BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi syariah yang kini
sudah memasuki tahap implementasi dari seluruh pemikiran dan gagasan-gagasan
peneliti mengenai ekonomi syariah mulai memasuki babak baru dalam
kehidupan. Jenis-jenis transaksi yang dianggap asing oleh masyarakat
perlahan mulai dikenal dan diaplikasikan oleh masyarakat. Sebagian
transaksi tersebut bahkan sudah dipraktekkan oleh masyarakat secara
turun-temurun sehingga hanya diubah sedikit menyesuaikan dengan prinsip Islam
agar mampu meraih simpati masyarakat dan melakukan edukasi secara
bertahap sehingga terjadi evolusi dalam kegiatan ekonomi. Namun ketika
implementasi tersebut terlalu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
dan tidak mengindahkan kaidah-kaidah Islam, hal ini akan menjadi malapetaka
tersendiri bagi kehidupan masyarakat kedepannya. Selain menghilangnya
ridha Allah SWT dalam kehidupan, hal ini juga berdampak pada hilangnya
kepercayaan umat terhadap transaksi Islam itu sendiri karena tidak memiliki
batasan yang jelas atau bahkan menciptakan paradigma yang sama dengan transaksi
konvensional. Memang pada beberapa sisi terdapat persamaan-persamaan dengan
transaksi konvensional, hal ini sebagai salah satu bentuk yang mencirikan bahwa
Islam adalah agama pertengahan, namun terdapat pula unsur-unsur yang tidak
sesuai dengan kaidah Islam. Hal inilah yang perlu didalami dan dijelaskan kepada
umat agar tidak terjadi kebingungan sehingga dalam menjalankan kegiatan ekonomi
akan benar – benar dilandasi oleh kaidah Islam yang menyeluruh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Murabahah
Salah
satu konsep fiqh muamalah yang banyak dipraktekkan oleh perbankan syariah
adalah akad jual beli murabahah. Akad ini banyak diminati oleh perbankan
syariah dikarenakan faktor keamanan dan minimnya resiko bagi bank syariah
dibanding akad mudharabah dan musyarakah. Murabahah merupakan akad jual beli
dengan ketentuan yang lebih spesifik dibandingkan dengan jual beli pada
umumnya. Ada beberapa karakteristik tertentu yang membedakan antara jual beli
pada umumnya dengan akad murabahah (Afandi, 2009: 85).
Ulama
Hanafiyah mengatakan, murabaha adalah
memindahkannya hak milik seseorang kepada orang lain sesuai dengan transaksi
dan harga awal yang dilakukan ditambah dengan keuntungan yang diinginkan
(Al-Mirghinani, 1957: 282). Ulama Hanabilah dan Syafi’iyyah berpendapat,
murabahah adalah jual beli yang dilakukan seseorang dengan mendasarkan pada
harga beli penjual ditambah keuntungan dengan syarat harus sepengetahuan kedua
belah pihak (Ibn Qudama, 1958, 4: 179/Al-Hilli, 1389 H: 559).
Murabahah
adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syariah Murabahah ini diartikan
sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara bank syariah dengan nasabah,
dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja
lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar
harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang
ditetapkan (Rivai, dkk, 2012: 319).
Beberapa
defenisi diatas secara substansial memberikan pengertian yang sama meskipun
diungkapkan dalam redaksi yang berbeda-beda. Hal yang paling pokok murabahah
adalah jenis jual beli. Sebagaimana jual beli pada umumnya akad ini
meniscayakan adanya barang yang dijual. Disamping itu murabahah jual beli yang
memiliki spesifikasi tertentu. Yaitu adanya keharusan penyampaian harga semula
secara jujur oleh penjual kepada pembeli ditambah dengan keuntungan yang
dinginkan penjual sesuai dengan kesepakatan. Hal inilah yang membedakan
murabahah dengan jual beli pada umumnya, termasuk hal ini juga yang membedakan
antara murabahah dan musawamah dimana musawamah merupakan kontrak antara calon
penjual dan calon pembeli kedua pihak saling menawarkan harga dan penjualan
kemudian terselesaikan serta barangnya diserahkan sementara pembayarannya
ditunda, artinya tak ada kewajiban atas penjual untuk menjelaskan biaya dalam
memperoleh barang dan memberikan informasi kepada pembeli (Kettel, 2008: 57).
B. Dasar Hukum Dan Ketentuan Lain Seputar Murabahah
Para ulama telah
sepakat (ijmâ’)
akan kebolehan akad murabahah, tetapi Alquran tidak pernah secara langsung dan
tersurat membicarakan tentang murabahah, walaupun di dalamnya ada sejumlah
acuan tentang jual beli dan perdagangan. Demikian juga tampaknya tidak ada satu
hadis pun yang secara spesifik membicarakan mengenai murabahah. Oleh karena
itu, meskipun Imam Malik dan Imam Syafii membolehkan jual beli murabahah,
tetapi keduanya tidak mempekuat pendapatnya dengan satu hadis pun (Saeed, 1996:
110). Sedangkan dasar hukum yang dijadikan sandaran kebolehan jual beli
murabahah di buku-buku fikih muamalat kotemporer lebih bersifat umum karena
menyangkut jual beli atau perdagangan pada umumnya (Tim AAOIFI, 2003: 27).
