aturan lainnya yang harus diingat dan sepenuhnya dipatuhi adalah transaksi murabahah tidak terdapat peninjauan kembali roll-over untuk periode selanjutnya. Pada pembiayaan berbasis bunga, jika seorang konsumen bank tidak dapat membayar tepat pada waktunya karena alas an apapun, dia dapat meminta bank untuk memperpanjang fasilitas tersebut untuk masa yang lain. Dalam hal ini harus dipahami dengan jelas murabahah bukan merupakan pinjaman, murabahah merupakan penjualan produk yang pembayarannya ditunda untuk waktu yang telah disepakati, setelah komoditas tersebut terjual maka kepemilikan barang tersebut berubah menjadi milik konsumen. Pengulangan kembali tersebut dalam murabahah tidak lain adalah bunga, murni dan sederhana karena hal itu merupakan perjanjian untuk membayar sejumlah uang atas utang yang tercipta pada penjualan murabahah tersebut (Kettel, 2008: 73).

7.        Potongan Harga Karena Pembayaran Lebih Awal
Kadang-kadang debitur ingin membayar lebih awal dari waktu yang ditentukan, pada kasus ini ia menginginkan potongan atas harga yang telah disetujui, apakah potongan harga atas pembayaran yang lebih awal diperbolehkan? Pertanyaan ini telah dibicarakan ahli hukum terdahuludengan detail, hal tersebut dikenal pada literature Islam yang sah sebagai (memberi potongan dan pembayaran lebih awal), beberapa ahli hokum terdahulu membolehkan hal ini, namun mayoritas ahli hokum Islamtidak memperbolehkan jika potongan tersebut menjadi syarat untuk pembayaran lebih awal (Rivai, dkk, 2012: 348).
Hal itu berarti jika sebuah transaksi murabahah dilakukak oleh sebuah lembaga keuangan atau bank Islam, tidak ada potongan yang ditetapkan pada perjanjian, jika bank atau lembaga keuangan tersebut memberikan potongan atas keinginannya sendiri, maka tidak ada masalah, khususnya bagi konsumen yang memang sangat membutuhkan. Sebagai contoh, jika petani miskin telah membeli traktor atau peralatan pertanian dengan menggunakan murabahah seharusnya pihak bank memberikannya diskon sukarela.

8.        Subjek Barang Murabahah
Setiap komoditas menjadi subjek penjualan dengan keuntungan dapat dijadikan subjek barang murabahah merupakan sebuah penjualan jenis tersebut. Sebagai contoh transaksi murabahah tidak mungkin dilakukan pada pertukaran mata uang, karena hal itu harus terjadi secara spontan ataujika ditunda harus berdasarkan kelazimankurs pasar pada waktu transaksi dilakukan, sama halnya dokumen penjualan yang menunjukkan sebuah utang yang dapat dicairkan oleh pemiliknya tidak dapat diperjual belikan, satu satunya cara agar hal tersebut dapat dijual adalah dengan menukarkannya dengan nilai mukannya, oleh karena itu mereka tidak dapat menjualnya dengan basis murabahah (Rivai, dkk, 2012: 351) .

9.        Penjadwalan Ulang Pembayaran Dalam Murabahah
Jika pembeli/konsumen dalam pembiayaan Murabahah tidak dapat membayar pada tanggal yang telah disetujui dalam perjanjian murabahah, pembeli kadang-kadang meminta kepada pejual/pihak bank untuk menjadwal ulang angsuran, dalam bank konvensional pinjaman secara normal dapat ditinjau ulang dengan dasar penambahan bunga. Hal ini tidak mungkin dalam transaksi murabahah jika angsuran dijadwal ulang, tidak ada jumlah tambahan yang dikenakan karena penjadwalan ulang. Harga murabahah masih tetap sama dalam mata uang yang sama. Beberapa bank Islam mengusulkan penjadwalan ulang murabahah dengan mata uang yang lebih tinggi nilai dari yang digunakan pada saat penjualan aslinya, hal ini digunakan untuk mengganti kerugian melalui perbedaan tingkat nilai mata uang tersebut (Kettel, 2008: 74).

