PENDAHULUAN
Sistem bagi hasil (profit and
loss sharing) yang diterapkan dalam perbankan syariah seperti yang terdapat
dalam mudharabah dan musyarakah merupakan praktek perkongsian
yang sudah lazim digunakan sebelum Islam datang. Sebagaimana Lewis dan Algaoud
mengutip pendapat Crone, Kazarian dan Cizaka, bahwa di Timur Tengah pra-Islam,
kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah dan musyarakah
berjalan berdampingan dengan konsep pinjam sistem bunga sebagai cara untuk
membiayai berbagai aktivitas ekonomi (Algaoud,
2004, hal. 14). Kemudian setelah Islam datang, semua transaksi keuangan
yang berbasis riba (Sabiq, 2006, hal. 173)
(bunga) dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar bagi hasil (profit
and loss sharing).
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa
hikmah diharamkannya riba antara lain: pertama, riba dapat menimbulkan
sikap permusuhan antar individu dan juga menghilangkan tolong-menolong sesama
manusia; kedua, riba menumbuhkan mental boros dan malas yang mau
mendapatkan harta tanpa kerja keras, menjadi benalu yang tumbuh di atas jerih
payah orang lain; ketiga, riba adalah salah satu bentuk penjajahan; dan keempat,
Islam mengajak manusia agar mendermakan kepada saudaranya yang membutuhkan (Sabiq, 2006, hal. 175).
Sedangkan al-Razi sebagaimana
dikutip Lewis dan Algaoud mengemukakan beberapa alasan pelarangan riba antara
lain: pertama, riba tak lain adalah perampasan hak milik orang lain
tanpa ada nilai imbangan; kedua, riba dilarang karena menghalangi orang
dari keikutsertaan dalam profesi-profesi aktif; ketiga, perjanjian riba
menimbulkan hubungan yang tegang antara sesama manusia; keempat,
perjanjian riba adalah alat yang digunakan orang kaya untuk mendapatkan
kelebihan dari modal dan ini bertentangan dengan keadilan dan persamaan; dan kelima,
keharaman riba dinyatakan oleh nas Al-Qur’an dan manusia tidak harus
mengetahui alasannya (Algaoud, 2004, hal. 61-62)
.
Dengan melarang riba, Islam berusaha
membangun sebuah masyarakat berdasarkan kejujuran dan keadilan (Masyhuri, 2005, hal. 138). Keadilan dalam
konteks ini memiliki dua dimensi, yaitu pemodal berhak untuk mendapatkan
imbalan, tetapi harus sepadan dengan resiko dan usaha yang dibutuhkan, dan
imbalan yang didapat ditentukan oleh keuntungan dari proyek yang dimodalinya.
Yang dilarang dalam Islam adalah keuntungan yang ditetapkan sebelumnya.
Di Indonesia bunga bank masih
menjadi polemik tersendiri karena para ulama masih belum sepakat tentang
boleh-tidaknya sehingga dalam praktek, baik perbankan syariah (Parmudi, 2005, hal. 55-59) maupun perbankan
konvensional berjalan bersama-sama. Perbedaan pendapat ini diklasifikasikan
menjadi tiga pandangan, yaitu: pertama, bunga bank adalah termasuk dalam
kategori riba sehingga hukumnya haram, sedikit atau banyak unsur; kedua, bunga
bank bukan termasuk dalam kategori riba sehingga halal untuk dilakukan; ketiga,
riba termasuk dalam klasifikasi mutasyabihat sehingga sebaiknya
bunga bank tidak dilakukan (Kara, 2005, hal. 80).
Perbedaan pokok antara perbankan
syariah dengan perbankan konvensional adalah pada penggunaan bunga dalam
pembiayaannya (equity financing). Kalau perbankan konvensional
menggunakan sistem bunga, maka perbankan syariah tidak menggunakan bunga tetapi
sistem bagi hasil.
Mudharabah atau yang
sering dikenal dengan istilah profit and loss sharing (PLS) adalah model
perkongsian yang direkomendasikan dalam Islam karena bebas dari sistem riba.