Namun demikian, menurut al-Kasani jual beli murabahah telah diwariskan dari
generasi ke generasi sepanjang masa dan tidak ada seorang pun yang
mengingkarinya. Di samping itu, keberadaan model jual beli murabahah sangat
dibutuhkan masyarakat karena ada sebagian mereka ketika akan membeli barang
tidak mengetahui kualitasnya maka ia membutuhkan pertolongan kepada yang
mengetahuinya, kemudian pihak yang dimintai pertolongan tersebut membelikan
barang yang dikehendaki dan menjualnya dengan keharusan menyebutkan harga
perolehan (harga beli) barang dengan ditambah keuntungan (ribh) (Afanah, 1992:
2).
Di antara ulama yang
mengakui keabsahan/kebolehan murâbahah
li al-âmir bi al-Syirâ adalah Sâmî Hamûd, Yusuf Qardhawi, Ali Ahmad Salus,
Shadiq Muhammad Amin, Ibrahim Fadhil, dan lainnya. Adapun argumentasi mereka’adalah sebagai berikut:
Pertama, Hukum asal dalam muamalah adalah diperbolehkan dan mubah kecuali
terdapat nash shahih dan sharih yang melarang dan mengharamkannya. Berbeda
dengan ibadah mahdhah, hukum asalnya adalah haram kecuali ada nash yang memerintahkan
untuk melakukannya. Oleh karena itu dalam muamalah tidak perlu mempertanyakan
dalil yang mengakui keabsahan dan kehalalan, yang perlu diperhatikan adalah
dalil yang melarang dan mengharamkannya. Sepanjang tidak terdapat dalil yang
melarangnya, maka transaksi muamalah sah dan halal hukumnya (Qardhawi, 1995:
13). Kedua, keumuman nash Alquran dan hadis yang menunjukan kehalalan
segala bentuk jual beli, kecuali
terdapat dalil khusus yang melarangnya. Yusuf Qardhawi mengatakan, dalam surat
al-Baqarah; 275 Allah menghalalkan segala bentuk jual beli secara umum, baik
jual beli muqâydhah (barter), sharf (jual beli mata uang/valas), jual beli
salam ataupun jual beli mutlak serta bentuk jual beli lainnya. Semua jenis jual
beli ini halal, karena ia masuk dalam kategori jual beli yang dihalalkan Allah,
dan tidak ada jual beli yang haram kecuali terdapat nash dari Allah dan
Rasulnya yang mengharamkannya. Ketiga, terdapat nash ulama fikih yang mengakui
keabsahan akad ini, di antaranya pernyataan Imam Syafi’i
dalam kitab al-Umm:
“dan
ketika seseorang memperlihatkan
sebuah barang tertentu kepada orang lain, dan berkata: “belikanlah
aku barang ini, dan engkau akan aku beri
margin sekian”, kemudian orang tersebut mau untuk membelikannya,
maka jual beli tersebut diperbolehkan” (Syafii, 1993: 33). Namun demikian, orang
yang meminta untuk dibelikan tersebut memiliki hak khiyar, jika barang tersebut
sesuai dengan kriterianya, maka bisa dilanjutkan dengan akad jual beli dan
akadnya sah, sebaliknya,
jika tidak sesuai, maka ia berhak untuk membatalkannya”
Berdasarkan pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi’i memperbolehkan
transaksi Murâbahah li al-Âmir bi al-Syirâ, dengan syarat pembeli atau nasabah
memiliki hak khiyar, yakni hak untuk meneruskan atau membatalkan akad. Selain
itu, penjual juga memiliki hak khiyar, dengan demikian tidak terdapat janji
yang mengikat kedua belah pihak. Keempat, transaksi muamalah dibangun atas asas
maslahat. Hukum Islam tidak melarang bentuk transaksi kecuali terdapat unsur
kezaliman di dalamnya, seperti riba, penimbunan (ihtikâr), penipuan dan
lainnya, atau diindikasikan transaksi tersebut dapat menimbulkan perselisihan
atau permusuhan di antara manusia, seperti adanya gharar atau bersifat
spekulasi. Permasalahan pokok dalam muamalah adalah unsur kemaslahatan. Jika
terdapat maslahah, maka sangat dimungkinkan transaksi tersebut diperbolehkan.
Seperti halnya diperbolehkannya akad istishna, padahal ia merupakan jual
beli/bai‘ al-ma’dûm (obyek tidak ada saat
akad), karena adanya kebutuhan dan maslahah yang akan didapatkan, tidak
menimbulkan perselisihan dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Kelima,
pendapat yang memperbolehkan bentuk murabahah ini dimaksudkan untuk memudahkan persoalan hidup manusia.
Syariah Islam datang untuk mempermudah urusan manusia dan meringankan beban
yang ditanggungnya. Banyak firman Allah yang menyatakan hal ini, di antaranya: “Allah hendak memberikan
keringanan kepadamu” (An-Nisa
ayat 28), dan Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu (al-Baqarah ayat 185). Kehidupan manusia di zaman sekarang
lebih kompleks, jadi mereka membutuhkan kemudahan-kemudahan. Akan tetapi maksud
dari kemudahan di sini adalah menjaga kemaslahatan dan hajat hidup orang banyak sebagaimana ingin
diwujudkan oleh syara’.
Sebagai bagian dari
jual beli, murabahah memiliki rukun dan syarat yang tidak berbeda dengan jual
beli (al-bai’)
pada umumnya. Namun demikian, ada beberapa ketentuan khusus yang menjadi syarat
keabsahan jual beli murabahah yaitu (Kettel, 2008: 63-64):
1.
Subjek penjualan
harus ada pada waktu penjualan. Dalam hal ini seseorang tidak diperkenankan
memperjualbelikan anak sapi yang masih berada dalam perut induknya, ataupun
bank tidak boleh memperjualbelikan barang yang telah dikonsumsi atau digunakan.
2.
Subjek penjualan
haruslah terdefinisikan dengan jelas dan dalam kepemilikan penjual. Karenanya
apapun yang tidak dimiliki penjual tidak boleh dijual. Misalnya, A menjual
mobil kepada B yang akan A beli dari C (masih dimiliki oleh C). Karena mobil
tidak dimiliki oleh A pada waktu penjualan, penjualannya tidaklah sah.
3.
Subjek penjualan
harus berada dalam penguasaan fisik atau konstruktif penjual pada waktu
penjualan dan dapat dialihkan kepada kepemilikan baru. Penguasaan konstruktif
berarti pembeli belum menerima penyerahan fisik atas barangnya, tapi resiko
kepemilikan atas barang tersebut telah dialihkan kepadanya, barang tersebut
berada dibawah kendalinya dan semua hak dan kewajiban atas barang tersebut
telah berada padanya.
Pada intinya ketentuan
khusus yang menjadi keabsahan murabahah meliputi adanya wujud barang,
kepemilikan penjual, dan harus berada dalam penguasaan fisik atau konstruktif
penjual. Karena terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara penjualan
dengan janji untuk menjual (Kettel, 2008: 64). Menurut Fiqh Klasik, janji
belaka tidaklah mengikat dan tidak dapat diproses secara hukum. Walaupun
pemenuhan janji sangat dianjurkan dan pelanggaran atasnya merupakan perbuatan
tercela, namun pemenuhan janji tidak bisa diperintahkan dan dipaksanakan
melalui pengadilan hukum (Ayub, 2009: 351).
C. Murabahah Sebagai Model Pembiayaan
Untuk menghindari praktik murabahah yang akan terjebak
pada praktik hilah, bai’‘înah, bay‘atâni fi
bay‘ah, dan bai’ al-ma’dûm maka para ulama kontemporer mensyaratkan dalam praktik
jual beli murabahah di lembaga keuangan syariah sebagai berikut: 1). Jual beli
murabahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga, tetapi merupakan jual
beli komoditas dengan harga tangguh termasuk margin keuntungan di atas biaya
perolehan yang disetujui bersama. Dalam kaitan ini, bila harga tangguh lebih
tinggi dari harga tunai maka sebelum para pihak berpisah, pilihan harga
tersebut harus telah disepakati agar terhindar dari bay‘atâni fi
bay‘ah, 2). Pemberi pembiayaan dalam hal ini bank atau lembaga
keuangan syariah lainnya, harus telah membeli komoditas/barang dan menyimpan
dalam kekuasaannya, atau membeli melalui orang ketiga sebagai agennya sebelum dijual kepada nasabahnya. Bila tidak
demikian maka akan terjadi bai’al-ma’dûm (menjual belikan sesuatu yang belum ada/dimiliki).
Namun demikian, bila pembelian langsung ke pihak
supplier tidak praktis, diperbolehkan bagi pemberi pembiayaan untuk
memanfaatkan nasabah sebagai agen/wakil dengan menggunakan akad wakalah untuk
membeli komoditas yang diperlukan atas nama pemberi pembiayaan. Dalam kasus
seperti ini, selama barang tersebut belum dibelikan oleh nasabah sebagai agen
maka tidak boleh dilakukan akad jual beli komoditas/barang antara nasabah dan
pihak pemberi pembiayaan. Bahkan bila nasabah sudah membelikan komoditasnya
pun, resiko atas rusak atau hilangnya barang masih ada pada pihak pemberi
pembiayaan hingga dilakukan akad jual beli antara kedua belah pihak. 3).
Pembelian komoditas tidak boleh dari nasabah sendiri (komoditas milik nasabah)
dengan perjanjian buy back (pembelian kembali) karena model perjanjian seperti
ini masuk kategori bai ‘inah yang
diharamkan oleh sebagian besar ulama (Usmani, 1999: 106-107).
Seperti
yang telah disebutkan terdahulu institusi keuangan dapat menerapkan prinsip murabahah
sebagai suatu model pembiayaan dangan cara mengadopsi beberapa prosedur sebagai
berikut:
1.
Klien dan
perusahaan menandatangani perjanjian dimana institusi berjanji menjual dan
klien berjanji untuk membeli komoditas dari waktu yang telah ditentukan serta
menyetujui tingkat keuntungan yang ditambahkan kedalam biaya yang ada.
2.
Ketika
permintaan pembelian barang dengan model yang khusus yang diminta oleh pembeli
maka institusi keuangan menunjuk klien sebagai agen/perwakilan darinya untuk
membeli barang/komoditas yang dibutuhkan dengan atas nama dirinya dan berjanji
atas penunjukan dan perwakalian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak.
3.
Klien yang
melakukan pembelian barang yang bertindak atas nama institusi dan mendapatkan
pengambilalihan sebagai perwakilan dari institusi.
4.
Klien memberikan
informasi kepada institusi bahwa ia telah melakukan pembelian barang tersebut
dan pada saat yang bersamaan membuat penawaran untuk membeli barang tersebut
kembali dari institusi.
5.
Institusi
menyetujui kemudian menawarkan dan penjualan mengikat dimana kepemilikan dan
risikonya kemudian dialihkan menjadi risiko klien.
Kelima tahapan tersebut
diatas merupakan langkah yang tidak dapat dihindarkan untuk memberikan hasil
yang valid dalam transaksi murabahah. Jika institusi melakukan pembelian
langsung dari supplier maka tidak dibutuhkan perjanjian perwakilan dalam kasus
ini pada tahap dua institusi menunjuk klien sebagai perwakilan dan pada tahap
tiga institusi secara langsung melakukan pembelian langsung dari supplier dan
pada tahap empat merupakan batasan dalam rangka membuat penawaran bagi klien
(Rivai, 2012: 332).
Mekanisme pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang,
modal kerja, pembangunan rumah, pembiayaan
sindikasi, pembiayaan L/C, dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi
mekanisme pembiayaan murabahah dalam
perbankan syariah:
a.
Pengadaan Barang
Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli
murabahah, seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi
untuk pabrik dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah
kulkas,
ia dapat datang ke bank syariah dan
kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya. Setelah bank syariah
meneliti keadaan nasabah dan menganggap bahwa ia layak untuk mendapatkan
pembiayaan untuk pengadaan kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan
menyerahkannya kepada pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp.
4.000.000,- dan pihak bank ingin mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-.
Jika pembayaran angsuran selama dua tahun, maka nasabah dapat mencicil
pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain memberikan keuntungan
kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi yang
jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan
fee base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh
nasabah adalah biaya asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga.
b.
Modal Kerja (Modal Kerja Barang)
Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan
prinsip jual beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali
putus, bukan satu akad dengan pembelian barang berulang-ulang. Sebenarnya,
penyediaan modal kerja berupa uang tidak terlalu tepat menggunakan prinsip jual
beli murabahah. Transaksi pembiayaan modal kerja dalam bentuk barang atau uang
lebih tepat menggunakan prinsip mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah
(penyertaan modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang
menggunakan mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer
finance (pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur
bunga. Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan
dalam murabahah menggunakan transaksi jual beli.
c.
Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)
Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli
murabahah. Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang
dibutuhkan untuk renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan
lain-lain. Transaksi dalam pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak
satu akad dilakukan berulang-ulang.
D. Beberapa Hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Pembiayaan
Murabahah
1. Menjadikan
Suku Bunga Menjadi Acuan.
Banyak institusi
keuangan melalui murabahah menetapkan keuntungan mereka atau menaikan harga
dengan dasar suku bunga yang berlaku saat ini, kebanyakan menggunakan London Inter-Bank Offered Rate (LIBOR) sebagai standar. Sebagai contoh,
jika LIBOR adalah 6%, mereka menetapkan
peningkatan pada murabahah sama dengan LIBOR
atau beberapa persen diatas LIBOR. Prektek
ini seringkali dicela pada kisaran bahwa keuntungan didasarkan pada suku bunga
yang seharusnya dilarang sebagaimana bunga itu sendiri (Kettel, 2008: 68).
Tidak ada keraguan
bahwa penggunaan suku bunga untuk menentukan besarnya keuntungan yang
diharapkan. Ini tentu membuat transaksi menyerupai pembiayaan berbasis bunga,
setidaknya dalam penampilan. Menjaga dalam melihat tingkat keparahan dari
pelarangan bunga, bahkan kemiripan jelas ini harus dihindari sejauh mungkin.
Tapi juga tidak boleh mengabaikan fakta bahwa kebutuhan yang paling penting
syarat sah murabahah adalah bahwa murabahah merupakan murni penjualan dengan
segala unsurnya dan konsekuensi yang ditimbulkan.
Jika sebuah transaksi
murabahah memenuhi semua kondisi yang ada pada pembahasan ini, dengan tidak
menggunakan suku bunga sebagai dasar untuk menentukan keuntungan murabahah maka transaksi itu tidak
disebut tidak sah, haram atau dilarang, karena transaksi itu sendiri tidak
mengandung unsur bunga (riba), suku bunga disini hanya digunakan untuk membuat
indicator atau acuan (Rivai, dkk, 2012: 338). Untuk menjelaskan point tersebut,
mari kami dari pemakalah memberikan contoh kecil: Ardi dan Ali adalah saudara,
Ardi membuka usaha rente di pasar (lintah darat) sangat dilarang oleh syari’ah
Islam. Ali mewakili muslim tidak melakukan usaha sepertdi Ardi dan memulai
usaha simpan pinjam syari’ah, tapi Ali ingin usahanya mendapatkan keuntunga
yang sama banyak dengan keuntungan Ardi yang melakukak praktek usaha rente,
maka dari Itu Ali menetapkan bahwa ia akan membebankan keuntungan yang sama
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Ardi yang melakukan praktek rente,
dengan demikian maka keuntungan yang didapatkan oleh Ali akan mendekati
keuntungan Ardi dalam bisnis haramnya yang melakukan praktek rente. Sebagian
orang mungkin akan menanyakan etika pendekatan Ali dalam mengambil keuntungan,
namun pastinya tidak ada yang akan mengatakan bahwa angka keuntungan yang
dibebankan oleh bisnis halal Ali adalah haram, karena disini Ali menggunakan
tingkat keuntungan dari usaha rente yang Ardi lakukakan sebagai Acuan (benchmark).
Sama halnya dengan
transaksi murabahah didasarkan pada
prinsip Islam dan memenuhi syarat yang dibutuhkan, tingkat keuntungan
ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga maka hal itu tidak menyebabkan
transaksi murabahah menjadi haram. Tapi akan lebih bagus lagi jika
praktek yang demikian ditinggalkan, dan lembaga keuangan islam menciptakan ciri
khasnya sendiri yang didasarkan pada prinsip Islam.
2.
Perjanjian
Pembelian
Masalah lain yang tak
kalah pentingnya dalam pembiayaan murabahah
yang telah menjadi perdebatan antara ahli syari’ah kontemporer adalah bank
atau lembaga keuangan yang tidak dapat secara langsung melakukan penjualan
ketika konsumen meminta pembiayaan murabahah pada institusi tersebut, karena
barang yang diinginkan tidak dimiliki oleh bank pada saat itu yang mana sudah
dijelaskan bagaimana bentuk fisiknya dan disisi lain, bagaimana jika konsumen
tidak diikat untuk membeli barang tersebut setelah lembaga keuangan telah
membelinya dari pemasok, maka lembaga akan dihadapkan pada situasi dimana
mereka harus menyiapkan dana besar untuk memperoleh barang tersebut, namun
konsumen menolak membelinya. Pada contoh kasus ini lembaga keuangan akan
mengalami kerugian yang sangat besar. Untuk menyelesaikan masalah seperti ini
dapat ditemukan pada rencana murabahah
dengan meminta konsumen untuk menandatangani perjanjian pembelian barang ketika
barang telah dimiliki oleh lembaga keuangan (Rivai, dkk, 2012: 338).
Maka dari itu pertanyaannya
apakah boleh sebuah perjanjian dituntut dipengadilan, berkaca dari contoh kasus
di atas, ada beberapa macam perjanjian yang tidak dapat dipaksakan oleh
pengadilan, contohnya, pada saat tunangan kedua pihak berjanji untuk berlanjut
ke jenjang pernikahan, perjanjian itu menjadi kewajiban moral, namun jelas
mereka tidak dapat dipaksa oleh pengadilan hokum. Tapi dalam perjanjian
perniagaan yang mana satu pihak telah memberikan janji untuk menjual atau
membeli sesuatu dan yang lainnya telah mendatangkan passive yang diminta,
sehingga tidak ada alasan mengapa perjanjian tersebut tidak bias dipaksakan
(Rivai, dkk, 2012: 338).
Pertanyaan ini tidak
hanya berhubungan dengan murabahah saja.
