REFKY FIELNADA

REFKY FIELNANDA

MAHASISWA EKONOMI ISLAM

Selasa, 21 Februari 2017

Mudharabah Sebagai Model Pembiayaan Dalam Islam



PENDAHULUAN
Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) yang diterapkan dalam perbankan syariah seperti yang terdapat dalam mudharabah dan musyarakah merupakan praktek perkongsian yang sudah lazim digunakan sebelum Islam datang. Sebagaimana Lewis dan Algaoud mengutip pendapat Crone, Kazarian dan Cizaka, bahwa di Timur Tengah pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah dan musyarakah berjalan berdampingan dengan konsep pinjam sistem bunga sebagai cara untuk membiayai berbagai aktivitas ekonomi (Algaoud, 2004, hal. 14). Kemudian setelah Islam datang, semua transaksi keuangan yang berbasis riba (Sabiq, 2006, hal. 173) (bunga) dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing).
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hikmah diharamkannya riba antara lain: pertama, riba dapat menimbulkan sikap permusuhan antar individu dan juga menghilangkan tolong-menolong sesama manusia; kedua, riba menumbuhkan mental boros dan malas yang mau mendapatkan harta tanpa kerja keras, menjadi benalu yang tumbuh di atas jerih payah orang lain; ketiga, riba adalah salah satu bentuk penjajahan; dan keempat, Islam mengajak manusia agar mendermakan kepada saudaranya yang membutuhkan (Sabiq, 2006, hal. 175).
Sedangkan al-Razi sebagaimana dikutip Lewis dan Algaoud mengemukakan beberapa alasan pelarangan riba antara lain: pertama, riba tak lain adalah perampasan hak milik orang lain tanpa ada nilai imbangan; kedua, riba dilarang karena menghalangi orang dari keikutsertaan dalam profesi-profesi aktif; ketiga, perjanjian riba menimbulkan hubungan yang tegang antara sesama manusia; keempat, perjanjian riba adalah alat yang digunakan orang kaya untuk mendapatkan kelebihan dari modal dan ini bertentangan dengan keadilan dan persamaan; dan kelima, keharaman riba dinyatakan oleh nas Al-Qur’an dan manusia tidak harus mengetahui alasannya (Algaoud, 2004, hal. 61-62) .
Dengan melarang riba, Islam berusaha membangun sebuah masyarakat berdasarkan kejujuran dan keadilan (Masyhuri, 2005, hal. 138). Keadilan dalam konteks ini memiliki dua dimensi, yaitu pemodal berhak untuk mendapatkan imbalan, tetapi harus sepadan dengan resiko dan usaha yang dibutuhkan, dan imbalan yang didapat ditentukan oleh keuntungan dari proyek yang dimodalinya. Yang dilarang dalam Islam adalah keuntungan yang ditetapkan sebelumnya.
Di Indonesia bunga bank masih menjadi polemik tersendiri karena para ulama masih belum sepakat tentang boleh-tidaknya sehingga dalam praktek, baik perbankan syariah (Parmudi, 2005, hal. 55-59) maupun perbankan konvensional berjalan bersama-sama. Perbedaan pendapat ini diklasifikasikan menjadi tiga pandangan, yaitu: pertama, bunga bank adalah termasuk dalam kategori riba sehingga hukumnya haram, sedikit atau banyak unsur; kedua, bunga bank bukan termasuk dalam kategori riba sehingga halal untuk dilakukan; ketiga, riba termasuk dalam klasifikasi mutasyabihat sehingga sebaiknya bunga bank tidak dilakukan (Kara, 2005, hal. 80).
Perbedaan pokok antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah pada penggunaan bunga dalam pembiayaannya (equity financing). Kalau perbankan konvensional menggunakan sistem bunga, maka perbankan syariah tidak menggunakan bunga tetapi sistem bagi hasil.
Mudharabah atau yang sering dikenal dengan istilah profit and loss sharing (PLS) adalah model perkongsian yang direkomendasikan dalam Islam karena bebas dari sistem riba. Maka, dalam makalah ini penulis berusaha mendiskripsikan mudharabah serta implementasinya dalam perbankan Islam (syariah).




PEMBAHASAN
Mudharabah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata dharab yang bermakna memukul, bergerak, pergi, mewajibkan, mengambil bagian, berpartisipasi (Muhdlor, 2003, hal. 1205-1206). Dalam kaitannya dengan pengertian mudharabah maka yang lebih cocok adalah mengambil bagian dan berpartisipasi.
Adapun menurut istilah ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, namun di sini penulis hanya mengutip beberapa bendapat saja antara lain:
1.    Menurut Sayyid Sabiq “Mudharabah adalah  akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan” (Saeed, 2004, hal. 77).
2.    Antonio mengutip pendapat al-Syarbasyi sebagai berikut: “Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shabib al-mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola, dan keuntungan usaha secara dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola” (Antonio, 2001, hal. 95)
3.    Lewis dan Algaoud mendefinisikan mudharabah sebagai sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak, pemilik modal (shahib al-mal atau rab al-mal), mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Konsekuensinya para pemberi pinjaman memperoleh bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai (Algaoud, 2004, hal. 66).
4.    Adiwarman mengutip pendapat M. Anwar Ibrahim bahwa “Mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain, dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung”. (Karim, 2007, hal. 204-205)
Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mudharabah adalah akad antara dua belah pihak atau lebih, antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pengelola usaha (mudhararib) dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang dibagi berdasarkan kesepakatan yang tertuang di dalam kontrak,  dimana bila usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola usaha (profit and lost sharing).

Macam-Macam Mudharabah
Secara umum mudharabah dibagi menjadi dua macam, yaitu: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah (Antonio, 2001, hal. 97). Berikut ini akan dikemukakan kedua macam pembagian mudharabah di atas.
1.    Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara pemodal (shahib al-mal) dan pengusaha (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam mudharab ah muthlaqah ini shahib al-mal memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada mudharib  dalam mengelola modal dan usahanya (Antonio, 2001, hal. 97).
2.    Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah  adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana pengelola usaha (mudharib) dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya batasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik modal (shahib al-mal) dalam memasuki jenis dunia usaha. (Antonio, 2001, hal. 97).



Implementasi Mudharabah Dalam Perbankan Syariah
Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada :
1.    Tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa;
2.    Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah  diterapkan untuk :
1.    Pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa;
2.    Investasi khusus, disebut juga dengan mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib al-mal (bank). (Antonio, 2001, hal. 97).

Manfaat dan Risiko Mudharabah
Dalam mudharabah di samping terdapat keuntungan dari sistem bagi hasil yang diterapkan, tapi juga terdapat resiko yang harus ditanggung. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh shahib al-mal (bank) selama kerugian itu bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha (nasabah). Namun, jika usaha yang dijalankan tersebut mengalami kerugian disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha, maka kerugian tersebut harus ditanggung oleh pihak pengelola, bukan pihak pemberi modal (bank).
Adapun manfaat yang diperoleh dari sistem mudharabah ini antara lain :
1.    Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat;
2.    Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapat/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3.    Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4.    Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5.    Prinsip bagi hasil dalam mudharabah  berbeda dengan prinsip bunga  tetap dimana bank akan menagih nasabah satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan resiko dalam mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :
1.    Side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank bukan seperti yang disebut dalam kontrak;
2.    Lalai dan kesalahan yang disengaja;
3.    Menyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur. (Antonio, 2001, hal. 97-98)
Dengan demikian, esensi dari kontrak mudharabah adalah kerja sama untuk mencapai profit (keuntungan) berdasarkan akumulasi dasar dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan ditentukan melalui kedua komponen ini. Resiko juga menentukan profit dalam mudharabah. Pihak investor menanggung resiko kerugian dari modal yang telah diberikan, sedangkan pihak mudharib menanggung resiko tidak mendapatkan keuntungan hasil pekerjaan dan usaha yang telah dijalankannya. (Saeed, 2004, hal. 97-98)
Dari pemaparan di atas, baik mengenai mudharabah bahwasanya perbedaan bank syariah dengan bank konvensional dapat dilihat pada hubungan antara bank dengan nasabahnya. Hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahib al-mal) dengan pengelola dana (mudharib). Sedangkan pada bank konvensional, para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar tingkat bunga tertentu. (Arifin, 2006, hal. 46) .
Melihat betapa urgent dan besarnya manfaat yang diberikan dengan keberadaan sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syariah, maka di akhir pembahasan ini penulis memaparkan beberapa implikasi sosial ekonomi yang merupakan keistimewaan dari perbankan syariah, kiranya dapat menjadi motivasi bagi pembaca agar senantiasa mengutamakan bank syariah daripada bank konvensional. Keistimewaan-keistimewaan tersebut antara lain :
Pertumbuhan ekonomi, dimana tujuan utama perbankan syariah adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam kehidupan masyarakat.
Mencegah capital flight yang dapat memperlemah pertumbuhan ekonomi.
Jaminan sosial dan pemerataan kekayaan,.
Prinsip operasional perbankan syariah menggunakan nilai-nilai syariah, sehingga dapat menciptakan kemaslahatan masyarakat.
Dalam perbankan syariah terdapat dewan pengawas syariah (DPS) untuk mengawasi keabsahan kegiatan atau transaksi yang ada.
Memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan bisnis. (Marthon, 2004, hal. 134-135) .



KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-urain tentang mudharabah serta implementasinya dalam perbankan syariah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Dan kedua jenis perkongsian ini menerapkan sistem bagi hasil dan kerugian (profit and loss sharing)
Mudharabah dan musyarakaha memiliki perbedaan pada beberapa hal : pertama, dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, sedang dalam musyarakah kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation); kedua, dalam manajemen mudharabah, shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan, sedang dalam musyarakah masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen; ketiga, dalam mudharabah bagi hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad yang diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan, sedang dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen; keempat, dalam mudharabah kerugian ditanggung oleh shahib al-mal selama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak mudharib,  sedang dalam musyarakah kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About