10.    Sekuritasi Murabahah
Murabahah merupakan sebuah transaksi yang tidak dapat dijadikan agunan untuk menciptakan sebuah instrument tawar yang dapat dijual dan dibeli dari pasar sekunder, alasannya jelas jika pembeli/konsumen dalam transaksi murabahah menandatangani sebuah dokumen yang menjadi bukti utangnya kepada pemberi biaya/penjual, mak dokumen tersebut akan mewakili sebuah unit kesatuan utang yang dapat dicairkan dari pembeli (Kettel, 2008: 74).
Telah dijelaskan bahwa menukarkan uang dengan uang dengan mata uang yang sama) tidak boleh dilakukan kecuali pada nilai par saja, hal itu tidak dapat diperjualbelika dengan harga yang lebih rendah ataupun lebih tinggi, oleh karena itu dokumen yang mewakili kewajiban keuanganyang timbul dari sebuah transaksi murabahah  tidak dapat menciptakan instrument tawar lainnya. Jika dokumen tersebut ditukarkan maka itu hanya pada nilai par saja.

E.           Manfaat Pembiayaan Murabahah
Skema pembiayaan murabahah yang ditawarkan bank syariah mendapat sambutan dan antusiasme yang tinggi dari masyarakat (nasabah), sehingga skema murabahah merupakan transaksi yang paling banyak diminati dan dipraktikkan dalam operasional perbankan syariah. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: faktor tabiat sosiokultur pertumbuhan ekonomi yang menuntut keberhasilan yang cepat dan menghasilkan keuntungan yang banyak, skema murabahah dengan margin keuntungan merupakan praktik alternatif dari transaksi kredit dengan menggunkan bunga yang biasa dilakukan oleh bank konvensional, sehingga banyak nasabah yang biasa melakukan transaksi dengan bank konvensional beralih ke bank syariah untuk melakukan transaksi dengan menggunakan skema murabahah.
Di samping itu, transaksi murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah, antara lain adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah dan skema murabahah sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah (Antonio, 2001: 106-107).
Selain beberapa manfaat tersebut, transaksi dengan menggunakan skema murabahah juga mempunyai risiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut: Pertama, default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran. Kedua, fluktuasi harga komparatif.  Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah.  Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut. Ketiga, penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi.  Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila bank telah mendandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank.  Dengan demikian, bank mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain.  Keempat, dijual; karena jual beli murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah.  Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, risiko untuk default akan besar.



BAB III
KESIMPULAN
Dalam praktik di perbankan syariah jual beli murabahah merupakan salah satu skim pembiayaan di perbankan syariah yang paling dominan dibandingkan skim pembiayaan lain.  Ada tiga model atau tipe penerapan jual beli murabahah di perbankan. Pertama, tipe konsisten terhadap fiqih muamalah. Dalam tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya.  Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan bank dan nasabah. Kedua, mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Ketiga, bank melakukan perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Dari ketiga tipe tersebut, Tipe II dan Tipe III paling sering dipakai oleh perbankan syariah karena motifasi efektifitas prosedur dan juga pertimbangan efisiensi, terutama dari pengenaan pajak pertambahan nilai.  Sementara tipe I justru dhindari padahal tipe inilah yang paling ideal dalam konteks Fikih muamalat. Murabahah yang dipraktikkan di perbankan syariah adalah murabahah li al-amir bi al-Syira’ yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah pengajukan permohonan kepada pihak bank untuk membelikan barang yang dibutuhkan, dan ia berjanji akan membeli barang tersebut secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan serta biaya-biaya lain yang disepakati, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara xc (cicilan berkala) kepada bank pada waktu yang telah disepakati.  Dalam hal ini, pihak bank diwajibkan memberitahu secara jujur kepada nasabah harga pokok barang, besarnya margin dan biaya-biaya lain yang diperlukan.







2 komentar:

  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.

    Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.

    BalasHapus
  2. Saya Widaya Tarmuji, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah TRACY MORGAN LOAN FIRM. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Tapi Tracy Morgan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email yang sebenarnya mereka: tracymorganloanfirm@gmail.com. Email pribadi saya sendiri: widayatarmuji@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya. hati-hati

    BalasHapus

 

Blogger news

Blogroll

About