Maka, dalam makalah ini penulis berusaha mendiskripsikan mudharabah serta
implementasinya dalam perbankan Islam (syariah).
PEMBAHASAN
Mudharabah berasal dari
bahasa Arab yang diambil dari kata dharab yang bermakna memukul,
bergerak, pergi, mewajibkan, mengambil bagian, berpartisipasi (Muhdlor, 2003, hal. 1205-1206). Dalam
kaitannya dengan pengertian mudharabah maka yang lebih cocok adalah
mengambil bagian dan berpartisipasi.
Adapun menurut istilah ada beberapa
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, namun di sini penulis hanya
mengutip beberapa bendapat saja antara lain:
1. Menurut
Sayyid Sabiq “Mudharabah adalah akad antara dua pihak dimana salah
satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada pihak lainnya
untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan” (Saeed, 2004, hal. 77).
2. Antonio
mengutip pendapat al-Syarbasyi sebagai berikut: “Mudharabah adalah akad
kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shabib al-mal)
menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola, dan
keuntungan usaha secara dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian
itu bukan akibat kelalaian si pengelola” (Antonio,
2001, hal. 95)
3. Lewis dan
Algaoud mendefinisikan mudharabah sebagai sebuah perjanjian di antara
paling sedikit dua pihak dimana satu pihak, pemilik modal (shahib al-mal atau
rab al-mal), mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib),
untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Konsekuensinya para pemberi
pinjaman memperoleh bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang telah
mereka biayai (Algaoud, 2004, hal. 66).
4. Adiwarman
mengutip pendapat M. Anwar Ibrahim bahwa “Mudharabah adalah persetujuan
kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain, dimana
satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya
untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk
mendapatkan untung”. (Karim, 2007, hal. 204-205)
Dari ketiga definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa mudharabah adalah akad antara dua belah pihak atau
lebih, antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pengelola usaha (mudhararib)
dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang dibagi berdasarkan kesepakatan
yang tertuang di dalam kontrak, dimana bila usaha yang dijalankan
mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola usaha (profit and lost
sharing).
Macam-Macam Mudharabah
Secara umum mudharabah dibagi
menjadi dua macam, yaitu: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah (Antonio, 2001,
hal. 97). Berikut ini akan dikemukakan kedua macam pembagian mudharabah
di atas.
1.
Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan mudharabah
muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara pemodal (shahib al-mal)
dan pengusaha (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi
oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam mudharab ah
muthlaqah ini shahib al-mal memberikan kekuasaan yang sangat besar
kepada mudharib dalam mengelola modal dan usahanya (Antonio, 2001, hal. 97).
2.
Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau biasa
disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah
kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana pengelola usaha (mudharib)
dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya batasan
ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik modal (shahib al-mal)
dalam memasuki jenis dunia usaha. (Antonio, 2001,
hal. 97).
Implementasi Mudharabah Dalam Perbankan Syariah
Mudharabah biasanya
diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan
dana mudharabah diterapkan pada :
1.
Tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan
khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa;
2.
Deposito spesial (special
investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis
tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah
diterapkan untuk :
1.
Pembiayaan modal kerja, seperti
pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa;
2.
Investasi khusus, disebut juga
dengan mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan
penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib
al-mal (bank). (Antonio, 2001, hal. 97).
Manfaat dan Risiko Mudharabah
Dalam mudharabah di samping
terdapat keuntungan dari sistem bagi hasil yang diterapkan, tapi juga terdapat
resiko yang harus ditanggung. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian,
maka kerugian tersebut ditanggung oleh shahib al-mal (bank) selama
kerugian itu bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha
(nasabah). Namun, jika usaha yang dijalankan tersebut mengalami kerugian
disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha, maka kerugian tersebut
harus ditanggung oleh pihak pengelola, bukan pihak pemberi modal (bank).
Adapun
manfaat yang diperoleh dari sistem mudharabah ini antara lain :
1.