Jika perjanjian tidak dapat dipaksakan pada transaksi komersil, maka hal itu
sangat membahayakan aktifitas komersil. Jika seseorang memesan seorang penjual
membawakannya beberapa komoditas tertentu dan akan membelinya dengan dasar penjual mengimpornya dari luar negeri
dengan mengeluarkan biaya yang sangat besar bagaimana bias dibolehkan pembeli
untuk menolak membeli barang tersebut? Tidak ada dalam kitab suci Al-Qur’an dan
sunnah yang melarang perjanjian
tersebut untuk dipaksakan (Kettel, 2008: 68).
Pada kisaran inilah
bahwa Akademi Fiqh Islam di Jeddah telah menjadikan perjanjian pada
urusan komersil mengikat pihak yang berjanji dengan kondisi dibawah ini. Perjanjian
itu haruslah perjanjian satu pihak, Perjanjian tersebut harus telah menyebabkan
orang yang diminta mengadakan beberapa barang (passive), Jika perjanjian adalah untuk membeli sesuatu, penjualan
sesungguhnya harus terjadi pada waktu yang dijanjikan untuk penukaran
permintaan dan penerimaan barang. Perjanjian belaka tidak bias dijadikan
sebagai kesimpulan penjualan, Jika pihak yang berjanji mengingkari janjinya,
pengadilan dapat memaksanya untuk membeli komuditas tesebut atau membayar
kerusakan nyata kepada penjual. Kerusakan sesungguhnya akan termasuk kerugian
sebenarnya yang diderita penjual, namun tidak termasuk biaya perkiraan.
Dengan dasar ini diperbolehkan bagi
konsumen untuk berjanji kepada lembaga keuangan bahwa ia akan membeli setelah
menerima barangnya dari pemasok. Perjanjian ini akan mengikat pembeli dan dapat
dipaksakan oleh pengadilan sebagaimana telah dijelaskan diatas. Perjanjian ini
tidak sama dengan penjualan sesungguhnya, hal itu digunakan untuk
menyederhanakan sebuah perjanjian dan penjualan sesungguhnya akan terjadi
setelah barang didapatkan dari lembaga keuangan yang ditukar dengan penawaran
sebelumnya dan penerimaan akan dibutuhkan.
3.
Jaminan Terhadap
Harga Murabahah
Masalah lainnya terkait
pembiayaan murabahah bahwa biaya
dalam murabahah dapat dibayarkan pada
tanggal belakangan, penjual/llembaga keuangan tentu saja ingin memastikan bahwa
biaya tersebut akan dibayarkan pada tanggal yang seharusnya. Untuk tujuan ini,
penjual akan bertanya kepada konsumen untuk menyediakan sebuah jaminan sampai
pada pelunasan, jaminan tersebut bias berupa barang yang dapat
digadaikan/hipotek atau semacam barang gadaian/uang muka (Kettel, 2008: 71).
Aturan dasar tentang jaminan yang harus di ingat: (Rivai, dkk, 2012: 338). a) Jaminan
tersebut dapat diklaim menjadi hak ketika transaksi telah terjadi sebuah
pertanggungjawaban atau tagihan, tidak ada jaminan yang diminta dari seseorang
yang belum menunaikan kewajiban atau mempunyai tagihan. b) Hal lain yang juga
diperbolehkan adalah bahwa komoditas yang telah dijual itu sendiri menjadi
jaminan bagi penjual. Oleh karena itu, hal ini tidaklah penting bahwa pembeli menerima
pengiriman properti yang telah dijual tersebut sebelum menyerahkannya sebagi
hipotek kepada pembeli, syarat yang harus dipenuhi bahwa pada titik waktu
dimana properti dijadikan sebagai hipotek perlu ditetapkan, karena sejak waktu
tersebut properti itu akan dikuasai oleh penjual dengan kapasitas berbeda
dimana harus diperjelas peruntukannya.
4.
Penjaminan
Murabahah
Menjual pada pembiayaan
murabahah dapat juga meminta kepada
pembeli/konsumen memberi jaminan dari pihak ketiga. Dalam kasus terjadinya kesalahan
pembayaran hargabarang tersebut pada waktunya, penjual mendapat penolong dari
pemberi jaminan yang akan bertanggung jawab membyar jumlah yang dijaminkan oleh
lembaga penjamin (Kettel, 2008: 71).
5.
Hukuman
kesalahan/keterlambatan
Masalah lain pada pembiayaan
murabahah adalah jika konsumen lalai
dalam pembayaran pada tanggal yang telah ditentukan, harga tidak dapat
dinaikan. Pada pinjaman berbasis Bungan, jumlah pinjaman akan tetap bertambah
sesuai periode kesalahan, namun pada pembiayaan murabahah setelah harga ditetapkan, maka hal itu tidak dapat
dinaikan, terkadang ini yang menimmbulkan ketidakjujuran konsumen yang dengan
sengaja menghindari untuk membayar pada waktunya, karena mereka mengetahui
bahwa mereka tidak harus membayar biaya tambahan (Rivai, dkk, 2012: 343).
Dalam mengatasi masalah
ini, ahli kontemporer mengusulkan konsumen yang tidak jujur dalam pembayaran
dengan sengaja harus dapat dikenakan pembayaran ganti rugi pada bank Islam atas
kerugian yang dideritanya pada rekening yang mengalami kesalahan, mereka
mengusulkan bahwa jumlah ganti rugi ini bias sebanding dengan keuntungan yang
diberikan oleh bank pada nasabah selama periode terjadinya kesalahan.
6.
Tidak ada
Peninjauan Kembali pada Murabahah.
Aturan lainnya yang
harus diingat dan sepenuhnya dipatuhi adalah transaksi murabahah tidak terdapat peninjauan kembali roll-over untuk periode selanjutnya. Pada pembiayaan berbasis
bunga, jika seorang konsumen bank tidak dapat membayar tepat pada waktunya
karena alas an apapun, dia dapat meminta bank untuk memperpanjang fasilitas
tersebut untuk masa yang lain. Dalam hal ini harus dipahami dengan jelas murabahah bukan merupakan pinjaman, murabahah merupakan penjualan produk
yang pembayarannya ditunda untuk waktu yang telah disepakati, setelah komoditas
tersebut terjual maka kepemilikan barang tersebut berubah menjadi milik
konsumen. Pengulangan kembali tersebut dalam murabahah tidak lain adalah bunga, murni dan sederhana karena hal
itu merupakan perjanjian untuk membayar sejumlah uang atas utang yang tercipta
pada penjualan murabahah tersebut
(Kettel, 2008: 73).
7.
Potongan Harga
Karena Pembayaran Lebih Awal
Kadang-kadang debitur
ingin membayar lebih awal dari waktu yang ditentukan, pada kasus ini ia
menginginkan potongan atas harga yang telah disetujui, apakah potongan harga
atas pembayaran yang lebih awal diperbolehkan? Pertanyaan ini telah dibicarakan
ahli hukum terdahuludengan detail, hal tersebut dikenal pada literature Islam
yang sah sebagai (memberi potongan dan pembayaran lebih awal), beberapa ahli hokum
terdahulu membolehkan hal ini, namun mayoritas ahli hokum Islamtidak
memperbolehkan jika potongan tersebut menjadi syarat untuk pembayaran lebih
awal (Rivai, dkk, 2012: 348).
Hal itu berarti jika
sebuah transaksi murabahah dilakukak
oleh sebuah lembaga keuangan atau bank Islam, tidak ada potongan yang
ditetapkan pada perjanjian, jika bank atau lembaga keuangan tersebut memberikan
potongan atas keinginannya sendiri, maka tidak ada masalah, khususnya bagi
konsumen yang memang sangat membutuhkan. Sebagai contoh, jika petani miskin
telah membeli traktor atau peralatan pertanian dengan menggunakan murabahah seharusnya pihak bank
memberikannya diskon sukarela.
8.
Subjek Barang
Murabahah
Setiap komoditas
menjadi subjek penjualan dengan keuntungan dapat dijadikan subjek barang murabahah merupakan sebuah penjualan
jenis tersebut. Sebagai contoh transaksi murabahah
tidak mungkin dilakukan pada pertukaran mata uang, karena hal itu harus
terjadi secara spontan ataujika ditunda harus berdasarkan kelazimankurs pasar
pada waktu transaksi dilakukan, sama halnya dokumen penjualan yang menunjukkan
sebuah utang yang dapat dicairkan oleh pemiliknya tidak dapat diperjual
belikan, satu satunya cara agar hal tersebut dapat dijual adalah dengan
menukarkannya dengan nilai mukannya, oleh karena itu mereka tidak dapat
menjualnya dengan basis murabahah (Rivai,
dkk, 2012: 351) .
9.
Penjadwalan
Ulang Pembayaran Dalam Murabahah
Jika pembeli/konsumen
dalam pembiayaan Murabahah tidak
dapat membayar pada tanggal yang telah disetujui dalam perjanjian murabahah, pembeli kadang-kadang meminta
kepada pejual/pihak bank untuk menjadwal ulang angsuran, dalam bank
konvensional pinjaman secara normal dapat ditinjau ulang dengan dasar
penambahan bunga. Hal ini tidak mungkin dalam transaksi murabahah jika angsuran dijadwal ulang, tidak ada jumlah tambahan
yang dikenakan karena penjadwalan ulang. Harga murabahah masih tetap sama dalam mata uang yang sama. Beberapa bank
Islam mengusulkan penjadwalan ulang murabahah
dengan mata uang yang lebih tinggi nilai dari yang digunakan pada saat
penjualan aslinya, hal ini digunakan untuk mengganti kerugian melalui perbedaan
tingkat nilai mata uang tersebut (Kettel, 2008: 74).
10. Sekuritasi
Murabahah
Murabahah
merupakan
sebuah transaksi yang tidak dapat dijadikan agunan untuk menciptakan sebuah
instrument tawar yang dapat dijual dan dibeli dari pasar sekunder, alasannya
jelas jika pembeli/konsumen dalam transaksi murabahah
menandatangani sebuah dokumen yang menjadi bukti utangnya kepada pemberi
biaya/penjual, mak dokumen tersebut akan mewakili sebuah unit kesatuan utang
yang dapat dicairkan dari pembeli (Kettel, 2008: 74).
Telah dijelaskan bahwa
menukarkan uang dengan uang dengan mata uang yang sama) tidak boleh dilakukan
kecuali pada nilai par saja, hal itu
tidak dapat diperjualbelika dengan harga yang lebih rendah ataupun lebih
tinggi, oleh karena itu dokumen yang mewakili kewajiban keuanganyang timbul
dari sebuah transaksi murabahah tidak dapat menciptakan instrument tawar
lainnya. Jika dokumen tersebut ditukarkan maka itu hanya pada nilai par saja.
E.
Manfaat
Pembiayaan Murabahah
Skema pembiayaan murabahah yang ditawarkan bank
syariah mendapat sambutan dan antusiasme yang tinggi dari masyarakat (nasabah),
sehingga skema murabahah merupakan transaksi yang paling banyak diminati dan
dipraktikkan dalam operasional perbankan syariah. Hal ini disebabkan oleh
banyak faktor, antara lain: faktor tabiat sosiokultur pertumbuhan ekonomi yang
menuntut keberhasilan yang cepat dan menghasilkan keuntungan yang banyak, skema
murabahah dengan margin keuntungan merupakan praktik alternatif dari transaksi
kredit dengan menggunkan bunga yang biasa dilakukan oleh bank konvensional,
sehingga banyak nasabah yang biasa melakukan transaksi dengan bank konvensional
beralih ke bank syariah untuk melakukan transaksi dengan menggunakan skema
murabahah.
Di samping itu, transaksi murabahah memberi banyak
manfaat kepada bank syariah, antara lain adanya keuntungan yang muncul dari
selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah dan skema murabahah
sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank
syariah (Antonio, 2001: 106-107).
Selain beberapa manfaat tersebut, transaksi dengan
menggunakan skema murabahah juga mempunyai risiko yang harus diantisipasi
antara lain sebagai berikut: Pertama, default atau kelalaian; nasabah sengaja
tidak membayar angsuran. Kedua, fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar
naik setelah bank membelikannya untuk nasabah.
Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut. Ketiga, penolakan
nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai
sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau
menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena nasabah merasa
spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila bank telah
mendandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan
menjadi milik bank. Dengan demikian, bank
mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain. Keempat, dijual; karena jual beli murabahah
bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu
menjadi milik nasabah. Nasabah bebas
melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya.
Jika terjadi demikian, risiko untuk default akan besar.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam praktik di perbankan syariah jual beli murabahah
merupakan salah satu skim pembiayaan di perbankan syariah yang paling dominan
dibandingkan skim pembiayaan lain. Ada
tiga model atau tipe penerapan jual beli murabahah di perbankan. Pertama, tipe
konsisten terhadap fiqih muamalah. Dalam tipe ini bank membeli dahulu barang
yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian
dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai
kesepakatan bank dan nasabah. Kedua, mirip dengan tipe yang pertama, tapi
perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan
pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Ketiga,
bank melakukan perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.
Dari ketiga tipe tersebut, Tipe II dan Tipe III paling sering dipakai oleh
perbankan syariah karena motifasi efektifitas prosedur dan juga pertimbangan
efisiensi, terutama dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Sementara tipe I justru dhindari padahal tipe
inilah yang paling ideal dalam konteks Fikih muamalat. Murabahah yang
dipraktikkan di perbankan syariah adalah murabahah li al-amir bi al-Syira’ yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah
pengajukan permohonan kepada pihak bank untuk membelikan barang yang
dibutuhkan, dan ia berjanji akan membeli barang tersebut secara murabahah,
yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan serta
biaya-biaya lain yang disepakati, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara
xc (cicilan berkala) kepada bank pada waktu yang telah disepakati. Dalam hal ini, pihak bank diwajibkan
memberitahu secara jujur kepada nasabah harga pokok barang, besarnya margin dan
biaya-biaya lain yang diperlukan.
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.
Saya Widaya Tarmuji, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah TRACY MORGAN LOAN FIRM. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
BalasHapusTapi Tracy Morgan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email yang sebenarnya mereka: tracymorganloanfirm@gmail.com. Email pribadi saya sendiri: widayatarmuji@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya. hati-hati