Bank akan menikmati peningkatan bagi
hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat;
2.
Bank tidak berkewajiban membayar
bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan
pendapat/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative
spread.
3.
Pengembalian pokok pembiayaan
disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak
memberatkan nasabah.
4.
Bank akan lebih selektif dan
hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan
menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah
yang akan dibagikan.
5.
Prinsip bagi hasil dalam mudharabah
berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih
nasabah satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah,
sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan resiko dalam mudharabah,
terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :
1.
Side streaming, nasabah
menggunakan dana yang diberikan bank bukan seperti yang disebut dalam kontrak;
2.
Lalai dan kesalahan yang disengaja;
3.
Menyembunyian keuntungan oleh
nasabah bila nasabahnya tidak jujur. (Antonio,
2001, hal. 97-98)
Dengan demikian, esensi dari kontrak
mudharabah adalah kerja sama untuk mencapai profit (keuntungan)
berdasarkan akumulasi dasar dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan
ditentukan melalui kedua komponen ini. Resiko juga menentukan profit dalam
mudharabah. Pihak investor menanggung resiko kerugian dari modal yang
telah diberikan, sedangkan pihak mudharib menanggung resiko tidak
mendapatkan keuntungan hasil pekerjaan dan usaha yang telah dijalankannya. (Saeed, 2004, hal. 97-98)
Dari pemaparan di atas, baik
mengenai mudharabah bahwasanya perbedaan bank syariah dengan bank
konvensional dapat dilihat pada hubungan antara bank dengan nasabahnya.
Hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur
dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahib
al-mal) dengan pengelola dana (mudharib). Sedangkan pada bank
konvensional, para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank
berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula bank memberikan
pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka
membayar tingkat bunga tertentu. (Arifin, 2006,
hal. 46) .
Melihat betapa urgent dan
besarnya manfaat yang diberikan dengan keberadaan sistem bagi hasil yang
diterapkan dalam perbankan syariah, maka di akhir pembahasan ini penulis
memaparkan beberapa implikasi sosial ekonomi yang merupakan keistimewaan dari
perbankan syariah, kiranya dapat menjadi motivasi bagi pembaca agar senantiasa
mengutamakan bank syariah daripada bank konvensional. Keistimewaan-keistimewaan
tersebut antara lain :
Pertumbuhan ekonomi, dimana tujuan utama perbankan
syariah adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam kehidupan
masyarakat.
Mencegah capital flight yang dapat memperlemah
pertumbuhan ekonomi.
Jaminan sosial dan pemerataan kekayaan,.
Prinsip operasional perbankan syariah menggunakan
nilai-nilai syariah, sehingga dapat menciptakan kemaslahatan masyarakat.
Dalam perbankan syariah terdapat dewan pengawas
syariah (DPS) untuk mengawasi keabsahan kegiatan atau transaksi yang ada.
Memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan
bisnis. (Marthon, 2004, hal. 134-135) .
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-urain tentang mudharabah serta
implementasinya dalam perbankan syariah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pada prinsipnya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak
atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan
sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad).
Dan kedua jenis perkongsian ini menerapkan sistem bagi hasil dan kerugian (profit
and loss sharing)
Mudharabah dan
musyarakaha memiliki perbedaan pada beberapa hal : pertama, dalam aqad mudharabah,
shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib,
sedang dalam musyarakah kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity
participation); kedua, dalam manajemen mudharabah, shahib al-mal tidak
diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan
untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan, sedang dalam musyarakah masing-masing
pihak dapat turut dalam manajemen; ketiga, dalam mudharabah bagi
hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad yang diberikan setelah
proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan, sedang
dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat
ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi
keikutsertaan dalam proses manajemen; keempat, dalam mudharabah kerugian
ditanggung oleh shahib al-mal selama kerugian tersebut bukan disebabkan
oleh kelalaian dari pihak mudharib, sedang dalam musyarakah kedua
pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar